Oleh Ummu Kholda
Pegiat Literasi
Rumah adalah tempat yang aman dan nyaman untuk berlindung serta beraktivitas. Rumah juga termasuk salah satu kebutuhan pokok yang wajib dipenuhi. Namun hari ini, prospek Gen Z untuk memiliki rumah kian sulit. Mereka menghadapi banyak tantangan ketika ingin memiliki rumah.
Meskipun telah ada program sejuta rumah yang diprakarsai Presiden Prabowo, namun sepertinya tidak akan mampu menjamin masyarakat Indonesia mendapatkannya, mengingat syarat dan ketentuan program satu juta rumah ini cukup berat dan tidak akan mengakomodir keinginan semua masyarakat.
Di Indonesia, masih banyak pekerja muda, terutama yang bekerja di sektor informal, mengalami kesulitan untuk memenuhi syarat Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Lebih dari itu, tingginya uang muka (DP) yang harus dibayar juga menambah beban mereka dalam mewujudkan kepemilikan rumah pertama. Ditambah lagi inflasi yang meningkat turut membuat biaya hidup lebih mahal dan gaya hidup konsumtif yang seringkali menjebak anak muda, menjadi pemicu lain yang membuat mereka kesulitan menabung untuk membeli rumah. (Indikatorbisnis.com, 26/2/2025)
Menurut CEO & Founder Pinhome, Dayu Dara Permata, saat ini Gen Z menghadapi tantangan yang cukup besar dalam memiliki rumah karena harga properti yang tinggi, sementara gaji mereka stagnan bahkan bisa dikatakan rendah. Banyak dari mereka yang baru mulai bekerja dan hanya memiliki sedikit tabungan sehingga sulit untuk membeli rumah.
Pengajuan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) juga sulit karena kurangnya riwayat kredit dan pekerjaan yang tidak stabil, inflasi serta biaya hidup yang terus meningkat berimbas pada berkurangnya daya beli masyarakat. Selain itu, banyak dari Gen Z yang harus menghidupi keluarganya sekaligus membantu orang tua atau keluarga yang biasa disebut ‘Generasi Sandwich’. (Antaranews.com, 14/2/2025)
Sistem Kapitalis, Harapan Memiliki Rumah Makin Tipis
Memiliki rumah tentunya menjadi sebuah impian setiap orang, terutama bagi mereka yang sudah berkeluarga. Sayangnya hari ini impian tersebut harus dipendam karena berbagai hal. Di antaranya, problem dari pertanahan dan perumahan itu sendiri, serta kondisi ekonomi yang karut-marut sehingga daya beli pun menurun. Untuk memperoleh sebuah tanah berikut perumahan, masyarakat harus mengeluarkan uang yang tidak sedikit. Apalagi di perkotaan, harga tanah dan perumahan sangat mahal karena berbanding lurus dengan hitung-hitungan ekonomis, seperti jarak tempuh, wilayah strategis, dan sebagainya.
Selain itu, biaya hidup yang tidak murah dan sulitnya mencari pekerjaan menambah impian memiliki rumah semakin tipis. Kalaupun sudah bekerja, gaji yang diterima belum tentu cukup, apalagi masih banyak yang gajinya di bawah Upah Minimum Regional (UMR). Belum lagi harga tanah dan properti yang semakin naik tiap tahunnya mengakibatkan hampir mustahil Gen Z dan generasi berikutnya memiliki rumah, termasuk rumah ‘Program Sejuta Rumah’ dari pemerintah. Tak hanya kesulitan memiliki rumah dengan gaji yang pas-pasan, hal tersebut juga menunjukkan semakin jelasnya kesenjangan antara properti dan penghasilan Gen Z.
Untuk menjalankan program tersebut, pemerintah tentu tidak bertindak sendiri, akan tetapi akan menggaet berbagai investor pengembang terutama untuk membantu pendanaan. Salah satunya adalah Qatar yang turut mendukung program ‘Tiga Juta Rumah’. Saat ini negara di Timur Tengah itu berkomitmen membangun satu juta rumah di Indonesia. Komitmen tersebut bahkan telah disepakati lewat MoU Pengembangan Proyek Hunian 1 Juta Unit yang ditandatangani Menteri Perumahan Rakyat dan Kawasan Pemukiman, Maruarar Sirait dan pihak Kerajaan Qatar, Syaikh Abdul Aziz Al Thani di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (8/1/2025). (CNN Indonesia, 21/1/2025)
Bagi investor, hal tersebut adalah ladang bisnis yang menjanjikan karena akan banyak mendatangkan keuntungan. Dalam berbisnis, investor tentu tidak mau rugi, sehingga mereka bisa saja menaikkan harga berkali-kali lipat. Pada akhirnya, masyarakat akan tetap kesulitan mendapat rumah impian karena tidak sebanding dengan gaji yang masih stagnan.
Inilah ketika urusan rakyat didasarkan pada sistem ekonomi kapitalis, yang meniscayakan pemegang kendali terkuat ada pada sang pemilik modal. Negara hanya berfungsi sebagai regulator, penghubung rakyat dengan korporasi. Lebih dari itu, solusi pemerintah dengan membangun sejuta rumah sejatinya hanya bersifat parsial dan tambal sulam. Rakyat nyatanya dibuat sulit, terjebak dengan riba bertahun-tahun, belum lagi cicilan tiap bulannya membuat rakyat semakin tercekik. Padahal negaralah yang seharusnya bertanggung jawab memenuhi kebutuhan rumah bagi rakyat. Negara dapat membuka lapangan kerja dan memberikan gaji yang layak sesuai keahliannya hingga masyarakat mampu memberikan rasa aman bagi keluarganya dengan memiliki rumah yang layak.
Di samping bersifat parsial, program tersebut semakin menunjukkan negara berlepas tangan dalam pemenuhan kebutuhan pokok rakyat. Semuanya diserahkan kepada individu masing-masing, seolah tidak peduli rakyat dapat tidur nyenyak atau tidak. Sungguh di bawah naungan kapitalis harapan rakyat memiliki rumah kian tipis.
Islam Menjamin Penyediaan Rumah
Islam memandang bahwasannya rumah atau tempat tinggal adalah kebutuhan primer yang harus terpenuhi sebagaimana kebutuhan makanan dan pakaian. Meskipun permintaan terhadap rumah akan selalu tinggi karena jumlah manusia yang semakin bertambah, akan tetapi bumi Allah Swt. sangatlah luas dan sangat cukup untuk menampung manusia. Asalkan pengaturannya sesuai dengan yang Allah Swt tetapkan.
Sebagai agama yang sempurna Islam memiliki konsep tersendiri dalam pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, termasuk rumah secara tidak langsung. Di antaranya: pertama, Islam mewajibkan setiap laki-laki yang sudah dewasa untuk bekerja. Dalam hal ini negara akan membuka lapangan kerja seluas-luasnya, baik dengan membuka lapangan pekerjaan baru, memberikan lahan untuk diolah, atau memberikan modal usaha. Mekanisme lainnya adalah dengan mengatur sebab-sebab kepemilikan harta di antaranya ihya’ al-mawat (menghidupkan tanah mati) dan iqtha’ (pemberian tanah oleh negara kepada individu rakyat). Sabda Nabi saw.: “Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, maka tanah tersebut akan menjadi miliknya.” (HR. al-Bukhari, dari penuturan Umar bin al-Khattab)
Dengan begitu, masyarakat dapat mengolah tanah miliknya atau pemberian negara untuk ditanami atau dijadikan ladang usaha, dan hasilnya dapat untuk menghidupi keluarganya termasuk memberikan hunian yang layak bagi mereka. Hal ini adalah termasuk jaminan negara akan kebutuhan primer masyarakat terkait tempat tinggal.
Kedua, jika ada rakyat yang tidak mampu bekerja karena alasan syar’i, maka menjadi kewajiban keluarganya untuk memenuhi kebutuhan tersebut dengan memberinya tempat tinggal, pakaian, hingga makanan. Ketiga, jika kedua tahap itu tidak dapat dilaksanakan, maka hal itu akan menjadi tanggung jawab negara untuk menyediakan. Dananya dapat diambil dari uang negara atau dari harta milik umum, dan kebijakan pemberiannya sesuai dengan ijtihad yang ada. Rumah tersebut akan dijual dengan harga yang terjangkau, disewakan, atau diberikan secara cuma-cuma.
Adapun selain aturan di atas, Islam akan membuat kebijakan lain yang mendukung rakyat memiliki tempat tinggal. Seperti kebijakan larangan menelantarkan tanah, mengatur sebab-sebab kepemilikan tanah, mengelola harta milik umum dan sebagainya. Semuanya akan diatur sesuai Islam yang pada akhirnya akan bermanfaat untuk kepentingan rakyat. Sehingga tidak ada lagi rakyat yang kesulitan mendapatkan rumah karena harga mahal, atau karena gaji yang pas-pasan. Karena sistem Islam dibuat untuk kemaslahatan rakyat, bukan untuk menzalimi rakyat sebagaimana sistem kapitalis saat ini yang hanya mementingkan segolongan pihak. Semua aturan ini akan berjalan di bawah pemerintahan Islam yang akan menerapkan aturan Islam secara kafah (menyeluruh).
Wallahu a’lam bi ash-shawab