Oleh Novi Widiastuti
Pemerhati Sosial dan Penulis
Bisnis skincare di Indonesia terus menunjukan tren pertumbuhan dalam beberapa tahun terakhir seiring dengan makin tingginya kesadaran masyarakat baik wanita maupun pria untuk merawat diri. Tak heran bila jumlah pelaku industri produk perawatan dan kecantikan terus meningkat.
Namun dengan semakin banyaknya produk perawatan kecantikan yang hadir di pasaran membuat persaingan di bisnis ini kian ketat. Untuk itulah para pelaku usaha harus dapat saling berlomba-lomba menghadirkan inovasi, kualitas terbaik, hingga branding yang membedakannya dari merek lain sehingga dapat memenangkan hati konsumen.
Teratu Beauty yang merupakan beauty local brand asal Bandung ini didirikan oleh beauty influencer, Alifah Ratu Saelynda. Sebagai bentuk rasa syukur di anniversary ke-4 di tahun ini, Teratu Beauty melakukan social campaign bertema “Terangi Bumi Pertiwi”. Yakni kegiatan sosial berupa pembangunan penerangan jalan di desa pelosok yang sangat minim dan bahkan tidak ada penerangan jalan di malam hari.
Ricky Aditiya Fandi, Direktur PT Teratu Beauty Kosmekreasi yang menaungi Teratu Beauty mengatakan, titik pertama Terangi Bumi Pertiwi dilakukan di perbatasan Desa Cipanjalu dan Desa Ciporeat. Keduanya berada di Kecamatan Cilengkrang, Kabupaten Bandung. Ia menjelaskan, di desa tersebut jalanan tanpa penerangan harus dilalui oleh kurang lebih 2000 kepala keluarga. (tribunnews.com, 5/5/2024)
Ironis sekali, Kabupaten Bandung merupakan salah satu daerah penghasil listrik nasional. Terdapat beberapa sumber penghasil listrik, di antaranya Kamojang, Situ Cileunca dan Gunung Patuha. Namun demikian, jangankan penerangan jalan umum, masih banyak warga Kabupaten Bandung yang belum teraliri listrik sampai saat ini. Bupati Bandung, Dadang Supriatna, mengungkapkan masih ada 3.400 rumah tangga yang belum teraliri listrik.
Selain itu Kabupaten Bandung terletak di Pulau Jawa, wilayah dengan dengan konsumsi listrik tertinggi di Indonesia, dengan persentase mencapai 73,5%. Bandingkan dengan wilayah lain seperti pulau Sumatra dan Kalimantan di mana konsumsi listrik terbesar hanya 14,1% dan 8,8%. Lebih mengenaskan Pulau Sulawesi, Bali-Nusa Tenggara, dan Papua-Maluku memiliki konsumsi listrik yang lebih rendah, yaitu masing-masing 2,6%, 0,8%, dan 0,2%. Dari sini terlihat masih banyak pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk memberikan cahaya bagi warganya. (data.goodstats.id, 7/4/2023)
Penerangan jalan umum (PJU) dan termasuk jalan desa di dalamnya, senyatanya adalah hak rakyat dan tanggung jawab negara. Oleh karena itu negara wajib menyediakan, merawat dan membiayai fasilitas penerangan, tidak boleh mengalihkan tanggung jawab tersebut kepada individu ataupun perusahaan swasta. Sumber dana untuk menyelenggarakan itu bisa diperoleh negara dari berbagai aspek, salah satunya dari pengelolaan kekayaan alam yang cukup melimpah di negeri ini. Baik dari hasil tambang dan migas, atau hasil pengelolaan laut dan hutan.
Namun sayang sejak pengelolaan sumber daya alam diserahkan kepada pihak swasta, negara tidak memiliki kedaulatan dalam memenuhi kebutuhan publik selain dengan memberlakukan pajak sebagaimana UU No. 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan atau UU No. 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi daerah.
Pajak sebagai sumber utama pemasukan negara yang dipungut dari rakyat secara terus menerus, harusnya mampu mewujudkan sarana dan fasilitas publik apapun seperti jalan berikut penerangannya, rumah sakit, pasar, bandara, dan lain lain karena di antara pengeluaran pajak tersebut dialokasikan untuk infrastruktur.
Adapun listrik merupakan infrastruktur keras non-fisik. Secara umum, infrastruktur ini adalah fasilitas umum, yang dibutuhkan oleh semua orang, sehingga termasuk dalam kategori marafiq al-jamaah. Begitu juga termasuk fasilitas umum yang tidak mungkin dimonopoli oleh individu, seperti jalan raya, laut, udara, dan sejenisnya. Negara wajib mengelola kepemilikan umum ini, termasuk dalam proses pengadaan dan perawatan.
Peradaban Islam adalah contoh terbaik sepanjang masa. Ketika Barat masih berada dalam kegelapan yakni pada Abad Pertengahan, Dunia Islam justru telah mencapai puncak peradaban yang gemilang. Menurut Anwar G. Chejne, di Cordova saja terdapat 1.600 masjid, 900 pemandian umum, 60.300 bangunan besar untuk tokoh-tokoh terkemuka seperti wazir (menteri), sekretaris negara dan panglima perang, 213.077 real estate dan 80.455 pertokoan. Sementara itu terdapat pula 10.000 lampu penerang jalan yang membuat jalan-jalan raya di kota tersebut terang benderang pada malam hari.
Ini sangat kontras dengan pemandangan wilayah Eropa yang juga masih tertinggal bahkan belum mengenal alat kebersihan badan dan lingkungan semisal sabun mandi dan jalan-jalan yang masih berlumpur. Kekaguman masyarakat Eropa pada kemajuan peradaban Islam terwakili oleh surat yang dikirimkan oleh Raja Inggris kepada Sultan Hisyam III, penguasa Andalusia (kini Spanyol). Berikut petikannya:
‘‘Kami telah mendengar kemajuan ilmu dan industri di negara paduka. Karenanya, kami bermaksud mengirim putra-putri terbaik kami untuk menimba ilmu di negara paduka yang mulia agar ilmu pengetahuan tersebar ke negeri kami yang dikelilingi kebodohan dari empat penjuru.” (dikutip dari Dr Muhammad Sayyid Al Wakil dalam Lamhatun min Tarikhid Da’wati ‘Wajah Dunia Islam’)
Kemajuan peradaban Islam ditunjang juga oleh konsep ekonomi yang adil. Dan Islam telah menetapkan adanya konsep kepemilikan umum pada komoditas yang menguasai hajat hidup orang banyak. Rasulullah saw bersabda :
“Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad)
Berserikatnya manusia dalam ketiga hal pada hadis di atas bukan karena zatnya, tetapi karena sifatnya sebagai sesuatu yang dibutuhkan oleh orang banyak (komunitas) dan jika tidak ada, mereka akan berselisih atau terjadi masalah dalam mencarinya. Fasilitas umum yang dibutuhkan secara bersama oleh suatu komunitas yang jiika tidak ada maka masyarakat akan berselisih dalam mencarinya–maka manusia berserikat di dalamnya. Perserikatan di situ bermakna perserikatan dalam pemanfaatan. Dalam arti, semua boleh memanfaatkannya. Tidak boleh dikuasai oleh seseorang atau sebagian saja, maka pengelolaan dikembalikan kepada negara.
Di masa kepemimpinan Umar bin Khattab pengelolaan harta yg menjadi sumber pendapatan negara dialokasikan beliau untuk kebutuhan publik, salah satunya memberikan penerangan lampu untuk Masjid al-Haram dan Masjid Nabawi. Lampu-lampu pada masa pemerintahan Umar merupakan sarana penerangan yang sifatnya berkesinambungan dengan disiapkan dana khusus dan petugas yang mengurusinya. Penerangan tersebut merata di seluruh masjid, bahkan berlanjut hingga setelah kepemimpinan Umar. Sebagai buktinya adalah kesaksian Ali bin Abi Thalib ketika keluar rumah dan melihat lampu gemerlapan di masjid, maka beliau berkata, ”Semoga Allah menerangi Umar di kuburnya, sebagaimana ia menerangi kita di masjid ini.”
Begitulah gambaran pengelolaan infrastruktur untuk memenuhi hak publik. Pengelolaan tersebut akan kembali dirasakan manfaatnya manakala umat memiliki sistem yang sahih dan dipimpin oleh pemimpin yang taat pada Allah Swt yang menerapkan syariat secara kaffah.
Wallahu a’lam bish shawwab.