Oleh Dian Puspita Sari
Member AMK
Pengangguran merupakan masalah klasik yang kita hadapi sejak negeri ini menerapkan sekularisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Janji manis juga mudah diucapkan pemerintah untuk menghapuskan masalah rumit satu ini. Namun masalah ini tak pernah kunjung usai, malah kini angka pengangguran terus bertambah.
Termasuk masalah pengangguran yang dihadapi masyarakat di Kabupaten Ngawi. Jargon SMK bisa! Siap kerja, cerdas, dan kompetitif pada faktanya tidak sepenuhnya sesuai realita. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Ngawi 2021, jumlah pengangguran lulusan SMK lebih tinggi dibandingkan SMA. Dari total MBl 21.216 orang menganggur, 35 persen di antaranya alumnus SMK. Sedangkan SMA lebih sedikit, 21 persen.
Ketua Musyawarah Kerja Kepala (MKK) SMKN Ngawi Parjono tidak mengingkari fakta tersebut. Kegagalan lulusan SMK untuk bersaing di dunia kerja disebabkan oleh banyak faktor. Salah satunya, peralatan praktik yang ketinggalan zaman. Lembaga pendidikan perlu melakukan modernisasi. ‘’Jadi, peralatan di sekolah beda dengan yang dipakai perusahaan,’’ katanya, Kamis (3/3). (radarmadiun.jawapos.com, 3/3/2022)
Di Balik Tingginya Angka Pengangguran
Sejatinya, tingginya angka pengangguran alumnus SMK, tidak hanya di Ngawi tapi juga di wilayah-wilayah lainnya, lebih disebabkan oleh:
- Strategi dan tujuan pendidikan Indonesia yang cenderung materialistik dan hanya menyiapkan SDM nya menjadi “buruh” yang jalan pikiran dan hidupnya hanya berorientasi untuk mendapatkan pekerjaan berbuah uang. Tak lebih dari itu.
Ternyata, strategi dan tujuan pendidikan yang materialistik dan sudah dirancang seperti di poin pertama ini masih belum memenuhi standar industri saat ini yang semakin berkembang, lantaran output pendidikan memiliki keahlian pas-pasan. Selain itu, banyaknya regulasi dari industri (investor) dan pemerintah menyebabkan keahlian pas-pas an ini tidak mampu bersaing melampaui kemauan investor.
Inilah dampak dari pemberlakuan sistem (aturan hidup) Kapitalisme sekuler, sistem buatan akal manusia. Sistem ini meniscayakan manusia yang hidup di dalamnya untuk berpikir “money-oriented” dan cenderung mengabaikan norma-norma agama sebagai aturan tertinggi yang berasal dari Wahyu Allah. -
Pengabaian hakikat tujuan pendidikan, yakni mencetak generasi yang beriman dan bertakwa.
Dalam Islam, tujuan pendidikan adalah untuk melahirkan generasi bersyaksiyah (berkarakter atau berkepribadian) Islam.
Maka metode pembelajaran Islam yang akan diterapkan oleh negara adalah sebagai berikut:
- Ilmu dipelajari seseorang secara mendalam hingga hakikatnya dipahaminya dengan pemahaman yang benar.
Sebut saja, ilmu tentang proses penciptaan manusia. Ia harus merujuk bagaimana proses Sang Khalik menciptakan manusia. - Orang yang mempelajari ilmu mesti meyakini 100% apa yang ia pelajari hingga tidak ada keraguan di dalamnya. Dengan ilmu tersebut, ia beramal. Dengan ilmu tersebut, ia ingin memastikan bahwa amal yang ia lakukan akan diterima di sisi Allah dan tidak tertolak.
Sebut saja, ilmu tentang amal shalat, puasa, zakat, haji, berdagang, berbakti kepada orang tua, adab dan akhlak, peradilan (hukum), dan lain sebagainya. Dengan ilmu terkait semua amal tersebut, ia ingin memastikan agar amalnya diterima di sisi Allah. - Ilmu dipelajari bukan sebatas teori, tapi untuk diamalkan.
Ilmu dalam Islam bersifat praktis dan menjadi solusi dalam mengatasi semua masalah hidup manusia.
Contoh, seorang muslim hendak: – Menunaikan salat.
Allah melalui rasul-Nya telah mengajarkan kepada kita untuk salat sebagaimana Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam salat.
“Salatlah kalian seperti kalian melihat bagaimana aku salat.”(HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad)
– Berdagang
“Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain. Tidak halal bagi seorang muslim menjual barang dagangan yang memiliki cacat kepada saudaranya sesama muslim, melainkan ia harus menjelaskan cacat itu kepadanya.” (HR. Ibnu Majah dan Baihaqi).
Islam menjadikan umatnya sebagai umat yang berakhlak mulia dan umat manusia sebagai umat yang beradab.
Islam menjadikan generasi nya sebagai seorang ilmuwan yang ahli ilmu dunia sekaligus ahli ilmu agama.
- Selain itu, angka pengangguran tinggi juga disebabkan kurang luasnya lapangan kerja yang tersedia untuk rakyat, khususnya kaum laki-laki yang diwajibkan Allah untuk bekerja dan alumnus sekolah atau perguruan tinggi dari jurusan apapun.
Islam, Solusi Mengatasi Pengangguran
Di balik tingginya angka pengangguran di atas, jelas bahwa Islam adalah satu-satunya solusi untuk mengatasi pengangguran.
Semua ini mustahil dimanifestasikan dalam sistem hidup Sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan, dan hanya mampu diwujudkan dalam sistem yang menjamin pelaksanaan Syariat Islam secara kafah.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,
“Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu.” (QS. al-Baqarah: 208)
Adapun pelaksana penerapan Syariat Islam kafah adalah pemimpin (khalifah).
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda,”Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka.’” (HR Ibnu Asakir, Abu Nu’aim).
Gambaran pemimpin inilah yang mendorong Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu sering berkeliling di malam hari untuk melihat kondisi rakyatnya. Saat ada yang mengeluh kekurangan pangan, ia segera menolongnya dan memanggul karung gandum sendiri.
Begitu pula jika ada rakyatnya yang menganggur, ia akan segera membantunya untuk mendapatkan pekerjaan.
Khalifah Umar juga pernah berkata, “Seandainya seekor keledai terperosok di Baghdad, niscaya Umar akan ditanya, mengapa tidak kau ratakan jalannya?”
Apabila semua pemimpin di dunia menjadi pelayan rakyat seperti yang dicontohkan Rasulullah dan Khulafa’ur Rasyidin, keadilan dan kesejahteraan akan terwujud bagi seluruh rakyat.
Wallahu a’lam bishawwab.