YERUSALEM (Arrahmah.com) – Menteri Dalam Negeri Israel dan apa yang disebut Komite Perencanaan dan Pembangunan, tengah mempersiapkan untuk secara resmi menyetujui 4100 unit rumah baru untuk pemukim Yahudi di Yerusalem Timur.
Sebuah komite khusus, diangkat dua bulan lalu oleh Menteri Dalam Negeri Israel, Eli Yishai, akan mengadakan sidang pertamanya pada tanggal 14 Juni mendatang untuk melihat persetujuan 4100 unit di perumahan ilegal Ramat Shlomo, Gilo, Pisgat Zeev dan Har Homa. Semua dibangun di atas tanah Palestina yang dicaplok secara ilegal oleh Zionis.
Jaksa Palestina, Nasser Qais, seorang ahli dalam masalah hukum mengenai konstruksi dan perencanaan, menyatakan dalam sebuah pres rilis bahwa rencana ilegal Israel bertujuan untuk membangun 1.600 unit di Ramat Shlomo, 942 di Gilo, 625 di pisgat Zeev dan 940 di Har Homa (Jabal Abu Ghneim).
Qais mengutuk rencana Israel dan menyatakan bahwa itu bertujuan untuk memaksakan fakta di lapangan bahwa jumlah pemukim Yahudi telah meningkat di dan sekitar Yerusalem Timur, sementara pada saat yang sama bertujuan menegakkan kebijakan penghapusan warga Palestina dari daerah tersebut dengan menghancurkan rumah mereka dan menolak memberikan mereka izin konstruksi.
Warga Palestina melihat Yerusalem Timur sebagai ibukota negara masa depan mereka, itu adalah bagian dari wilayah Palestina dan Arab yang diduduki Israel pada tahun 1967.
pendudukan Yerusalem Timur dianeksasi oleh hukum yang disahkan oleh Knesset Israel pada tahun 1980. Apa yang disebut “Hukum Yerusalem” menyatakan, “Yerusalem, lengkap dan bersatu” sebagai ibukota Israel.
Setelah aneksasi resmi, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi nomer 478 menyatakan hukum Israel sebagai tidak sah dan tidak berlaku karena melanggal hukum internasional.
Israel bersikeras bahwa Yerusalem bersatu adalah ibukota abadi dan bahwa mereka “memiliki hak” untuk membangun apa yang disebut “daerah pemukiman” di dan sekitar kota itu.
Semua pemukiman Israel di wilayah pendudukan adalah milik orang Yahudi, mirip dengan rezim segregasi dan apartheid di Afrika Selatan. (haninmazaya/arrahmah.com)