SURABAYA (Arrahmah.com) – Hubungan antara Islam dengan demokrasi, hingga kini masih terus menjadi perdebatan. Ada yang mengatakan kompatibel, sebagian menyatakan tidak. Perdebatan ini selalu direpresentasikan oleh partai Islam dan gerakan Islam non-partai.
Perbedaan ini, bahkan kerap memicu konflik horizontal antarpartai Islam dengan gerakan Islam non-partai, sehingga muncul konklusi, partai Islam vis a vis gerakan Islam. Tak pelak, realitas tersebut selain merugikan umat Islam, terlebih akan menimbulkan disintegrasi di tubuh umat Islam.
Untuk mencari titik temu sekaligus mendinginkan ketegangan tersebut, kemarin Partai Bulan Bintang (PBB) dalam penutupan Musyawarah Wilayah (Muswil) Jatim mengadakan seminar demokrasi dengan tema “Islam dan Demokrasi, Kompatibelkah?”. Acara diselenggarakan di Aula Bir Ali Asrama Haji, Sukolilo Surabaya.
Acara yang dihadiri elit PBB, simpatisan, dan kader partai, menghadirkan pembicara Ketua Majlis Syura PBB, Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, Ms.Sc. dan Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin Indonesia, Ustad. Irfan S Awwas. Seperti biasa, Yusril datang dengan menggunakan celana jeans dan baju lengan panjang kotak-kotak berwarna putih-hitam. Sangat kontras dengan para peserta yang mayoritas ustadz.
Sekjen Majlis Syura PBB, Dr. Fuad Amsyari dalam pembukaan menyampaikan, seminar tersebut mencoba mencari titik temu antara Islam dan demokrasi yang masih sering dipertanyakan banyak pihak. Jika persoalan itu dapat diselesaikan, dia berharap perjuangan lewat partai Islam bisa mendapat dukungan dari seluruh elemen umat Islam.
Sedang Irfan S Awwas dalam penyampaiannya mengatakan, ketegangan antarpartai Islam dengan gerakan Islam, lantaran banyak aktivis partai Islam yang tidak bisa berinteraksi secara baik dengan aktivis gerakan Islam lainnya.
“Partai Islam cenderung melihat gerakan Islam non-partai salah. Sedang, gerakan Islam melihat partai Islam thagut karena berteman dengan demokrasi,” ujarnya.
Perbedaan tersebut kemudian menjadi ketegangan yang tidak terkomunikasikan dengan baik sehingga menjadi jurang pemisah. Agar hal itu tidak terus berlangsung, ketegangan tersebut harus segera didinginkan dengan harmonisasi interaksi bersifat simbiosis mutualisme demi membuminya syariat Islam di Indonesia.
Terkait apakah Islam dan demokrasi kompatibel, Irfan melihat dari dua sudut pandang. Definisi demokrasi dan demokrasi dilihat dari segi mekanisme. Dari sisi ta’rif (definisi) demokrasi, kedaulatan rakyat, sudah jelas bertentangan dengan Islam, di mana kedaulatan di berada tangan Allah. Jadi, demokrasi tidak bisa diterima dalam Islam.
Tak hanya itu, dia mengatakan, demokrasi tak punya sumber hukum karena buatan manusia. Beda dengan Islam yang menjadikan Al-Quran dan Sunnah sebagai supremasi hukum. Sehingga, dia mengkonklusikan, mengkompatibelkan Islam dan demokrasi merupakan langkah mensinergikan antara benar dan salah.
Dan langkah tersebut adalah proses syetaninasi. Karena itu, dia mengatakan JIL (Jaringan Islam Liberal) sangat senang dengan demokrasi. Sebab, dengan demokrasi, bisa mensinergikan yang benar dan salah.
Sedang dilihat dari mekanisme, demokrasi bisa dijadikan alat untuk memperjuangkan syariat Islam. Namun, yang ada justru partai-partai Islam menjadi bemper dan diperalat demokrasi. Dia mencontohkan, ada pernyataan partai Islam yang mengatakan, “Syariat Islam tidak relevan di Indonesia, karena heterogen, bukan homogen.”
Namun, setidaknya, dia berharap, para aktivis partai di parlemen bisa meminimalkan ketegangan tersebut dengan meminta dukungan dan pertimbangan.
Menanggapi hal tersebut, Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra mengatakan bahwa demokrasi bukan hal sederhana. Diskusi demokrasi telah berlangsung lama dan telah dilakukan para pendiri bangsa, termasuk dalam merumuskan falsafah bangsa Indonesia dan bentuk pemerintahan –apakah republik atau kerajaan– juga kerap diganjal diskusi demokrasi. Namun, dari hasil panjang diskusi itu, para pendiri bangsa, sepakat menjadikan Indonesia sebagai negara demokrasi.
Menurutnya, definisi demokrasi sangat banyak. Lebih dari dua puluh definisi dan belum ada kesepakatan. Sehingga dia mengatakan, definisi demokrasi tergantung dari siapa yang mendefinisikan. Tapi bagaimana menjadikan Islam sebagai petunjuk bagi seluruh manusia, dia mengatakan, perlu reinterpretasi demokrasi.
Sebab, dalam Islam sendiri, tafsir tentang syura juga sangat banyak. Kalau menelaah kitab-kitab klasik, ada seribu tafsir tentang syura. “Jadi, ini soal tafsir,” ujar Yusril.
Apa yang dikatakan Irfan bahwa Islam dan demokrasi tidak bisa didudukkan dalam satu bangku, menurut Yusril, tak begitu terasa bila berada dalam dunia realitas. Dalam merumuskan, memutuskan, mengambil kebijakan, dan melaksanakan perdebatan Islam dan demokrasi, tak begitu dirasakan. Namun, dia mengakui, jika berada dalam ranah tersebut, perdebatan itu sangat terasa. (hidayatullah/arrahmah.com)