TEHERAN (Arrahmah.com) – Iran telah mengecam “igauan” Arab Saudi karena menanggapi pidato yang memberatkan penguasa kerajaan tersebut selama pertemuan tahunan para pemimpin dunia di Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Selama pernyataan video pada hari Rabu, (23/9/2020) Raja Salman bin Abdulaziz meminta 193 anggota Majelis Umum PBB untuk mengeluarkan solusi komprehensif bagi musuh bebuyutan Riyadh (Iran) dan untuk menghentikannya mendapatkan senjata pemusnah massal.
Dalam pidatonya, raja sepuh yang berusia 84 tahun itu menuduh bahwa Iran telah mengeksploitasi kesepakatan nuklir 2015 dengan kekuatan dunia untuk “mengintensifkan kegiatan ekspansionisnya, menciptakan jaringan terorisnya, dan menggunakan terorisme” yang “tidak menghasilkan apa-apa selain kekacauan, ekstremisme, dan sektarianisme ”.
“Pengalaman kami dengan rezim Iran telah mengajarkan kami bahwa solusi parsial dan peredaan tidak menghentikan ancamannya terhadap perdamaian dan keamanan internasional,” katanya.
‘Distorsi fakta’
Sebagai tanggapan, Saeed Khatibzadeh, juru bicara kementerian luar negeri Iran, menuduh Arab Saudi telah memutarbalikkan fakta dan melimpahkan kesalahan atas “kejahatannya” sendiri, mencapnya sebagai “pendukung keuangan dan logistik utama terorisme di wilayah tersebut”.
Arab Saudi, negara mayoritas Muslim Sunni, dan Iran yang didominasi Syiah telah bertahun-tahun terkunci dalam beberapa perang proksi di kawasan itu, termasuk di Yaman di mana koalisi yang dipimpin Saudi telah memerangi gerakan Houtsi yang berpihak pada Teheran.
“Kekalahan politik dan pertempuran yang konstan di Yaman, telah membuat Arab Saudi beralih ke pembicaraan yang mengigau dan mereka ingin melepaskan diri dari tanggung jawab kejahatan perang mereka terhadap perempuan dan anak-anak Yaman dengan menuding negara lain,” kata Khatibzadeh.
Dia menambahkan bahwa dukungan Arab Saudi terhadap kampanye sanksi “tekanan maksimum” yang diberlakukan oleh Amerika Serikat terhadap Iran, upaya untuk memperluas hubungan dengan ‘Israel’, dan “uang tebusan miliaran dolar dari kantong rakyatnya sendiri” tidak membuahkan hasil, mengubahnya menjadi negara “lemah” di antara negara-negara Arab.
Dalam pidatonya, Raja Salman menahan diri dari mengkritik kesepakatan “normalisasi” yang ditengahi Washington baru-baru ini yang terjadi dalam beberapa pekan terakhir antara Uni Emirat Arab dan Bahrain untuk menjalin hubungan dengan Zionis ‘Israel’.
Majid Takht-Ravanchi, utusan Iran untuk PBB, juga mengecam tuduhan Raja Salman “tidak berdasar” dan menuduh Arab Saudi sebagai “sumber ketidakstabilan di wilayah tersebut”. (Althaf/arrahmah.com)