JAKARTA (Arrahmah.com) – Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) berencana untuk mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk kebutuhan pokok atau sembako. Wacana tersebut tertuang dalam Draf Revisi Kelima Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).
Beberapa sembako yang akan dikenakan pajak yaitu beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, ubi-ubian, bumbu-bumbuan, hingga gula konsumsi.
Di dalam aturan sebelumnya, barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak atau sembako termasuk objek yang tak dikenakan PPN. Namun, dalam aturan baru tersebut sembako tak lagi dimasukan ke dalam objek yang PPN-nya dikecualikan.
Selain sembako, beberapa hasil pertambangan dan pengeboran, seperti emas, batu bara, minyak dan gas bumi, dan hasil mineral bumi lainnya juga akan dikenakan PPN.
Pemerintah juga menambah objek jasa baru yang akan dikenai PPN, antara lain jasa pelayanan kesehatan medis, jasa pelayanan sosial, jasa pengiriman surat dengan perangko, jasa keuangan, dan jasa asuransi.
Selain itu, jasa pendidikan, jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan, jasa angkutan umum di darat dan di air, jasa angkutan udara dalam dan luar negeri, jasa tenaga kerja, jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam, serta jasa pengiriman uang dengan wesel pos juga akan dikenakan PPN.
Selain PPN, pemerintah juga berencana mengeluarkan ketentuan pajak baru, yaitu pajak karbon bagi orang atau korporasi yang membeli barang dengan kandungan karbon atau melakukan aktivitas yang menghasilkan karbon. Ide pajak ini muncul untuk mengisi kantong penerimaan negara sekaligus mengurangi emisi karbon.
Sebelum kedua jenis pajak ini, ada juga wacana pengampunan pajak (tax amnesty), yang rencananya juga akan tertuang di RUU. Meski diklaim merupakan program yang berbeda dengan tax amnesty yang pernah dilaksanakan pada 2016 lalu, wacana pengampunan pajak ini juga sempat membuat geger masyarakat.
Selain itu, ada juga rencana kenaikan tarif pajak penghasilan (PPh), khususnya bagi ‘orang kaya’, yang tarifnya bakal naik dari 30 persen menjadi 35 persen. Sementara, bagi masyarakat dengan lapisan penghasilan lainnya tetap.
Tarif PPh badan yang semula 25 persen pada 2020 juga akan diubah menjadi 20 persen pada 2022 mendatang.
Di luar rencana itu, pemerintah telah melakukan beberapa penyesuaian pajak. Misalnya, memberikan relaksasi pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) bagi kendaraan bermotor dengan alasan ingin mendongkrak pemulihan ekonomi usai tertekan dampak pandemi covid-19.
Begitu juga dengan pajak properti untuk pembelian rumah siap huni (ready stock). Dan tentunya, beberapa insentif pajak lain dalam rangka meringankan beban masyarakat di tengah pandemi.
Menanggapi wacana tersebut, Bhima Yudhistira Adhinegara, yang merupakan Ekonom sekaligus Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), menyebutkan bahwa berbagai wacana pajak baru Jokowi ini mengisyaratkan ketidakadilan. Bahkan, aturan pajak berpotensi memperlebar jurang ketimpangan antara si kaya dan si miskin.
“Ini ketidakadilan pajak yang kelewat batas. Kalau pemerintah tidak menggunakan logika yang lurus, bisa buyar pemulihan ekonomi. Jadi, kebijakan pajak ala Sri Mulyani (Menteri Keuangan) ini akan suburkan ketimpangan pasca-pandemi,” tutur Bhima kepada CNNIndonesia.com, pada Kamis (10/6/2021).
“Hal ini tercermin dari realisasi pengeluaran masyarakat kelompok 20 persen paling atas, di mana mereka kontribusi pengeluarannya naik dari 45,3 persen pada September 2019 menjadi 46,2 persen per September 2020,” paparnya.
“Sementara kelompok terbawah mengalami tekanan kehilangan pendapatan bahkan jadi pengangguran baru. Ini ditambah kebijakan pajak baru sampai bahan pangan dikenakan PPN sepertinya jelas pemerintah lebih berpihak pada orang kaya,” imbuhnya.
Menurut Bhima, pemerintah memberi banyak relaksasi pajak bagi orang kaya. Misalnya, relaksasi PPnBM, pajak properti, hingga tax amnesty, meski PPh berencana dinaikkan. Toh, PPh naik hanya bagi orang super kaya yang penghasilannya di atas Rp5 miliar.
“Orang kaya sudah diservis banyak oleh pemerintah. Sebentar lagi ada tax amnesty juga yang mengampuni wajib pajak kakap. Padahal, jelas-jelas tax amnesty gagal meningkatkan rasio pajak,” katanya.
“Bagi mereka yang berstatus pengusaha, keringanan pajaknya semakin bertambah. Sebutlah, PPh badan akan turun menjadi 20 persen. Belum lagi, tax holiday dan lain sebagainya,” pungkasnya.
Ekonom CORE Indonesia Yusuf Rendy Manilet juga melihat ironi dalam aturan pajak baru pemerintah, khususnya ketika wacana PPN sembako dan tax amnesty muncul.
“PPN sembako dan tax amnesty merupakan kebijakan ironi, karena disaat barang yang dikonsumsi oleh kelompok masyarakat luas malah dipajaki, namun di sisi lain pemerintah malah memberikan pengampunan pajak kepada orang yang berpotensi selama ini justru tidak tertib dalam menjalankan kewajiban perpajakannya,” ujarnya.
Apalagi, gagasan ini muncul di tengah pandemi covid-19. Sekalipun baru akan dilaksanakan pada tahun depan atau tahun selanjutnya pun, tetap saja masih kurang tepat karena belum ada jaminan perekonomian akan kembali seperti sebelum pandemi atau lebih baik dari sebelumnya.
Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad mewanti-wanti pemerintah atas wacana aturan pajak baru ini. Ia menilai kebijakan pemerintah berpotensi membuat pemulihan ekonomi semakin jauh. Di sisi lain, jurang ketimpangan semakin menganga lebar.
“Apalagi kalau PPN sembako diterapkan, ini dampaknya bisa multiplier ke inflasi, ke ekonomi, ke kemiskinan yang semakin tinggi, ketimpangan juga. Tentu, seberapa besar dampaknya masih perlu dihitung, tapi mininal garis batas kemiskinan akan naik,” jelas Tauhid.
“Ketika harga bahan pokok naik karena PPN, maka masyarakat akan mengurangi konsumsi, otomatis barang yang diperjual-belikan berkurang, pengusaha pun mengurangi produksi dan pendapatan mereka turun. Ekonomi turun juga. Efek ini yang kajiannya harus segera dipaparkan pemerintah ke publik dulu,” pungkasnya. (rafa/arrahmah.com)