WASHINGTON (Arrahmah.com) – Frekuensi perilaku anti-Muslim di Amerika Serikat meningkat pada level yang mengkhawatirkan.
Sebuah studi yang dirilis awal tahun ini oleh Center for the Study of Hate and Extremism di California State University, menemukan bahwa insiden kekerasan anti-Muslim dan anti-Arab di Amerika Serikat meningkat drastis pada tahun 2014-2015, dengan peningkatan masing-masing 78,2% dan 219%, mencapai tingkat yang belum pernah terjadi pasca tragedi serangan 11 September 2001.
Dewan Hubungan Islam-Amerika (CAIR) menemukan bahwa pada 2015 terjadi peningkatan jumlah serangan yang ditujukan terhadap masjid setiap tahun sejak pelacakan terhadap insiden Islamofobia dimulai pada tahun 2009.
Sejauh ini pada tahun 2016, “pelacak Islamophobia” Huffington Post telah mencatat ada 289 tindakan anti -Muslim, yang meliputi insiden kekerasan dan non-kekerasan.
Gelombang insiden Islamofobia baru-baru ini tidak dapat dikaitkan dengan peristiwa tunggal yang besar seperti serangan 11 September, meskipun kekhawatiran atas peristiwa di Timur Tengah dan serangan di kota-kota Barat seperti Paris, Brussels, San Bernardino, dan Orlando tidak diragukan lagi memiliki hubungannya dengan hal tersebut.
Sebaliknya, kekuatan pendorong di belakang Islamophobia akhir-akhir tampaknya karena kecemasan atas keberadaan Muslim di masyarakat Barat, dan bukan karena kebencian terhadap kelompok tertentu atau kemarahan atas tindakan tertentu.
Berbicara dihadapan peserta yang hadir di Dewan Atlantik pada tanggal 20 Oktober, Vali Nasr dari Universitas Johns Hopkins berpendapat bahwa jenis Islamophobia ini terkait dengan kekhawatiran masyarakat Amerika dan Eropa atas imigrasi dan globalisasi.
Dia juga mengataan bahwa tantangan umat Islam sekarang jauh lebih besar [ketimbang pasca tragedi 9/11], karena ini bukan tentang membela aktivitas yang terjadi ‘di sana’, tapi ini benar-benar tentang membela tempat mereka dalam masyarakat Amerika dan masyarakat Eropa ke depannya.”
Dampak dari Pemilu 2016?
Kenaikan dalam kegiatan anti-Muslim ini tampaknya berkorelasi dengan siklus kampanye pemilihan presiden tahun 2016. Sebuah studi yang dirilis pada Mei oleh Bridge Initiative dari Universitas Georgetown menemukan bahwa insiden kekerasan anti-Muslim mulai meningkat pada Maret 2015, yang kira-kira bertepatan dengan dimulainya proses kampanye pendahuluan.
Penelitian tersebut mencatat sampai sejauh mana retorika anti-Islam dan anti-Muslim Donald Trump memainkan peran dalam peningkatan insiden anti-Muslim.
Menurut peneltiian tersebut, bahwa pencalonan Trump yang telah menggabungkan retorika Islamophobia tingkat tinggi dengan tingkat kecepatan liputan media yang hampir belum pernah terjadi sebelumnya dalam politik Amerika modern, memungkinkan pesan Trump mencapai jutaan orang di AS dan luar negeri. Dalam sejumlah insiden anti-Muslim, para penyerang telah mengidentifikasi diri mereka sebagai pendukung Trump.
Serangkaian survei tentang sikap Amerika terhadap Muslim dan Islam, yang ditulis oleh Shibley Telhami dari Universitas Maryland dan dibahas di Pusat Studi untuk Internasional dan Keamanan di Maryland yang juga diadakan pada tanggal 20 Oktober, memperlihatkan adanya hubungan antara kampanye Trump, dan politik Partai Republik pada umumnya, dengan peningkatan Islamofobia di AS.
Tiga survei, yang diambil pada bulan November 2015, Mei 2016, dan Juni 2016 (tak lama setelah tragedi penembakan di klub malam Orlando) menunjukkan peningkatan secara keseluruhan dalam sikap positif orang Amerika terhadap Muslim (dari 53% meningkat menjadi 58%, dan meningkat lagi menjadi 62%) dan sikap positif terhadap Islam (dari 37% meningkat menjadi 42% hingga 44%), bahkan setelah serangan Orlando.
Dalam pandangan Telhami ini, “polarisasi politik Amerika” malah menyebabkan sikap orang Amerika terhadap Muslim dan Islam melunak. Kampanye Trump menjadi teridentifikasi begitu lekat dengan cara pandang anti-Islam dan anti-Muslim dan siapa pun yang menentang Trump akan cenderung untuk mengadopsi pandangan yang berbeda.
(ameera/arrahmah.com)