PARIS (Arrahmah.com) – Dua wanita Muslimah baru-baru ini menjadi korban akibat meningkatnya sentimen anti-Islam di Prancis, mereka “ditikam berulang kali” di bawah Menara Eiffel di Paris.
Insiden itu terjadi setelah Presiden Emmanuel Macron mengambil kebijakan yang sangat memecah belah masyarakat dan menargetkan komunitas Muslim melalui tindakan keras yang diperpanjang bagi masjid dan organisasi Muslim di Prancis.
Kedua korban merupakan Muslim asal Aljazair yang diketahui bernama Kenza (49) dan Amel, yang beberapa tahun lebih muda. Serangan tersebut menyebabkan satu korban kritis dengan paru-paru tertusuk setelah ditikam enam kali dan korban lainnya harus menjalani operasi pada tangannya.
Polisi Prancis telah menangkap dua wanita tersangka penikaman tersebut. Mereka merupakan wanita kulit putih dengan penampilan Eropa, yang sekarang menghadapi tuduhan percobaan pembunuhan.
Dengan ketegangan yang meningkat di negara itu akhir-akhir ini, Menteri Dalam Negeri Prancis Gerald Darmanin mengatakan pada Rabu (21/10/2020) bahwa dia telah meminta pihak berwenang setempat untuk menempatkan masjid di kota Bordeaux dan Beziers di barat daya Prancis di bawah perlindungan polisi menyusul ancaman atau tindakan kekerasan.
Radio France Bleu melaporkan di situsnya pada Selasa (20/10) malam bahwa para pemimpin Masjid Ar-Rahma di Beziers telah mengajukan pengaduan ke polisi menyusul pesan kebencian di Facebook, termasuk seruan untuk membakar masjid.
Pada Selasa (20/10), seorang anggota parlemen Prancis memperingatkan meningkatnya kebencian anti-Muslim yang mengakar dan kecurigaan umum terhadap Muslim di negara itu setelah terjadinya pembunuhan seorang guru yang menunjukkan karikatur Nabi Muhammad di kelasnya.
Adrien Quatennens, anggota parlemen dari Partai LFI yang berasal dari Departemen Nord, muncul di televisi France Info dan menyerukan persatuan dalam perang melawan terorisme. Dia mengatakan dia percaya bahwa tujuan teroris adalah untuk memecah belah masyarakat Prancis dan menempatkan “perpecahan antara Muslim dan penduduk lainnya.”
Pada saat yang sama, Quatennens menyadari pentingnya berjuang untuk mencapai tujuan ini.
“Karena itu, perpecahan ini harus ditolak. Kita harus memerangi terorisme, tetapi kita tidak boleh memiliki logika kecurigaan umum,” tambahnya, sebagaimana dilansir Daily Sabah.
Samuel Paty, seorang guru berusia 47 tahun yang mengajar sejarah dan geografi di Bois-d’Aulne College di Conflans-Sainte-Honorine di Yvelines utara ibu kota, dipenggal pada Jumat (16/10). Guru tersebut, dalam salah satu kelasnya tentang kebebasan berekspresi, telah menunjukkan kartun kontroversial yang menggambarkan Nabi Muhammad, menurut laporan tersebut.
Para pemimpin Muslim di seluruh Prancis mengutuk pembunuhan itu, menekankan bahwa ekstremis menyalahgunakan agama untuk tujuan mereka dan tindakan mereka tidak dapat dibenarkan melalui Islam. Para pemimpin masyarakat menyatakan keprihatinan mereka bahwa serangan baru-baru ini akan kembali menstigmatisasi Muslim Prancis dan meningkatkan pandangan anti-Islam.
Namun, Macron, yang sebelumnya mendefinisikan Islam sebagai agama “dalam krisis,” terus meningkatkan permusuhan terhadap Muslim. Pada 2 Oktober, dia meluncurkan undang-undang baru yang akan memperpanjang larangan lambang agama, yang akan sangat berpengaruh bagi wanita Muslimah yang mengenakan jilbab atau kerudung.
Menyusul pembunuhan guru tersebut, Macron mengatakan pada Selasa (20/10) bahwa organisasi Kolektif Cheikh Yassine, yang mendukung perjuangan Palestina, akan ditutup serta beberapa organisasi non-pemerintah Muslim lainnya. (rafa/arrahmah.com)