(Arrahmah.com) – Umat Islam di Belanda berjumlah sekitar satu juta jiwa itu. Mereka adalah warga negara dan pendatang. Jumlah ini mencakup empat hingga lima persen populasi yang mencapai 16 juta jiwa.
Dari angka tadi, Belanda pun punya posisi istimewa di mata umat Muslim Eropa. Belanda menjadi negara Eropa kedua terbesar penduduk Muslimnya, bila ditinjau dari persentase penduduk, setelah Prancis.
Islam adalah agama dengan perkembangan paling pesat. Hal itu agaknya tak terlepas dari hubungan antara Islam dan Belanda yang telah memiliki rentang sejarah panjang bahkan sejak abad ke-17.
Karenanya, kontribusi umat Muslim terhadap kemajuan yang dicapai negeri Belanda, sangatlah besar. Dan besarnya kontribusi umat Islam itu, sanggup mewarnai kebijakan negara dalam menghormati kebebasan beragama dan toleransi.
Pada awalnya, interaksi komunitas Muslim Belanda dengan masyarakat setempat berjalan dengan baik. Warga pun menghormati keyakinan umat Islam. Dan, umat Islam mulai membangun sejumlah tempat ibadah. Kumandang adzan juga diperbolehkan, kendati dengan pengeras suara walau hanya sekali dalam sepekan.
Warga Muslim Belanda juga mendirikan sejumlah rumah pemotongan hewan (RPH), dan mereka juga mempraktikkan cara-cara penyembelihan sebagaimana ajaran syariah (Islam). Sejumlah perkantoran memberikan fasilitas tempat shalat kepada pegawai yang beragama Islam, puasa Ramadhan dan libur hari raya.
Akan tetapi, masa-masa penuh keakraban ini mulai menghadapi ujian berat terutama sejak awal abad ke-21. Sentimen anti-Islam makin meluas akibat provokasi dan tudingan negatif terhadap agama dan umat Islam. Karenanya, umat Islam pun harus berjibaku untuk menepis tudingan negatif yang dilancarkan oleh kelompok anti-Islam itu.
Para orientalis dan kalangan anti-Islam, tak henti-hentinya menanamkan rasa takut dan kebencian terhadap Muslim dan Islam di dalam masyarakat. Mereka khawatir Islam akan semakin berkembang pesat di Eropa termasuk Belanda. Mereka menganggap, bila hal itu terjadi, maka akan mengancam budaya dan nilai-nilai yang mereka anut. Sebuah alasan dan fobia yang sangat berlebihan.
Ketakutan bahkan sudah mencapai tingkat kebencian. Sebagian masyarakat kini tidak lagi segan untuk mendukung kelompok yang kerap mendiskreditkan agama Islam.
Suara-suara untuk mengambil hak-hak Muslim, menutup masjid, memaksa Muslim untuk mengikuti gaya hidup Barat, terus dikumandangkan. Begitu juga dengan pelarangan hijab (jilbab) dan terorisme. Kini, umat Muslim di Belanda, benar-benar memasuki masa penuh cobaan dan ujian.
Puncaknya, saat terjadi pembunuhan terhadap seorang kolumnis dan sineas kondang, Theo van Gogh, di Amsterdam tahun 2004 silam. Theo adalah pembuat film kontroversi Submission yang bercerita tentang penganiayaan yang konon kerap dialami wanita Muslim oleh suaminya.
Pembunuhan ini menyentak masyarakat Belanda, apalagi setelah diketahui pelakunya adalah imigran Muslim asal Maroko. Motif pembunuhan diduga karena pendapat Van Gogh yang selama ini sangat menghina Muslim dan kerap memprovokasi.
Sosiolog Dick Pels, dikutip dari situs radio netherland wereldomroep.nl, mengatakan, wajah Belanda seakan berubah pasca terbunuhnya Van Gogh. Momen itu dimanfaatkan sejumlah kalangan, salah satunya yang terkenal adalah Geert Wilders, anggota parlemen Belanda. ”Sejak pembunuhan terjadi, banyak orang berpikir bahwa Islam adalah ancaman. Dan itu dimanfaatkan Wilders dengan baik,” papar Dick Pels.
Menurutnya, ada kesamaan antara Van Gogh dan Wilders. Keduanya sama-sama punya ketakutan terhadap Islamisasi budaya. Itulah yang membuatnya terus bersuara anti-Islam.
Beberapa tahun lalu, Wilders memantik kemarahan komunitas Muslim Belanda dengan rencana pemutaran film Fitna yang melecehkan Islam. Seolah belum puas, Wilders menggagas rancangan undang-undang tentang pembatasan hijab (burqa).
Dia mengusulkan agar setiap Muslimah yang ingin memakai jilbab harus meminta izin, dan membayar 1.000 euro per tahun untuk keistimewaan itu. ”Kami sudah jenuh dengan jilbab. Kami berbuat apa saja untuk mengurangi pemakaian jilbab. Kami sudah menyusun rancangan undang undang yang melarang burka,” katanya pada situs rnw.nl sebagaimana dilansir Republika.
Argumen yang paling umum dari pernyataan sejumlah pengamat terkait rangkaian kejadian ini, urai artikel di situs opendemocracy.net, menandai belum kuatnya fondasi toleransi dan multikulturalisme dalam masyarakat.
”Sebagai konsekuensinya, Belanda dikhawatirkan akan menghadapi krisis identitas. Hal ini mengharuskan penelaahan kembali prinsip-prinsip esensial di masyarakat, agar mampu mengedepankan toleransi dalam posisi yang lebih kuat,” tulis artikel itu.
(*/Arrahmah.com)