(Arrahmah.com) – Suap, korupsi merupakan topik yang tidak pernah luput diulas di berbagai media, termasuk surat kabar. Rasanya ada saja tokoh baru yang bermunculan dalam keikutsertaannya menggerogoti uang yang dipercayakan rakyat untuk dikelola negara. Dan sadar atau tidak, sebagian besar dari mereka – para koruptor – adalah orang orang berpendidikan. Pribadi yang semestinya selalu melibatkan otak dalam setiap tindakan yang diambil. Ironisnya, mereka mereka ini selalu saja lolos dari jeratan hukum. Atau paling berat, dikenai hukuman jeruji beberapa tahun serta membayar denda.
Sungguh, ibarat belut, para koruptor di negeri ini begitu licin sekaligus lincah memainkan hukum. Kekuasaan dan uang di tangan, maka hal apa yang tidak bisa dilakukan? Belum lagi koalisi politik yang memungkinkan terjadinya kongkalikong alias perlindungan hukum. Bahkan, hakim pun kini bisa dibeli. Satu satunya harapan terakhir masyarakat terhadap lembaga yang notabene ditunggu keadilannya pun terpaksa terpatahkan. Mungkin benarlah ungkapan bahwa hukum di negeri ini bak pisau, selalu tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Padahal sebagian besar kemewahan dan fasilitas yang para pejabat nikmati itu tidak lain karena rakyat kecillah yang mati matian menyumbang kan harta mereka atas nama pajak.
Data Indonesian Corruption Watch (ICW) yang dirilis Februari 2017 mencatat ada 482 kasus korupsi di negeri ini selama 2016. Dari jumlah itu didapat ada 1.101 orang tersangka dengan total nilai kerugian negara mencapai Rp 1,45 triliun (Kompas.com 12/09/2017). Kasus terbaru, di tengah keresahan masyarakat dalam pengurusan e-ktp yang digemborkan lebih memudahkan administrasi, siapa sangka jika dana tersebut justru ditilap. 2 triliun amblas, masuk secara ilegal ke kantong mereka yang katanya berpendidikan. Lucunya, si tersangka lagi lagi lolos setelah sidang putusan praperadilan dengan dalih penetapan status tersangka oleh KPK dianggap tidak sah. Dagelan semacam inilah yang membuktikan kelemahan akuntabilitas lembaga negara. Alih alih menjaga kestabilan dengan menjegal kroco kroco pengerat uang rakyat, sistem justru menjadi pagar ayu, -penjaga abadi segala aturan main berbasis kompromi. Sistem ini pula lah yang sebenarnya menjadi sumber segala problematika berkat ideologi nya yang menjunjung tinggi nilai kebebasan. Kebebasan berekonomi alias memiliki kekayaan sebesar besarnya tanpa memandang kepada siapa objek kekayaan itu seharusnya diperuntukkan. Tentu saja konsep yang demikian itu akan berbuntut pada tingginya kesenjangan sosial. Pemerataan ekonomi pun semakin sulit dicapai mengingat kaum melarat akan jauh tertinggal dari para konglomerat.
Indikasi lain tumbuh subur nya para maling ini bisa jadi juga disebabkan substansi hukuman yang tidak menjerakan. Coba bandingkan dengan pengaturan Islam dalam menangani permasalahan ini. Hukuman potong tangan adalah titik final yang harus diterima. Tidak ada lobi, tidak ada grasi.
Point terakhir yang perlu digarisbawahi, bahwasanya anggaran dana merupakan tanggung jawab negara yang pengelolaannya tidak hanya memfokuskan pada ketepatan mekanisme, tapi juga diperlukan ketakwaan individu. Inilah tindakan preventif yang mungkin bisa dilakukan sebagai bentuk pencegahan dari lini terkecil. Dalam sekup yang lebih besar, dibutuhkan pula peran negara yang membersamai masyarakat dalam melakukan pengawasan kepada pihak pihak yang terlibat dalam urusan administrasi. Dijamin, kerjasama solid yang terjalin dengan melandaskan iman ini akan berbuah manis. Lagipula, bukankah yang demikian itu pernah terbukti realisasi nya berabad abad yang lalu? Abad dimana manusia tidak terbutakan dengan gairah mengeruk kekayaan, tapi justru berlomba-lomba membelanjakan nya di jalan kebenaran. Dan tidak menutup kemungkinan di abad ini, hal serupa akan kembali terulang apabila Islam tidak hanya diletakkan untuk mengurusi perkara ibadah saja, namun juga seluruh aspek kehidupan. Baik ekonomi, pendidikan maupun perpolitikan
Maya A
Kedamean, Gresik
(*/arrahmah.com)