(Arrahmah.id) – Nabi Muhammad shalallahu alayhi wa sallam melakukan perjalanan pada suatu malam dengan menunggangi Al-Buraq dari Masjidil Haram di Makkah sampai ke masjid terjauh di Baitul Maqdis.
Beliau mengarungi tujuh lapis langit dan mengalami keajaiban yang tak terbayangkan sebelumnya. Beliau bertemu dan bertukar salam dengan para Nabi-Nya dan yang paling menggetarkan, hamba terakhir dan Utusan Tuhan, Muhammad, shalallahu alayhi wa sallam bertemu dan berdiri di hadapan Rabb-nya.
Pada malam yang sama, hanya beberapa jam setelah memulai perjalanannya, Nabi Muhammad kembali ke Makkah.
Peristiwa perjalanan malam yang ajaib yang lebih dikenal dengan istilah Isra’ Mi’raj ini kelak tercatat menjadi senjata melawan Nabi Muhammad dan para pengikutnya oleh musuh-musuhnya, dan menjadi ujian iman yang ekstrim bagi orang-orang beriman.
Bertemu Ummu Aiman
Setelah kepulangannya, Nabi Muhammad shalallahu alayhi wa sallam berjalan ke rumah Ummu Ayman dan menceritakan perjalanan ajaibnya. Ummu Ayman merespon:
“Wahai Rasulullah, jangan beri tahu siapa pun tentang ini.”
Ummu Ayman memiliki iman yang sempurna kepada Nabi Muhammad dan percaya kisah perjalanannya, tetapi dia takut dengan tanggapan orang lain.
Nabi Muhammad menggambarkan Ummu Ayman sebagai “ibuku setelah ibuku sendiri”. Dia adalah pelayan setia ibunda Aminah dan tetap bersama Nabi Muhammad bahkan setelah kematian ibu dan kakeknya.
Nabi Muhammad dan Ummu Ayman sangat dekat, itulah mengapa di akhir perjalanan malamnya yang menakjubkan, beliau mendatangi Ummu Ayman, mungkin untuk kenyamanan dan kemudahan sementara beliau tengah merenungkan keajaiban yang baru saja terjadi dan memutuskan langkah selanjutnya.
Nabi Muhammad shalallahu alayhi wa sallam lalu berkata bahwa beliau akan memberi tahu orang-orang tentang perjalanan malam yang menakjubkan itu. Beliau menganggap itu sebagai tanggung jawab di hadapan Rabb-nya untuk menunjukkan Kekuasaan-Nya, tidak peduli tanggapan atau konsekuensinya. Nabi Muhammad menyerahkan pada Allah atas hasilnya.
Beliau lalu meninggalkan rumah Ummu Ayman dengan penuh kegundahan dan berjalan ke Masjidil Haram. Dia bertemu orang-orang di sepanjang jalan, dan perlahan berita tentang perjalanan malam tersebut menyebar di antara orang-orang.
Melanggar Berita
Saat Nabi Muhammad shalallahu alayhi wa sallam sedang berdiam di masjid, Abu Jahal mendekatinya dan bertanya dengan santai:
“Wahai Muhammad, apakah ada sesuatu yang baru?”
Terkenal sebagai salah satu musuh terbesar Islam, Abu Jahal bertanggung jawab atas berbagai penyiksaan, hukuman, pembunuhan, dan pelecehan terhadap mereka yang baru masuk Islam di sepanjang masa-masa awal Islam.
Meskipun dia menyadari permusuhan dan kebencian yang dirasakan Abu Jahal terhadapnya, Nabi Muhammad menjawab dengan jujur dan berkata:
“Kemarin malam saya telah melakukan perjalanan ke Baitul Maqdis dan kembali.”
Abu Jahal, karena tidak dapat menahan rasa geli, menanggapinya dengan meminta Muhammad mengulangi kata-kata ini di depan orang-orang Makkah. Nabi Muhammad menjawab dengan tegas, dan Abu Jahal meninggalkan masjid sambil berlari, sembari memanggil orang-orang saat dia berlari di jalanan. Ketika cukup banyak orang telah berkumpul di mesjid, atas permintaan Abu Jahal, Nabi Muhammad bersabda, agar semua orang mendengar:
“Saya pernah ke Baitul Maqdis dan kembali.”
Kerumunan orang mulai tertawa, bersiul, dan bertepuk tangan. Mereka memperlakukannya sebagai lelucon besar dan tertawa terbahak-bahak. Ini adalah tanggapan yang diharapkan oleh Abu Jahal dan dia sangat senang.
Bukti
Orang-orang kafir Quraisy melihat kesempatan untuk mengakhiri Islam. Mereka mencemooh dan meremehkan klaim Nabi Muhammad shalallahu alayhi wa sallam. Di antara kerumunan ada orang-orang yang telah melakukan perjalanan ke Yerusalem, mereka meminta Nabi Muhammad untuk menjelaskan apa yang telah dilihatnya.
Orang-orang kafir tidak percaya dengan isra’ mi’raj. Mereka pun minta bukti nyata bahwa beliau benar-benar telah pergi ke Baitul Maqdis dalam satu malam. Mereka minta dua bukti agar mereka bisa memeriksa kebenarannya.
Pertama, tentang Baitul Maqdis. Karena di antara tokoh Quraisy ada yang telah mengetahuinya dengan persis termasuk pintu-pintunya. Menurut mereka, Muhammad tidak mungkin tahu sedetail itu.
Kedua, tentang kafilah dagang mereka. Menurut logika, Muhammad tidak mungkin tahu rombongan dagang mereka kecuali jika melewati mereka dalam perjalanan ke Baitul Maqdis tersebut.
“Wahai Muhammad deskripsikan untuk kami tentang Baitul Maqdis,” pinta mereka.
Rasulullah memang telah isra ke Baitul Maqdis. Tapi itu terjadi di malam hari sehingga beliau tidak begitu memperhatikan bangunannya dengan jelas. Beliau hanya menghabiskan waktu singkat di Yerusalem, dan tidak mengingat detail serta deskripsi kecil. Lagi pula, beliau juga tidak perlu memperhatikan sedetail itu karena bukan itu tujuan isra’ mi’raj.
Orang-orang kafir Quraisy sebenarnya ingin mempermalukan Rasulullah dan mencari alasan agar bisa menyebut beliau berdusta. Namun Allah tidak menghendaki demikian. Datanglah Malaikat Jibril membawakan gambaran Baitul Maqdis di atas sayapnya. Sembari melihat apa yang ditampilkan oleh Jibril, beliau menjawab pertanyaan Kafir Quraisy dengan telak:
“Salah satu pintunya begini dan begini terletak di tempat begini dan begini, salah satu pintunya lagi begini dan begini terletak di tempat begini dan begini.”
Mereka terkejut. Bagaimana mungkin Rasulullah bisa menjelaskan sedetil itu. Tapi mereka segera beralih ke pertanyaan kedua. Tentang rombongan unta mereka.
“Aku melintasi rombongan unta Bani Fulan di Rauha’ dan mereka sedang kehilangan salah satu unta mereka lalu mereka berusaha mencarinya. Aku memanggil dari atas untuk memberi tahu mereka keberadaan unta tersebut. Lalu aku sampai pada kumpulan tunggangan mereka dan tidak seorang pun berada di sana tiba-tiba aku menemukan semangkuk air lalu aku meminum darinya. Silakan kalian tanyakan tentang itu kepada mereka,” jawab Rasulullah.
“Demi Tuhan, ini adalah pertanda,” sebagian mereka saling kasak kusuk, kelabakan mendengar jawaban Rasulullah.
“Lalu aku sampai pada rombongan dagang Bani Fulan,” lanjut Rasulullah, “maka lari dariku seekor unta dan seekor unta betina berwarna merah berlutut, di atasnya terdapat tandu untuk membawa barang-barang yang ditulis dengan tulisan putih. Aku tidak tahu apakah unta-unta yang telah mematahkannya atau tidak. Silakan kalian tanyakan kepada mereka tentang itu.” tambah beliau.
“Demi Tuhan, ini adalah pertanda,” kata sebagian mereka.
“Lalu aku tiba di rombongan dagang Bani Fulan di Tan’im, berada di barisan terdepan seekor unta putih berbelang hitam dan sebentar lagi dia akan datang kepada kalian melalui Ats Tsaniyah (jalan di lereng bukit)”
Tak hanya dua, Rasulullah menghadirkan empat bukti nyata, satu tentang Masjid Al Aqsa, tiga tentang rombongan unta dan kafilah dagang mereka. Semua bukti isra’ mi’raj ini benar adanya.
Orang-orang Mekkah segera mengutus seseorang untuk menemui kafilah sebelum memasuki kota untuk menanyakan tentang malam sebelumnya dan memang benar bahwa ada suara aneh yang memanggil di lokasi mereka menemukan unta yang hilang dan sebagian persediaan air mereka telah hilang.
Tak mau kaumnya percaya dengan Rasulullah dan isra’ mi’raj, Walid bin Mughirah langsung membuat pernyataan.
“Dia seorang tukang sihir,” kata Walid menuduh Rasulullah.
Orang-orang kafir Quraisy itu mengetahui bahwa empat bukti isra’ mi’raj yang disebut Rasulullah adalah nyata sebagaimana fakta yang mereka ketahui. Namun, mereka lebih condong kepada tuduhan Walid bin Mughirah.
“Benar apa yang dikatakan Walid Bin Mughirah tentangnya,” kata mereka sembari pergi meninggalkan Sang Nabi.
Konfirmasi yang telah mereka lakukan ternyata tetap saja tidak cukup. Mereka terus mencemooh dan tertawa serta mengingkari kata-kata Rasulullah.
Peristiwa isra’ mi’raj merupakan ujian keimanan yang bahkan beberapa Muslim baru kembali menjadi kafir dan berpaling dari Islam.
Manisnya Iman
Bagi mereka yang imannya kuat dan benar, kuasa Allah terlihat jelas. Beberapa dari mereka yang menganggap keseluruhan cerita sulit dipercaya pergi menemui Abu Bakar. Mereka bertanya apakah dia percaya Nabi Muhammad melakukan perjalanan dalam semalam ke Baitul Maqdis dan kembali ke Makkah. Tanpa ragu Abu Bakar menjawab:
“Jika utusan Allah berkata demikian, maka itu benar”.
Karena peristiwa inilah Abu Bakar mendapat gelar Ash-Shiddiq (yang membenarkan). Peristiwa ini menjadi titik balik bagi sebagian besar kaum Muslimin setelah menghadapi siksaan fisik dan pelecehan dari orang-orang kafir, mereka sekarang harus bergulat dengan konsep di luar imajinasi terliar mereka. Beberapa gagal, tetapi banyak yang mampu merasakan manisnya iman dengan membenarkan perjalanan tersebut.
Perjalanan di malam hari, isra’ mi’raj dari Masjidil Haram di Makkah ke masjid terjauh di Baitul Maqdis, dan perjalanan menembus langit ke hadirat Allah SWT adalah keajaiban yang diberikan oleh Allah kepada utusan terakhir-Nya, Nabi Muhammad shalallahu alayhi wa sallam. (zarahamala/arrahmah.id)