PARIS (Arrahmah.com) – Pada Sabtu (14/11/2015), kelompok “Daulah Islamiyah”, atau Islamic State (IS) yang sebelumnya dikenal sebagai ISIS, mengaku bertanggung jawab atas enam serangan terkoordinasi yang mengguncang ibukota Perancis pada Jum’at (13/11) malam, yang menewaskan sedikitnya 129 orang dan melukai ratusan lainnya.
Presiden François Hollande dalam pertemuan di Elysee Palace mengatakan kepada rakyatnya bahwa ia menganggap serangan itu sebagai “tindakan perang” terhadap Perancis. “Ini adalah tindakan perang disiapkan dan direncanakan dari luar, dengan keterlibatan dari dalam negeri,” katanya. “Ini adalah tindakan barbarisme mutlak. Perancis akan menanggapinya tanpa ampun.”
Informasi yang bermunculan pada hari Sabtu sedikit menguak tentang identitas para penyerang, di mana pihak berwenang Perancis mengatakan bahwa para penyerang bekerja dalam tiga tim. Polisi Prancis mengatakan mereka telah menemukan paspor Suriah pada jasad salah satu dari delapan penyerang, yang semuanya tewas dalam serangan itu. Tujuh di antara mereka adalah penyerang bom bunuh diri, Associated Press melaporkan, dan polisi mengatakan seorang penyerang lainnya telah ditembak mati.
Jaksa Paris Francois Molins mengatakan salah satu penyandera di konser Bataclan, di mana 89 orang tewas, lahir di Perancis, dan bahwa tiga orang berkebangsaan Perancis yang terkait dengan serangan Paris ini ditangkap pada Sabtu pagi di perbatasan Belgia. Penangkapan terjadi setelah sebuah mobil dengan plat nomor Belgia terlihat dekat dengan teater Bataclan, menurut jaksa federal Belgia. Polisi juga mengatakan salah satu penyerang adalah warga negara Perancis muda yang sebelumnya telah ditandai oleh otoritas sebagai orang yang terhubung dengan “ekstremisme Islam”.
Seorang pejabat Yunani mengatakan salah satu penyerang dengan paspor Suriah ditemukan memasuki Uni Eropa melalui pulau Yunani Leros pada awal Oktober, menurut AP.
“Kami mengumumkan bahwa pemegang paspor telah melintas dari Leros pada 3 Oktober di mana ia diidentifikasi berdasarkan aturan Uni Eropa,” kata Menteri Perlindungan Warga Negara Nikos Toskas, yang bertanggung jawab atas pasukan polisi. “Kami tidak tahu apakah paspor itu diperiksa oleh negara-negara lain di mana pemegang paspor kemungkinan melintas.”
“Kami akan melanjutkan upaya keras dan gigih untuk menjamin keamanan negara kami dan Eropa dalam situasi sulit ini berupaya keras mendapatkan identitas lengkap mereka yang tiba,” tambah Toskas, sebagaimana dilansir Time.
Saat menteri kabinet Perancis berada di Istana Elysee, Menteri Dalam Negeri Bernard Cazeneuve mengatakan di televisi bahwa di bawah keadaan darurat nasional Hollande menyatakan pada Jumat malam bahwa polisi Perancis sekarang menyatakan jam malam di daerah tertentu. Mereka juga bisa menangkap “setiap individu yang mungkin mengancam tindakan pihak kepolisian.” Tentara Perancis telah mengerahkan 1.000 tentara tambahan untuk patroli di jalan-jalan dan stasiun Paris, katanya.
Perancis yang bergabung dengan koalisi militer melawan ISIS dilaporkan meluncurkan serangan pertama terhadap kelompok teror di Suriah itu pada akhir September, hampir sembilan bulan setelah serangan Charlie Hebdo. Hal itu terlepas dari fakta bahwa pejabat intelijen Perancis meyakini ada sekitar 1.500 warga Perancis yang telah melakukan perjalanan ke Suriah untuk berperang bersama kelompok-kelompok perlawanan di sana.
Pada malam terjadinya serangan, dua ledakan keras terdengar di stadion pukul 09:20 malam pada hari Jum’at, seketika mengundang kepanikan di antara kerumunan pengunjung. Lima menit kemudian sejumlah pria bersenjata melepaskan tembakan di dua restoran di distrik 10, arah timur, yang kerap menarik ratusan orang Paris ke bar dan kafe di sana pada malam akhir pekan.
Perangkat kedua meledak di stadion lima menit setelah itu, dan dalam sepuluh menit berikutnya ada ledakan di jalan-jalan di sekitar distrik 10, serta serangan di sebuah kafe pinggir jalan. Empat orang bersenjata kemudian menyerbu Bataclan pada pukul 09:49 dan mulai menembak puluhan orang. Enam menit kemudian, terjadi ledakan ketiga di stadion pada pukul 09:53. Pasukan anti-teror Perancis menyerbu teater itu tak lama setelah tengah malam dan membunuh para penyerang.
Pernyataan ISIS, yang ditulis dalam bahasa Perancis, menegaskan bahwa serangan di stadion Stade de France dan balai Bataclan dilakukan saat kota itu tenggelam dalam pesta akhir pekannya. “Delapan ikhwan membawa sabuk peledak dan menembaki daerah target di jantung ibukota Perancis yang secara khusus dipilih,” kata pernyataan ISIS. “Itu termasuk stadion di mana si pandir François Hollande menghadiri pertandingan sepakbola besar melawan Jerman dan di konser musik, di mana pesta kejahatan sedang berlangsung.”
Sebuah kerumunan kecil berkumpul di luar gedung Bataclan pada Sabtu pagi, beberapa orang hampir tidak percaya atas apa yang terjadi pada malam sebelumnya, sementara beberapa orang lainnya mengekspresikan kemarahan mereka. “Ini tidak ada hubungannya dengan Islam, itu adalah pekerjaan orang sakit,” kata Fouad Razzouk, seorang Muslim kelahiran Perancis yang khusus pergi ke kota dari rumahnya di pinggiran kota. Dia meletakkan buket mawar merah di dinding dekat ruang konser, di mana noda darah masih tersisa di trotoar. Dia mengatakan dia merasa dia harus datang dan menunjukkan kemarahannya atas serangan itu. “Saya tidak setuju dengan semua ini,” katanya.
Berdiri di samping dia, beberapa Muslim yang pindah ke Paris dari Aljazair 14 tahun yang lalu dan tinggal di dekat gedung konser, mengatakan mereka takut bahwa orang-orang Perancis mungkin akan semakin memandang lima juta Muslim yang tinggal di negara itu – banyak dari mereka yang lahir di Prancis – dengan kecurigaan. “Ketika sesuatu seperti ini terjadi, kita semua melihat keagresifan,” kata Raid Ghazi (39) seorang petugas komunikasi untuk sebuah perusahaan manajemen.
Surat kabar Perancis pada hari Sabtu menulis bahwa serangan ini bukanlah pengulangan dari serangan Charlie Hebdo, tetapi sesuatu yang jauh lebih serius: pembunuhan massal terhadap orang-orang yang sedang bersantai di akhir pekan secara acak. “[Serangan] kali ini, adalah perang,” kata halaman depan dari Le Parisien, tabloid penjualan terbesar di kota itu.
Masih ada kebingungan intens di Paris pada hari Sabtu, dengan setidaknya 352 orang yang terluka, di mana 99 diantaranya dalam kondisi kritis, serta beberapa orang Paris masih mencari teman atau kerabat meraka yang hilang. “Apakah Anda melihatnya?” Seorang wanita menangis panik, di depan kamera televisi, saat ia mengangkat foto dari seorang kerabat. “Dia berada di Bataclan.”
Semua bangunan umum memasang segitiga merah di pintu depan mereka, menandakan keadaan siaga tinggi. “Patroli ini bukan apa-apa,” kata Razzouk. “Perancis harus menyerang Daulah,” katanya, menggunakan istilah bahasa Arab untuk ISIS. “Ketika Anda diserang, Anda harus menyerang kembali.”
Serangan pada hari Jum’at itu jelas berbeda dengan serangan Charlie Hebdo, dengan koordinasi antara delapan orang bersenjata di enam lokasi. Selain itu, tak seperti serangan Charlie Hebdo yang menargetkan orang-orang tertentu yang dianggap musuh, seperti kartunis anti-Islam atau pembeli Yahudi, serangan pada hari Jumat terlihat memukul rata bertujuan untuk melampiaskan kemarahan pada gaya hidup seluruh warga sipil Perancis.
Sebelumnya, Al-Qaeda di Jazirah Arab atau Al-Qaeda in the Arabian Peninsula (AQAP) yang berbasis di Yaman telah menyatakan bertanggung jawab atas operasi penembakan di kantor majalah satir Perancis Charlie Hebdo yang menewaskan 12 orang. AQAP menyatakan serangan tersebut sebagai pembalasan atas penghinaan yang kerap dilakukan majalah kartun mingguan itu terhadap Nabi Muhammad ﷺ.
Operasi tersebut dilancarkan pada Rabu (7/1) lalu di kantor pusat majalah Charlie Hebdo di Paris. Salah satu orang yang masuk dalam daftar target dan tewas adalah Stephane Charbonnier, pemimpin redaksi dan kartunis majalah anti-Islam itu. Lima kartunis “papan atas” Charlie Hebdo lainnya juga turut tewas dalam serangan tersebut. Charbonnier, yang dikenal dengan panggilan Charb, bersama jajarannya akhirnya tewas di markas majalah Charlie Hebdo, di mana mereka mencari ketenaran dengan berulang kali menerbitkan kartun yang menghina Nabi Muhammad ﷺ.
Dalam pernyataan yang dirilis Al-Malahem Media, Al-Qaeda menegaskan bahwa para pelaku operasi ini ditugaskan dan mereka menyanggupinya, mereka berjanji dan mereka memenuhinya. Melalui mereka, Allah melegakan dada orang-orang beriman. Al-Qaeda pun menyampaikan ucapan selamat kepada umat Islam atas terpenuhinya pembalasan terhadap para penghina Nabi Muhammad ﷺ. Selain itu, Al-Qaeda juga memberi pesan peringatan kepada bangsa Barat terkait kebebasan berbicara mereka yang telah melanggar batas-batas kesucian Islam.
Sementara serangan Paris yang diklaim ISIS tidak mengkhususkan target mereka melainkan menyasar warga sipil Perancis secara umum. ISIS dilaporkan telah merilis sebuah video pada hari Sabtu, tanpa tanggal, di mana seorang pria dengan berbahasa Arab, mengancam serangan lebih lanjut terhadap Perancis jika serangan bom terus dilakukan terhadap mereka. “Selama kalian tetap mengebom, kalian tidak akan hidup dalam damai,” kata pria itu. “Kalian bahkan akan takut bepergian ke pasar.”
Sementara itu, di dalam pernyataannya, Abu Muhammad Al-Adnani, juru bicara resmi ISIS, pernah berkata:
“Wahai muwahhidīn di Eropa, Amerika, Australia, dan Kanada. Wahai muwahhidīn di Maroko dan Aljazair. Wahai muwahhidīn di Khurasan, Kaukasus, dan Iran. Wahai muwahhidīn di manapun di atas muka bumi… Kami memanggil kalian untuk membela Daulah Islam, puluhan negara telah berkumpul untuk menyerangnya. Jika kalian bisa membunuh kafir Amerika atau Eropa -terutama pendengki kotor Perancis- atau Australia, atau Kanada, atau kafir harbi lainnya, termasuk warga negara yang negaranya menandatangani koalisi penyerangan terhadap Daulah Islam, maka tawakkallah kepada Allah. Maka wahai muwahhid di manapun kalian berada, hambatlah mereka yang ingin membahayakan saudara-saudara dan Daulah kalian, semampu kalian. Usahakanlah hal terbaik yang kalian bisa dan bunuhlah orang kafir, apakah ia orang Perancis, Amerika, atau dari salah satu sekutu mereka. Jika kamu tidak dapat menemukan bahan peledak atau peluru, kemudian keluar seorang kafir Amerika, Prancis, atau salah satu sekutu mereka maka pukullah kepalanya dengan batu, atau sembelihlah dia dengan pisau, atau tabraklah dengan mobilmu, atau lemparkanlah dia dari tempat yang tinggi, atau cekiklah, atau racunilah! Tidaklah engkau kekurangan atau terhina. Jika kamu tidak mampu melakukannya, maka bakarlah rumahnya atau mobilnya atau bisnisnya. Atau rusaklah tanamannya!…” dan seterusnya.
Syaikh Abu Bashir Ath-Thartusi kala itu pun menanggapi pernyataan Andani sebagai sebuah upaya untuk mengajak kaum Muslimin berbuat curang.
“Beginilah keinginan Al-Adnani untuk membela Daulah palsunya yang bernasib sial, yaitu dengan perbuatan curang, mengimbangi ketidakberdayaannya untuk mempertahankan dirinya dengan perbuatan curang, dan menganjurkan kaum muslimin untuk berbuat curang!” ungkapnya.
(aliakram/arrahmah.com)