Oleh : Adil Nugroho *
(Arrahmah.com) – Bukan sesuatu yang kebetulan Islam Nusantara dipropagandakan secara masif oleh RI 1 Jokowi dengan melibatkan salah satu ormas berbasis massa besar serta Kemenag sebagai menteri penanggung jawab urusan agama. Mulai dari kontroversi baca Al Qur’an menggunakan logat Jawa hingga advokasi secara intens kelompok-kelompok minoritas seperti Ahmadiyah, Syiah, Baha’i dan lain sebagainya. Dan dugaan bahwa ada skenario besar yang menjadi grand design AS dan barat ikut mengintervensi berbagai negara termasuk Indonesia melalui isu-isu HAM dan pluralitas di antaranya benar-benar menjadi pertanyaan.
Nampaknya Islam Nusantara dimunculkan, bukan sebagai sebuah rumusan intelektual yang secara jujur dan obyektif digali dari akar sejarah Indonesia an sich. Melainkan juga menjadi argumentasi wacana intelektual kering narasi, yang dikembangkan berdasarkan pesanan AS dan barat. Melibatkan pemerintahan Jokowi beserta kabinetnya dan salah satu ormas islam besar sebagai propagandisnya. Sebuah grand design untuk mengendalikan peta konstelasi politik internasional. Terutama memposisikan Indonesia sebagai negara Muslim terbesar bernilai strategis secara politik, geografis, ekonomi, kultur dan sosial.
Sepak terjang Jokowi sebagai RI 1 mulai dari sebelum pilpres, pilpres hingga menjadi presiden, seperti cukup membuktikan keterlibatannya sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan yang banyak memfasilitasi kepentingan Asing dan Aseng. Diantaranya AS, Eropa, China dan Jepang. Bukan saja untuk agenda politik dan ekonomi yang tercermin dari kebijakan-kebijakannya yang lebih mengokohkan cengkeraman Asing dan Aseng. Melainkan juga agenda-agenda agama untuk memastikan jalan lapang dan aman kepentingan ekonomi politiknya tidak terkendala.
Islam Nusantara adalah sebuah rekayasa sosial kultural untuk membangun paradigma berpikir kaum muslimin di Indonesia agar tidak sensitif terhadap penjajahan asing dan aseng melalui para penguasa anteknya. Berkolaborasi dengan para pemimpin ormas islam yang mau dibayar. Ini menjadi sebuah strategi politik integral dan komprehensif untuk menancapkan kepentingan neo liberalis dan neo imperialis di satu sisi. Dan kepentingan menyapu bersih setiap ancaman yang berpotensi menggagalkannya di sisi yang lain. Dengan menggunakan strategi soft power maupun hard power. Soft power dalam bentuk membangun mind set (cara berpikir) tertentu sedemikian rupa hingga lahir pemikiran dan perasaan masyarakat yang tidak lagi kritis dan reaktif terhadap kepentingan Asing dan Aseng yang terimplementasi dalam beragam bentuk kebijakan. Sedang hard power adalah law enforcement (penegakkan hukum) melalui jerat hukum atau pendekatan keamanan menggunakan perundang-undangan. Dengan menggunakan kerangka perundang-undangan yang bersifat pro asing dan menikam rakyat.
Terlalu banyak contoh dan dengan penjelasan berulang-ulang untuk bisa menyatakan bahwa rezim Jokowi benar-benar sebagai rezim antek. Meski sebagian kalangan berpendapat sebagai sebuah keniscayaan dalam kaitan hubungan internasional. Salah satu contoh nyatanya adalah tetap diteruskannya pelaksanaan dari penanda tanganan Indonesia terhadap AFTA (Asian Free Trade Agreement) yang akan diterapkan secara mutlak pada 1 Januari 2016 di tengah ketidak berdayaan politik, ekonomi, budaya dan sosial bangsa dengan mayoritas muslim terbesar di dunia ini. Sebuah agreement yang meniscayakan Indonesia dengan kekayaan alam dan potensi pasar besar dengan populasi sekitar 250 juta siap menjadi obyek menarik untuk dieksplorasi dan dieksploitasi. Bukti ketidak siapan dan ketidak berdayaan itu diantaranya penyiapan pemenuhan hak sertifikasi profesi sebagai bentuk peningkatan kompetensi warga negara Indonesia di tengah persaingan tenaga kerja asing yang belum optimal.
Di bawah kementrian komunikasi dan informatika saja hanya ada 2 buah lembaga sertifikasi profesi di bawah Badan Nasional Sertifikasi Profesi yang siap memfasilitasi sertifikasi profesi melalui uji kompetensi. Diantaranya LSP Telematika Surabaya. Sementara terdapat jutaan tenaga kerja dari berbagai latar belakang profesi di berbagai kementrian yang belum tersertifikasi profesi. Di tengah implementasi UU Tenaga Kerja yang mengharuskan semua dunia usaha dan dunia kerja harus tersertifikasi profesi.
Sokongan AS terhadap pemerintahan Jokowi
Dokumen berbahasa Inggris dan sebagian terjemahan bahasa Indonesianya tersebar di jejaring sosial itu jelas menunjukkan bahwa Jokowi telah didukung dengan dana besar-besaran. Dalam penggalan dokumen tersebut antara lain disebutkan sebagai berikut :
Pertama, Amerika Serikat memberikan berbagai program bantuan kepada Indonesia di area-area seperti pendidikan, lingkungan, keadilan terhadap kejahatan dan anti-korupsi, anti terorisme, pendidikan dan pelatihan militer, serta demokrasi dan pemerintahan. Saluran utama bantuan ini adalah Departemen Luar Negeri, Badan Pengembangan Internasional A.S (USAID), Millennium Challenge Corporation (MCC), dan Korps Perdamaian.
Kedua, Sebagai contoh, Indonesia Compact dari MCC adalah program lima tahun senilai $600 juta yang bertujuan untuk mengurangi kemiskinan dan mengembangkan pertumbuhan ekonomi secara lebih luas.
Ketiga, Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah A.S. telah mengalihkan dukungan USAID ke berbagai program yang diberikan atau dilakukan secara langsung oleh berbagai organisasi serta badan di Indonesia, yang menyertakan masyarakat sipil serta bisnis setempat.
Keempat, Dalam Anggaran FY2016-nya, Departemen Luar Negeri menyebut Indonesia sebagai kemungkinan negara fokus dalam program Anti Ekstremisme Kekerasan.
Keempat, Indonesia juga disebut secara sama dalam Anggaran FY2015 Luar Negeri. Program pendanaan A.S. spesifik lainnya termasuk Pengendalian Narkotika dan Penegakan Hukum Internasional, Kesehatan Global, Pendidikan dan Pelatihan Militer Internasional, serta Badan Perdagangan dan Pembangunan A.S..
Selain mendokumentasikan kebijakan bantuan AS secara all out terhadap Indonesia, dokumen itu juga menyebut rekomendasi dari Komisi A.S. mengenai Kebebasan Beragama Internasional (USCIRF), sebuah Komisi yang diciptakan oleh Kongres Amerika ini merupakan badan penasihat pemerintah A.S yang independen dan bipartisan, yang memantau kebebasan beragama di seluruh dunia dan mengajukan berbagai rekomendasi kebijakan ke Presiden, Menteri Luar Negeri, serta Kongres. Rekomendasi terhadap pemerintah AS tersebut antara lain :
Mendorong Presiden Jokowi dan Menteri Lukman untuk memenuhi komitmen mereka dalam mengintroduksi undang-undang baru yang melindungi kaum agama minoritas, dan menawarkan bantuan teknis bila dibutuhkan;
Membuat kelompok kerja bilateral spesifik dalam pertemuan Kemitraan Komprehensif dengan Indonesia, untuk membicarakan hak asasi manusia, kebebasan beragama, dan masalah peraturan hukum, serta menetapkan tindakan konkret untuk menangani semua ini; Mengangkat kebutuhan untuk melindungi tradisi toleransi beragama dan pluralisme Indonesia bersama para pejabat Indonesia, dengan menangkap dan menghukum para individu yang menarget kelompok agama dengan tindakan diskriminasi dan kekerasan
Mendesak pemerintah Indonesia di tingkat pusat, provinsi, dan setempat, untuk menaati konstitusi Indonesia dan standar internasional dengan membatalkan Keputusan Kementerian Bersama mengenai komunitas Ahmadiyah dan semua larangan di tingkat provinsi terhadap praktik keagamaan Ahmadiyah, mengubah atau membatalkan Pasal 156(a) dari Hukum Pidana, serta membebaskan semua yang dihukum atas dasar “penyimpangan,” “merendahkan agama,” atau “penghujatan;” serta mengubah Keputusan Kementerian Bersama No. 1/2006 (Peraturan Pembangunan Rumah Ibadah) agar memberi hak bagi kaum agama minoritas untuk membangun dan memelihara rumah ibadah mereka;
Memprioritaskan pendanaan bagi program pemerintahan, masyarakat sipil, dan media yang mendukung kebebasan beragama, anti ekstremisme, membangun persekutuan antar kepercayaan, memperluas kemampuan pelaporan bagi para pembela hak asasi manusia, melatih para pejabat pemerintahan dan agama untuk melakukan mediasi perselisihan antar golongan, dan membangun kapasitas bagi advokat reformasi hukum, pejabat yudisial dan parlemen, agar dapat memenuhi kewajiban Indonesia secara lebih baik di bawah hukum hak asasi manusia internasional; dan
Membantu pelatihan polisi Indonesia dan petugas anti terorisme di semua tingkat, agar dapat lebih baik menangani konflik antar agama, kekerasan serta terorisme yang berkaitan dengan agama, termasuk kekerasan terhadap tempat ibadah, melalui praktik yang konsisten dengan standar hak asasi manusia internasional, dan secara bersamaan memastikan bahwa para petugas tersebut tidak terlibat dalam penyalahgunaan hak asasi manusia di masa lalu berdasarkan prosedur pemeriksaan Amendemen Leahy.
Sokongan pemerintah AS terhadap pemerintahan Jokowi pemimpin negeri mayoritas muslim terbesar dunia tersebut menggelitik sebuah pertanyaan besar tentang kaitan antara propaganda intens Islam Nusantara dengan kepentingan Asing yang berada di belakangnya. Karena tidak mungkin ada gelombang gerakan nasional tertentu jika tidak ada maksud terselubung di baliknya. Saatnya kaum muslimin memiliki kesadaran dan kepekaan tentang masa depan nasib yang dialaminya. Wallahu a’alam bis showab.
*Pemerhati Sosial Politik
(*/arrahmah.com)