(Arrahmah.com) – Penyerangan atas kantor redaksi Charlie Hebdo di Paris, Rabu, 7 Januari 2015, terhadap 12 orang diduga akibat media tersebut kerap menampilkan gambar karikatur satir tentang Nabi Muhammad. Tak lama setelah kejadian ini, berbagai elemen dari seluruh negara menyampaikan kecamannya.
Seperti dilansir bbc.co.uk/indonesia, Gedung Putih menyatakan kecaman atas serangan di kantor Charlie Hebdo. “Ini bukan hanya serangan terhadap rakyat Prancis, ini serangan terhadap nilai-nilai dasar yang kita anut di negara ini – kebebasan berbicara, kebebasan berekspresi dan kebebasan pers.” juru bicara Gedung Putih, Josh Earnest.
Tak hanya Gedung Putih, Presiden Amerika Serikat, Barack Obama, pun secara langsung menyatakan kecaman. Dikatakannya, serangan Paris itu sebagai “visi kebencian para pembunuh.” Kanselir Jerman, Angela Merkel yang mengatakan serangan terhadap Charlie Hebdo sangat mengerikan. Begitu juga dengan yang dikatakan Wali Kota Paris Anne Hidalgo, mengeluarkan pernyataan melalui Facebook, mengecam serangan terhadap kantor Charlie Hebdo.
Inti dari seluruh kecaman menggambarkan bahwa penyerangan ini adalah tindakan barbar. Tapi, sejatinya semua ini tak lebih menggambarkan lakon memuakkan Barat yang liberal. Barat senantiasa menggunakan standar ganda. Di satu sisi, mata dan mulut mereka berteriak keras memberikan kecaman atas penyerangan Charlie Hebdo, namun di saat yang bersamaan mereka menutup mata, telinga, dan mulutnya atas penyerangan Amerika di Irak, Afghanistan, Pakistan, dan Palestina yang hingga saat ini masih terus berlanjut dan telah menghilangkan jutaan nyawa umat Islam.
Pembelaan bertubi-tubi pun mengalir untuk Charlie Hebdo dengan alasan membela faham kebebasan. Memang benar, Charlie Hebdo dengan bebasnya berulang kali menampilkan karikatur satir menghina Islam, dengan anggapan bahwa apa yang mereka lakukan adalah semata wujud dari kebebasan berekspresi dan berpendapat. Kebebasan yang pada kenyataannya malah menghina keyakinan suci umat Islam. Seakan, umat Islam tidak diperbolehkan mengekspresikan rasa marahnya, pun ketika Nabi Muhammad saw dihina; sementara yang memiliki hak untuk mengekspresikan rasa marah hanyalah Barat.
Kita menyaksikan bagaimana parahnya ide kebebasan ini dipraktikkan oleh Barat. Prancis melarang para muslimah di sana mengenakan purdah, padahal bukankah hal ini adalah bagian dari kebebasan berekspresi? Di Belanda, penyembelihan sapi dengan cara Islam dilarang, pembangunan menara masjid di Swiss juga dilarang. Kebebasan berekspresi yang mereka agung-agungkan itu nampaknya tidak berlaku bagi umat Islam ketika menjalankan ibadah. Tidak terlalu berlebihan kiranya bila kemudian kita menilai bahwa kebebasan ini hanya dijadikan alat bagi Barat untuk melanggangkan kepentingannya, tetapi bukan untuk kebebasan mengaktualisasikan Islam.
Lalu, siapakah yang sebenarnya lebih sering menebarkan teror dan melakukan kekerasan? Mari kita lihat pembantaian di Palestina masih berlanjut, atas restu siapa? Begitu juga dengan pesawat tanpa awak Amerika menyerang perbatasan Pakistan-Afghanistan, ribuan orang tewas dan masih akan terus bertambah jumlahnya.
Bagaimana dengan kondisi Irak saat ini, siapa yang menghancurkannya? Pencarian senjata pemusnah massal yang menjadi alasan Amerika menginvasi Irak pada tahun 2003, ternyata tidak terbukti keberadaannya. Namun akibat invasi ini, 1.5 juta orang tewas, Irak hancur berantakan baik secara sosial, politik, juga ekonomi. Bush yang saat itu memerintahkan untuk menyerang Irak, kini hidup tenang menikmati masa pensiunnya. Bagaimana bisa seorang presiden yang memerintahkan menghancurkan sebuah negara bisa bebas begitu saja? Lalu siapa sebenarnya yang layak untuk disebut teroris dan penebar kekerasan? Wallahu’alam.
Penulis: Fatma R. Ginting
Alumni Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
(*/arrahmah.com)