GAZA (Arrahmah.ud) – Pasukan pendudukan “Israel” terus mencegah masuknya bantuan makanan dan obat-obatan ke Jalur Gaza selama 25 hari berturut-turut. Selain itu, pemblokiran bahan bakar juga menyebabkan stasiun desalinasi air berhenti beroperasi, memperburuk krisis kemanusiaan di wilayah tersebut. Serangan udara “Israel” pun terus berlanjut, dengan mayoritas korban adalah anak-anak dan perempuan.
Juru bicara Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) di Gaza, Olga Cherevko, mengatakan bahwa pasokan barang ke Gaza telah terhenti selama tiga minggu—periode terpanjang sejak Oktober 2023. Dalam wawancaranya dengan Al Jazeera, ia menegaskan bahwa krisis di Gaza semakin memburuk dengan kelangkaan makanan, air minum, dan pengungsian lebih dari satu juta orang.
Krisis Air dan Ancaman Kesehatan
OCHA di Palestina melaporkan bahwa tim medis di Gaza kelelahan dan membutuhkan perlindungan serta dukungan mendesak. Mereka menerima laporan bahwa tenaga medis, ambulans, dan rumah sakit menjadi sasaran serangan. “Tidak ada yang aman, dan dunia tidak boleh mentoleransi kekejaman ini,” tegas pernyataan OCHA.
Organisasi Doctors Without Borders (MSF) pada Rabu (26/3) menyatakan bahwa “Israel” secara efektif melarang akses air di Gaza dengan memutus listrik dan bahan bakar. MSF mendesak agar bantuan kemanusiaan segera diberikan untuk mencegah lebih banyak korban jiwa.
Menurut Paula Navarro, Koordinator Air dan Sanitasi MSF di Gaza, “Dengan serangan baru yang menewaskan ratusan orang dalam beberapa hari, pasukan ‘Israel’ terus mencegah warga Gaza mendapatkan air dengan menghentikan listrik dan melarang masuknya bahan bakar—dua sumber daya yang sangat penting bagi infrastruktur air, termasuk pengoperasian pompa.”
Ia menambahkan bahwa banyak warga Gaza terpaksa meminum air yang tidak layak konsumsi, sementara sebagian lainnya sama sekali tidak memiliki akses air. Saat ini, lebih dari 85% fasilitas air di Gaza telah dihancurkan oleh pasukan pendudukan, memperburuk krisis yang membuat jutaan warga menghadapi ancaman kelaparan dan kehausan.
Di sisi lain, Koordinator Medis MSF di Gaza, Chiara Lodi, menyebut bahwa penyakit kulit yang diderita anak-anak Palestina adalah akibat langsung dari kehancuran Gaza dan blokade ketat yang diberlakukan “Israel”.
Selain itu, Kota Gaza kini menghadapi akumulasi lebih dari 175.000 ton sampah, yang meningkatkan risiko penyebaran penyakit dan epidemi di kalangan warga sipil, menurut juru bicara Kota Gaza.
“Genosida, Bukan Perang”
Francesca Albanese, Pelapor Khusus PBB untuk Hak Asasi Manusia di Wilayah Palestina, menyatakan bahwa perang yang dilakukan “Israel” di Gaza adalah “genosida.”
“Orang-orang menyebutnya perang, tetapi sebenarnya ini bukan perang. Ini adalah genosida,” ujarnya. Ia menegaskan bahwa situasi di Gaza sangat mengerikan, dengan serangan udara setiap hari dan blokade terhadap bantuan kemanusiaan.
“Hukum internasional harus diterapkan untuk menyelamatkan nyawa di Gaza dan Tepi Barat,” tambahnya.
Sementara itu, Menteri Kesehatan Inggris, Wes Streeting, mengungkapkan rasa frustrasi dan ketidakberdayaannya terhadap apa yang terjadi di Gaza.
“Serangan ‘Israel’ di Gaza tidak bisa dibenarkan dan tidak dapat ditoleransi,” katanya. Ia juga menegaskan bahwa serangan ini tidak menguntungkan “Israel” dan tidak bisa dianggap sebagai tindakan membela diri.
“Saya sangat frustrasi menjadi bagian dari pemerintahan Inggris tetapi merasa tak berdaya menghadapi konflik yang mengerikan ini,” tambahnya.
Rumah Sakit Hancur, Pasien Terancam
Direktur Jenderal Kementerian Kesehatan di Gaza, Munir Al-Bursh, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa “Israel” telah menghancurkan sebagian besar fasilitas kesehatan dan melarang masuknya obat-obatan serta bahan bakar.
“Situasi ini benar-benar bencana. Kekurangan obat menyebabkan kematian bagi para korban luka dan pasien dengan penyakit kronis,” tegasnya.
Blokade total juga menghalangi pasien untuk mendapatkan perawatan medis. Salah satunya adalah anak perempuan bernama Janin Qurayqa, yang dievakuasi dari bawah reruntuhan rumahnya setelah serangan udara “Israel” di Gaza utara yang menewaskan puluhan warga Palestina.
Dari anak yang penuh energi, Janin kini menjadi pasien yang berjuang untuk mendapatkan akses medis. Ia masih menunggu kesempatan untuk meninggalkan Gaza guna mendapatkan perawatan, menghadapi dampak fisik dan psikologis dari serangan yang menghancurkan hidupnya.
Anak-Anak Jadi Target
Dokter bedah Amerika keturunan Yahudi, Mark Perlmutter, yang saat ini bekerja di Gaza, membagikan kisah tragis tentang seorang anak Palestina berusia 13 tahun yang diperintahkan tentara “Israel” untuk meninggalkan Kota Gaza bersama neneknya.
Saat mereka berkendara ke arah selatan, helikopter Apache “Israel” menembaki mobil mereka, menewaskan sang nenek seketika dan menyebabkan sang anak kehilangan kedua kakinya serta lengan kanannya. “Satu-satunya kejahatannya adalah menjadi seorang Palestina,” tulis Perlmutter di akun media sosialnya.
Ia juga mengungkapkan bahwa seorang gadis berusia 15 tahun menjadi korban lain dari serangan Apache “Israel” pada Selasa (25/3), saat sedang mengendarai sepeda. Setelah menjalani operasi selama 12 jam, dokter masih berjuang untuk menyelamatkan kedua kakinya.
Dalam konteks ini, Alexandra Saieh, Kepala Kebijakan Kemanusiaan di Save the Children, mengatakan bahwa anak-anak Gaza mengalami cedera serius, termasuk amputasi dan luka otak parah.
“Mereka bisa kehilangan nyawa hanya karena blokade dan serangan brutal ini,” ujarnya, menegaskan bahwa bantuan medis dan evakuasi sangat dibutuhkan untuk menyelamatkan mereka.
(Samirmusa/arrahmah.id)