Angkatan Udara Israel (IAF) berencana membeli ribuan unit bom pintar dari AS yang jenisnya sama dengan yang digunakan saat berkonflik di Lebanon selatan Juli-Agustus lalu, dengan dalih digunakan sebagai pertahanan menghadapi pejuang ancaman Hizbullah dan Palestina, demikian Jerusalem Post, Senin (29/1).
Rencana negosiasi untuk membeli bom jenis Joint Direct Attack Munitions (JDAM) atau Bom Serangan Langsung Terpadu itu hanya sehari setelah Kongres AS menuding Israel melanggar perjanjian untuk tidak memakai bom tebar (cluster bom) terhadap warga sipil selama perang Lebanon lalu.
Pihak IAF membenarkan rencana pembelian JDAM dengan anggaran senilai 100 juta dolar AS (Rp 910 miliar) dan tidak menunggu persetujuan dari parlemen Israel (Knesset) karena pernah mengajukan untuk memasang sistem pertahanan itu sebelum berkonflik dengan Hizbullah.
“Sebaiknya Departemen Pertahanan memulai negosiasi dengan Pentagon dan Boeing (produsen JDAM).
Persenjataan ini sudah pernah digunakan selama perang melawan Hizbullah dan akurat dalam menghancurkan sasaran,” kata Panglima IAF, Elazar Shkedy.
Pengiriman ribuan unit bom jenis itu juga pernah dilakukan AS selama konflik Israel-Hizbullah beberapa bulan lalu, namun memancing kecaman dunia internasional karena salah satu kargo sempat transit di Bandara Prestwick Glasgow dan dianggap melanggar prosedur keamanan dan keselamatan yang ditetapkan Badan Penerbangan Sipil (CAA) Inggris.
Rencana transaksi pembelian JDAM ini juga terang-terangan melanggar Resolusi DK PBB Nomor 1540 yang disahka pada 28 April 2004 untuk mempertegas non-proliferasi senjata pemusnah massal (Weapons of Mass Destruction/WMD).
Selain itu aturan Konvensi Senjata Konvensional (CCW) yang disahkan di Jenewa pada 10 Oktober 1980 juga melarang pemakaian senjata konvensional itu karena berdampak serius pada sasaran (manusia) dan tidak memilih sasaran militer atau sipil. Aturan ini dipicu efek dari ledakan JDAM yang menyebar sehingga tidak bisa membedakan siapa sasarannya.
Shkedy menjelaskan, selain rencana membeli JDAM, IAF juga bernegosiasi dengan Industri Dirgantara Israel (IAI) untuk membeli ratusan rudal taktis balistik LORA (artileri jarak jauh) yang akurasi penghancuran sasarannya kurang dari 10 meter tanpa merusak sistem pesawat tempur yang menembakkannya.
Sejak tahun 2000, Israel menjadi pembeli pertama sistem JDAM dari AS dan kemudian dikembangkan dengan memasang hulu ledak MK-84 seberat 1000 kilogram dan dipandu sinyal satelit. Belum ada reaksi dari PBB maupun dunia internasional mengenai pelanggaran resolusi 1540 itu namun sejumlah badan HAM di Timur Tengah dikabarkan mulai memprotes rencana yang bakal menimbulkan kerusakan luas bila digunakan dalam perang.
Namun jubir Deplu Israel Mark Regev membantah adanya pelanggaran resolusi DK PBB dengan dalih pemakaian bom tebar selama konflik Lebanon lalu hanya sebagai upaya mempertahankan diri. Regev mengomentari rencana Dephan AS untuk memutuskan pelanggaran yang dilakukan Israel soal pemakaian WMD.
“Kami sudah membuka pembicaraan dengan AS, dan kami memberi informasi secepatnya setransparan mungkin. Pemahaman kami, pemakaian WMD seperti bom tebar itu dilakukan dalam kerangka mempertahankan diri guna menghadapi serangan roket Hizbullah yang mengancam warga Israel,” kata Regev. [afp/jpost/sy]