AL-QUDS (Arrahmah.com) – Sumber-sumber keamanan Zionis Israel mengungkapkan kecemasannya akan meningkatnya potensi aksi syahid yang dilakukan warga al Quds di dalam wilayah al Quds.
Kecemasan ini muncul menyusul keberhasilan dua pejuang Palestina dalam melancarkan aksi dengan menggunakan buldoser dan trailer, atau aksi serarangan tembakan terhadap seorang serdadu Israel yang menambah kecemasan baru di tengah-tengah tiadanya rasa aman pada warga Israel dalam beberapa tahun.
Penulis Israel Eliks Fithman mengungkapkan kemurkaannya karena tidak adanya tindakan militer Israel dan dinas keamanan di negerinya untuk mencegah aksi-aksi seperti ini mengadakan solusi untuk menghadapi aksi-aksi seperti ini. Dia mengatakan. “Aksi (syahid) yang sukses akan diikuti di belakangnya aksi-aksi yang lebih sukses sehingga menjadi ancaman eksistensi. Orang akan takut berjalan di jalan-jalan, sebagaimana terjadi suatu kali, ketika mereka takut naik bus-bus.”
Informasi dinas keamanan mengungkap terjadinya 6 kali aksi serjak awal tahun 2008 yang mengakibatkan 13 orang Israel tewas. Menurut sumber intelijen dan politik Israel, kecemasan di kalangan Israel atas aksi-aksi yang dilakukan warga Palestina di al Quds terhadap Israel dikarenakan sejumlah sebab:
Pertama Fenomena munculnya pejuang secara individu. Aksi-aksi ini terjadi secara terus menerus selama 9 bulan tanpa putus. Hasil investigasi menunjukan tiadanya hubungan antara pelaku aksi yang satu dengan yang lainnya. Pihak militer Israel menyebutkan “fenomena terorisme individu”. Namun demikian setiap pelaku aksi selalu belajar dari pengalaman pelaku aksi sebelumnya. Tidak ada hubungan apapun antara para pelaku aksi di al Quds dengan faksi-faksi Palestina. Dalam artian semua gerak dan aksi mereka tanpa ada arahan dari luar (Tepi Barat atau Jalur Gaza). Hal ini diakui langsung oleh dinas keamanan dalam negeri Israel Shabak.
Kedua mudahnya melakukan aksi dengan menggunakan kendaraan seperti buldoser atau trailer. Sangat mudah bagi pejuang Palestina di al Quds melakukan aksi dengan menambrakan trailer dan sejenisnya dan sulit untuk dipantau dan diungkap. Data dari Shabak mengklaim bahwa sel pejuang di al Quds merencanakan aksi-aksi dan melaksanakannya berdasarkan pengetahuannya tentang daerah tersebut. Dengan memanfaatkan kartu identitas biru yang ada padanya, yang memberikan kesempatan bergerak dengan bebas, mengumpulkan informasi dan memiliki sarana dan bahan yang tidak dijual di Tepi Barat.
Seorang analis Israel mengatakan, mungkin sangat sulit mendapatkan senjata atau pistol tanpa menimbulkan perhatian pasukan keamanan. Namun buldoser, trailter dan yang lainnya adalah senjata yang ada di tangan yang tidak kalah dengan senjata yang sesungguhnya. Sumber Israel menyebutkan, melakukan aksi serangan dengan buldoser, mobil, kontainer, trailer atau yang lainnya tidak membutuhkan persiapan sebelumnya. Pelaku hanya cukup menentukan lokasi yang menjadi target serangan.
Ketiga aksi ini mudah ditiru di tempat lain. Sumber-sumber militer Israel telah mengingatkan kemungkinan para pemuda Palestina yang disebutnya dendam dengan negara Israel melakukan aksi serupa, bukan saja di al Quds namun di Tepi Barat dan wilayah Palestina 1948 lainnya, dengan tingkat kesuksesan dan kemudahan yang sama seperti di al Quds. PM Israel Ehud Olmert mengakui belum ada jalan mudah untuk mencegah aksi-aksi syahid setelah aksi Bab al Khalil di al Quds yang dilakukan seorang sopir Palestina pada Senin 22 September, yang mengakibatkan 19 serdadu Israel terluka.
Dan keempat, selain keinginan untuk meniru kesuksesan orang lain dan kegagalan perundingan antara otoritas Palestina dan pemerintah penjajah Zionis Israel, ada hal lain yang mendorong terjadinya aksi-aksi serupa di al Quds. Yaitu bahwa orang-orang Palestina dengan melakukan aksi-aksi di al Quds bertujuan untuk menegaskan bahwa mereka tidak bisa diabaikan di kota al Quds, mereka tidak mungkin menyerah al Quds dijauhkan dari agenda kerja perundingan antara Mahmud Abbas dan Ehud Olmert.
Dinas intelijen dalam negeri Israel Shabak dalam pernyataannya menambahkan, “Kesadaran tentang tembok pemisah telah menciptakan pemisahan jangka panjang antara al Quds dan Tepi Barat. Sebagian aksi serangan Palestina terjadi akibat keinginan orang-orang Palestina dalam menjamin al Quds tidak tersembunyi dari agenda kerja politik.”
Kelima tidak adanya jaminan hukum untuk menghancurkan rumah para pelaku aksi seperti ini sebagamana yang terjadi pada rumah-rumah para pelaku aksi yang menggunakan senjata api atau bom. Pihak militer Israel dan Shabak merah kepada Kejaksaan Agung Israel yang dianggapnya tidak memahmi realita hidup, karena tidak mau memasukan mobil dan kendaraan sejenisnya dalam undang-undang pertahanan Israel dalam kondisi darurat. Sehingga militer Israel tidak bisa menghancurkan rumah pelaku seperti penghancuran rumah-rumah para pelaku serang dengan sejata api atau bom. Sehingga Israel sulit memberi sanksi kepada pelaku apalagi menghancurkan rumahnya.
Shabak sendiri melihat solusi politik sudah cukup untuk mengatasi aksi-aksi semacam ini. Cara ini jelas bertolak belakang dengan seruan agar mengintensifkan aksi militer terhadap orang-orang Palestina seperti dalam mengatasi aksi-aksi sebelumnya. Artinnya aksi ini harus dilihat sebagai reaksi alami atas terus berlanjutnya agresi Zionis Israel terhadap rakyat Palestina dan kejahatan-kejahatan lainnya berupa perluasan pemukiman dan yahudisasi. (Hanin Mazaya/infopalestina)