LONDON (Arrahmah.com) – Kini serangan Islamofobia melambung di Inggris, sebagian besar wanita Muslim telah menjadi korban utama dari kejahatan anti-agama. Kebencian ditargetkan mereka atas jilbab dan busana Muslim, sebuah laporan baru-baru ini memperingatkan.
“Saya telah terbiasa dengan fenomena ini sejak tragedi 9/11. Mulai dari dipanggil Osama Bin Laden sampai dijuluki Paki-teroris, saya telah mendengar semua itu,” ujar Zab Mustefa, seorang wartawan Muslim Inggris, yang mengkhususkan diri dalam topik hak dan budaya perempuan, kepada The Telegraph pada Rabu (7/5/2014).
Mustefa adalah salah satu dari ratusan wanita Muslim yang telah menghadapi pelecehan mengerikan setiap hari dari masyarakat non-muslim Inggris atas identitas Islam mereka.
Sejak serangan 9/11, Muslim Inggris telah mengeluhkan diskriminasi dan perlakuan stereotip di masyarakat karena berpakaian Islami dan beridentitas Muslim.
Sebuah penelitian terbaru menunjukkan bahwa antara 40% dan 60% dari masjid dan pusat Islam lainnya (sekitar 700) telah menjadi target pelecehan sejak 9/11.
Tahun lalu, Helpline Muslim, bertajuk Tell MAMA, telah menemukan bahwa wanita adalah korban dominan atas diskriminasi anti-Muslim dan kebencian rasial di Inggris. Dikatakan bahwa 58 % dari korban dalam 630 insiden rasial yang tercatat pada tahun lalu adalah perempuan.
Laporan tersebut mengungkapkan bahwa sebagian besar serangan fisik di jalanan ditargetkan kepada perempuan yang mengenakan pakaian Islam.
Kelompok sayap kanan seperti EDL dan Partai Nasional Inggris (BNP) juga telah mengusung isu imigrasi untuk menyalakan sentimen terhadap Muslim.
“Retorika rasis dari orang-orang seperti EDL dan UKIP pasti memuat hal-hal buruk,” kata Mustefa.
“Saya merasakan kebencian berlebihan terhadap Muslim sebagai dampaknya. Saat pergi ke polisi, mereka dipastikan gagal untuk menyelidiki, apalagi mengambil tindakan sanksi,” tambahnya.
“Saat itu seorang pendukung EDL datang mengancam datang lalu ‘memberi saya pelajaran’ hanya karena saya seorang wanita Muslim. Saya telah dijuluki aneka sebutan seperti pemakan hummus, tukang bercinta dengan unta, pelacur Muslim Paki, dan lainnya. Itu sama sekali bukan lelucon.”
Sayangnya, karena tak tahan diserang berulang-ulang, di London, beberapa wanita Muslim yang ketakutan meninggalkan jilbab mereka.
“Saya merasa tidak aman, suami saya mengatakan kepada saya untuk tidak pergi ke London, kami berdua khawatir bahwa saya mungkin akan diserang atau jilbab saya ditarik dan lain-lain,” keluh seorang wanita yang lebih memilih untuk tidak disebutkan namanya.
Suami wanita tersebut juga benar-benar marah ketika tidak dapat memberitahu polisi, ia juga mengatakan mereka harus tahu bahwa perempuan Muslim dilecehkan.
Muslim Inggris keheranan, sebab sikap melecehkan agama lain dan rasisme bukanlah hal yang diharapkan terjadi di kubu EDL, terlebih, mereka adalah orang-orang ‘berpendidikan’.
Rasisme online
Seiring dengan pelecehan verbal, Muslim Inggris percaya bahwa rasisme telah merambah ke media sosial untuk menyerang umat Islam, menggunakannya sebagai surga pelecehan, karena dapat menyelubungi identitas diri dari orang lain.
“Saya harus menekankan bahwa komentar-komentar rasis itu bukan hanya dilakukan orang-orang Inggris kulit putih, tetapi juga dilakukan sesama etnis minoritas, meskipun dari pengalaman saya, retorika yang paling membuat saya benar-benar marah telah datang dari orang-orang Inggris kulit putih,” kata Annabel, seorang Muslimah Inggris.
“Islamophobia merajalela, saya bahkan harus berurusan dengan beberapa komentar rasis setiap minggu. Sekarang seolah telah menjadi norma sosial bahwa serangan verbal atau fisik terhadap Muslim telah diberi ruang yang aman, baik di dunia maya ataupun cyber. Sehingga mereka dapat memvalidasi rasisme, yang saya lihat sehari-hari.”
Annabel menambahkan, “Seorang pria bahkan menulis status Facebook -nya bahwa ia memilih pindah dari tube (sebutan slank kereta bawah tanah)yang ditumpanginya, saat melihat seorang pria berjanggut sedang membaca senyap sebuah buku yang ditulis dalam aksara Arab.”
Sebuah laporan oleh Tell Mama pada tahun 2013 menemukan bahwa, belum termasuk pelecehan dan ancaman online, 58% dari seluruh insiden diverifikasi antara April 2012 dan April 2013 dilakukan terhadap perempuan dan bahwa dalam 80% dari kasus-kasus wanita itu, korban mengenakan jilbab, memakai niqab atau lainnya yang terkait dengan Islam.
Di tengah meningkatnya keluhan dari serangan rasial, beberapa wanita Muslim mengatakan bahwa anggap saja orang Inggris menggunakan Islamofobia sebagai bentuk “kritik konstruktif “.
“Saking seringnya dibully, saya rasa kekerasan ini dapat saya terima sebagai ‘perbuatan kejam demi kebaikan’, sebuah pujian atas integrasi kami di tengah cara hidup Inggris yang hedonis, layaknya intimidasi terhadap orang gemuk untuk membantu mereka mendapatkan hidup yang lebih sehat,” saran Henna, seorang wanita Muslim Inggris guna menguatkan iman saudara-saudariseimannya.
“Berdasarkan pengalaman saya, secara konstan sejak 9/11, teman-teman di sekolahnya -yang berkulit putih- sering mempertanyakan kepada saya, apa dan mengapa, dengan menjadi seorang Muslim berarti saya mendukung OBL (Osama bin Laden),” kenang Henna.
Ia juga pernah mengalami hal serupa. “Di Trafalgar Square, saya juga dibuntuti seorang remaja pria, lantas dia berjalan di depan saya untuk menghalangi jalan saya kemudian berceloteh ‘umat-Ku ‘ ingin menghancurkan Barat dan mengatakan bahwa saya harus kembali.’ Tak seorang pun di alun-alun yang ramai itu merasa terdorong untuk campur tangan atau membela.”
Bullying barangkali akan menjadi santapan harian Muslim Inggris, tetapi berpikir positif dan membalas dengan prestasi adalah hal yang terbaik yang dapat mereka lakukan.
Inggris adalah rumah bagi minoritas Muslim yang cukup besar, yakni hampir 2 juta orang.
Ratusan pelanggaran atas kebencian anti-Muslim telah dilakukan di Inggris pada tahun 2013, dengan polisi Metropolitan Inggris mencatat terjadi peningkatan sebesar 49 % dibandingkan 2012. Keep hamasaah! (adibahasan/arrahmah.com)