JAKARTA (Arrahmah.com) – Deradikalisasi, sebuah proyek yang sangat semangat dilakukan pemerintah RI dengan dukungan anggaran sebesar Rp.400 milyar. Ternyata mempunyai sasaran yang tertuju hanya kepada umat Islam. Hal ini menurut Ismail Yusanto tidaklah aneh, mengingat proyek deradikalisasi tidak terlepas dari war on terrorism yang diinisiasi oleh Amerika Serikat yang pada dasarnya adalah war on Islam.
“Perang yang dikatakan melawan teroris, tapi pada faktanya adalah perang melawan Islam.” Ungkap Ismail selaku Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia seusai acara Refleksi Akhir Tahun 2011 bertajuk “Derita Tak Kunjung Reda,Syari’ah Adalah Solusi”.
Menurutnya kembali,program deradikalisasi yang sekarang ini sudah menyentuh dan mengintervensi pengertian istilah-istilah syar’i didalam Islam karena dianggap sumber radikalisme seperti istilah syari’ah, Jihad, thoghut,dan Khilafah. Berimplikasi terjadinya penyelewengan makna sebenarnya ajaran tersebut.
“Reinterpretasi terhadap pemahaman tersebut, menyebabkan penyimpangan terhadap pemahaman itu”papar Ismail.
Lebih dari itu, Ismail menjelaskan bahwa penolakan terhadap makna-makna yang benar syar’i dari istilah Jihad, Khilafah, dan syai’at islam. Mengarahkan deradikalisasi menjadi Deislamisasi(baca:penghancuran Islam).
“Loh, ketika syari’at Islam ditolak,dan ketika Jihad sebagai qital(perang) ditolak, apa itu bukan deislamisasi?” tukasnya.
Meski upaya reinterpretasi terhadap istilah-istilah syar’i tersebut, menurutnya,dilakukan pemerintah berjalan secara alami bukan langsung dari pesanan pihak asing. Namun ia, meyakini bahwa kebijakan deradikalisasi searah dengan war on terrorism dengan seluruh konsepnya berasal dari Rand Coorporation.
“In line dengan war on terrorism. Seluruh fikiran dasar deradikalisasi berasal dari Rand Corporation.” Jelas Ismail.
Penanganan terorisme dirasa Ismail, belum menyentuh akar persoalannya, karena BNPT hanya menentukan terorisme adalah kelompok-kelompok yang terkena faham radikal, padahal menurutnya, terorisme itu banyak terjadi bukan hanya karena faham radikal tetapi berangkat dari sikap perlawanan terhadap ketidakadilan.
“Ketidakadilan ini tidak pernah disentuh, pertanyaannya ialah apakah kita akan berdiam saja terhadap ketidakadilan itu?”lontarnya.
Sehingga Ia berpendapat, dalam perspektif ini BNPT tidak lagi diperlukan, karena BNPT menjadi bagian dalam war on terrorism yang dicetuskan Amerika Serikat. Tetapi, yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah adalah independensi politik, karena menurutnya, banyak negara yang tidak ikut bersama Amerika dalam war on terrorism dapat mengatasi persoalan tindak kriminal dinegaranya. Kemandirian Politik ini sangat penting agar negara dapat menyelesaikan persoalan tindak criminal dengan benar, artinya dalam menilai kejahatan cukuplah dinilai sebagai kejahatan, tanpa harus melabeli dengan terorisme seperti yang terjadi saat ini.
“Mengapa pembunuhanan di Papua disebut Kriminal. Tetapi, peledakan bom di gereja disebut terorisme” kata Ismail heran.
Setelah memiliki kemandirian dalam politik, menurutnya barulah pemerintah dapat memasuki tahapan penanggulangan terhadap kriminalitas.
“baik kriminalitas yang menggunakan label agama ataupun separatisme”tandas Ismail (bilal/arrahmah.com)