Oleh : Ummu Hanan (Aktivis Muslimah)
(Arrahmah.com) – Kedatangan warga negara asing (WNA) China ke Indonesia beberapa waktu lalu menuai respon beragam dari beberapa pihak. Diberitakan sekitar 170 WNA masuk ke Indonesia melalui jalur penerbangan dan mendarat di Bandara Soekarno Hatta Banten pada tanggal 15 Mei 2021 (sindonews.com,17/5/2021).
Kedatangan WNA ini juga menimbulkan spekulasi seputar dibukanya kembali pintu masuk bagi tenaga kerja asing (TKA) khususnya melalui jalur carter. Namun rumor ini disanggah oleh pihak Kementrian Perhubungan (Kemenhub) dengan menyebut bahwa pesawat carter yang mengangkut TKA dari luar negeri telah diberhentikan sejak 5 Mei 2021.
Persoalan arus masuk TKA China ke Indonesia dinilai kontroversial. Kondisi ini disebabkan oleh adanya kondisi pandemi yang masih melanda negeri ini. Pemerintah sendiri beberapa waktu sebelumnya telah menetapkan adanya peraturan yang membatasi mobilitas masyarakat ketika ingin mudik.
Kebijakan tersebut diambil konon dilatarbelakangi untuk menekan lonjakan kasus persebaran Covid-19 di tanah air. Di sisi lain akses bagi warga negara asing, apalagi dari China sebagai tempat pandemi bermula, seolah dibuka sangat lebar. Bagi para pegiat hak buruh seperti Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menilai perlakuan ini sebagai sesuatu yang tidak adil (sindonews,16/5/2021).
Kemudahan akses bagi TKA merupakan bagian dari amanat omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020. Melalui UU Ciptaker ini akan ada ragam kemudahan yang diperuntukkan para TKA. Diantara kemudahan bagi para TKA yang diatur dalam UU Ciptaker adalah TKA tidak perlu mengantongi surat izin tertulis dari Kementrian Tenaga Kerja (Kemenaker) untuk dapat bekerja di Indonesia.
Bagi para TKA yang ingin bekerja di Indonesia hanya diwajibkan mengisi lembar Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) untuk kemudian diserahkan kepada Kementrian Tenaga Kerja. Alhasil peluang bagi masuknya TKA ke Indonesia sangat besar dengan kemudahan yang difasilitasi oleh UU Ciptaker.
UU Ciptaker bertolak belakang dengan UU Ketenagakerjaan yang telah ada sebelumnya. Di dalam UU Ketenagakerjaan No.13/2003 disebutkan bahwa untuk dapat masuk ke Indonesia seorang TKA wajib memiliki surat izin tertulis dari Menteri Tenaga Kerja (Menaker).
Surat izin tertulis ini bersifat wajib meski yang bersangkutan telah memiliki Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA). Karena itu tidaklah mudah bagi TKA untuk masuk dan bekerja di Indonesia sebab persyaratan ketat tersebut. Terlebih kondisi ini dapat melindungi keberadaan pekerja pribumi dalam meraih lapangan pekerjaan yang ada di dalam negeri.
Mengurai persoalan serbuan TKA ke tanah air tentu tidak dapat dipisahkan dari kebijakan negara. Bagaimanapun negara memiliki andil besar dalam mengatur interaksi yang terjadi di tengah masyarakat melalui peraturan dan kebijakan. Seperti halnya kasus TKA China sebagai salah satu “buah” penerapan UU Ciptaker.
Tidak dapat dipungkiri UU Ciptaker menciptakan sebuah iklim kerja yang sangat kondusif bagi kepentingan korporasi. Padahal di sisi lain ada ribuan bahkan mungkin jutaan masyarakat Indonesia yang sedang kesulitan mencari kerja. Disinilah seharusnya negara mendudukkan perannya sebagai pengayom rakyat.
Kapitalisme tak ayal telah memunculkan pengaturan yang jauh dari nilai keadilan dan kesejahteraan. Kebijakan yang lahir dari ideologi ini menjadi bukti bahwa negara hanya berperan sebagai regulator atau pembuat kebijakan yang ditujukan untuk memenuhi kepentingan segelintir elit. Berbeda halnya dengan Islam dalam masalah pengaturan urusan rakyat.
Syariat Islam memandang bahwa seorang pemimpin adalah penaggungjawab atas urusan rakyatnya. Dalam salah satu hadits Nabi Saw disebutkan bahwa “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggungjawab atas pengurusan rakyatnya,” (HR al-Bukhari). Artinya, seorang penguasa di dalam pandangan Islam bertanggungjawab penuh dalam menjamin pemenuhan kebutuhan rakyatnya.
Negara yang menerapkan syariat Islam akan memberikan perhatian yang besar kepada rakyat, termasuk para pekerja. Negara akan memfasilitasi rakyat untuk memeroleh nafkah guna memenuhi kebutuhan hidup mereka dengan layak. Kalaupun secara kualitas sumber daya manusia yang dimiliki belum mumpuni maka negara berkewajiban untuk menaikkan kapasitas SDM, misal melalui pelatihan atau transfer teknologi dari pakar terkait.
Potensi sumber daya alam yang ada juga sangat memengaruhi kesejahteraan rakyat. Melalui penerapan syariat Islam, negara akan melakukan pengelolaan SDA sesuai dengan ketentuan Islam. Negara akan memperhatikan jenis kepemilikan SDA berdasarkan kepemilikan individu, negara dan umum.
Demikanlah bentuk pengaturan Islam yang akan menjamin kesejahteraan rakyat, termasuk para pekerja. Negara yang berdasar pada syariat Islam tidak akan mudah bergantung pada SDM negara lain dalam rangka menjalankan aktivitas pembangunan. Sangat jauh berbeda dengan pengaturan negara yang berdasar pada ideologi kapitalisme.
Kapitalisme hanya melahirkan pengaturan yang lebih condong pada kepentingan korporasi, jauh dari nilai keadilan dan kesejahteraan. Karena itu tidakkah kita terpanggil untuk menjadikan Islam sebagai pijakan pengaturan atas negeri ini, demi kehidupan yang lebih baik dan barokah tentunya.
(*/arrahmah.com)