ANKARA (Arrahmah.id) – Wakil menteri luar negeri Rusia, Turki, Suriah dan Iran akan bertemu di Moskow pekan depan untuk pembicaraan tingkat rendah menjelang pertemuan yang telah lama direncanakan antara empat menteri luar negeri negara tersebut.
Menteri Luar Negeri Turki, Mevlut Cavusoglu mengatakan pada Rabu (8/3/2023) bahwa timpalannya dari Iran, Hossein Amir-Abdollahian bertanya apakah Teheran dapat bergabung dalam pembicaraan tiga arah sebagai pihak keempat, dan Ankara setuju.
“Astana adalah satu-satunya format yang bertahan (untuk mengatasi) Suriah,” kata Cavusoglu pada konferensi pers bersama dengan Amir-Abdollahian.
“Pertemuan di tingkat menteri luar negeri bisa diadakan di tahap selanjutnya, pada waktu yang kita semua sepakati,” katanya.
Dalam pernyataan bersama setelah pertemuan 25-26 April 2019 di Astana, Iran, Rusia dan Turki menegaskan kembali komitmen kuat mereka terhadap kedaulatan, kemerdekaan, persatuan dan integritas wilayah Suriah, dan terhadap tujuan dan prinsip Piagam PBB.
Abdollahian mengatakan Teheran bersedia membantu menyelesaikan ketidaksepakatan antara Ankara dan Damaskus di bawah format empat arah, terutama mengenai penarikan militer Turki dari Suriah utara.
Iran dan Turki telah mengambil sikap berlawanan terhadap Suriah sejak pecahnya konflik.
Keputusan pembicaraan tingkat rendah ini terjadi sepekan setelah Duta Besar Rusia untuk Irak, Elbrus Kutrashev, mengatakan selama Forum Irbil 2023 bahwa ini adalah “waktu yang tepat” untuk rekonsiliasi antara Suriah dan Turki.
Rusia mensponsori jalur normalisasi antara menteri pertahanan dan kepala intelijen Suriah dan Turki di Moskow pada Desember dalam upaya untuk memfasilitasi proses pemulihan hubungan antara kedua negara, menandai pertemuan tingkat tinggi pertama sejak perang di Suriah dimulai pada 2011. Namun Teheran mengumumkan kegelisahannya karena dikesampingkan dari pertemuan ini dan menekankan pentingnya solusi politik di Suriah.
Dalam pertemuan tersebut, para menteri pertahanan membahas upaya kontraterorisme di Suriah dan sepakat untuk melanjutkan pertemuan tiga arah untuk mendorong stabilitas di kawasan.
Setelah gempa bumi dahsyat melanda Turki selatan dan Suriah barat laut pada Februari, Ankara membuka jalur pengiriman bantuan internasional untuk korban gempa di Suriah. Sekitar 475 truk bantuan telah melewati gerbang perbatasan, sementara Turki juga membuka wilayah udaranya untuk pesawat yang membawa bantuan ke zona gempa.
Iran juga mendirikan rumah sakit lapangan dan mendirikan kota tenda di Adiyaman yang dilanda gempa, dan juga mengirimkan tim pencarian dan penyelamatan yang terdiri dari 150 orang.
Presiden Iran Ebrahim Raisi juga diperkirakan akan mengunjungi Turki untuk bertemu dengan Presiden Recep Tayyip Erdogan.
Gulriz Sen, pakar hubungan Turki-Iran dari TOBB University of Economics and Technology di Ankara, mengatakan garis merah Teheran dalam perang saudara Suriah tetap tidak berubah, dengan penekanan pada memastikan kelangsungan hidup rezim Asad dan integritas wilayah Suriah.
“Iran sangat menentang kehadiran militer AS dan Turki di Suriah dan menyerukan penarikan pasukan ini untuk memastikan bahwa rezim Asad membangun kendali di setiap jengkal negara,” katanya kepada Arab News.
Sen mengatakan bahwa Iran menginginkan pengaruh permanen di Suriah, satu-satunya sekutu Arabnya, melalui hubungan strategis dan ekonomi yang erat.
“Untuk tujuan ini, Turki berusaha menjadi perantara kekuatan dalam pembicaraan diplomatik yang baru muncul ini yang akan mengoordinasikan pemulihan hubungan antara Turki dan Suriah. Keterlibatan langsung Teheran yang pertama kali akan membantunya memantau dan membentuk proses tanpa merasa ditinggalkan dan menunggu untuk diberitahu oleh pihak lain melalui pertemuan lanjutan,” tambahnya.
Menurut Sen, keterlibatan Iran dalam pembicaraan tidak akan mengubah peran Rusia yang menentukan, tetapi kemungkinan akan memperkuat posisi Suriah dalam penarikan cepat angkatan bersenjata Turki dari bagian barat laut Suriah, kembalinya Idlib ke kendali Asad, dan eliminasi kelompok jihadi. Kelompok-kelompok yang dianggap oleh Iran sebagai “teroris takfiri”, dengan pendekatan yang lebih terpadu dari Teheran dan Damaskus.
“Bagaimanapun, pembicaraan tidak akan mencapai kesimpulan sampai pemilihan presiden dan parlemen di Turki pada Mei mendatang, namun format Astana sekarang akan memasukkan Suriah dalam penyelesaian diplomatik,” katanya.
Francesco Siccardi, manajer program senior dan analis riset senior di Carnegie Eropa, setuju.
“Kita harus meredam ekspektasi dari pertemuan ini, yang seharusnya dilakukan di awal tahun tetapi ditunda karena keraguan pihak Turki – dan kemudian, tentu saja, oleh gempa bumi 6 Februari,” katanya kepada Arab News.
Siccardi mengharapkan melihat kemajuan moderat setelah pertemuan tersebut, kelanjutan dari pemulihan hubungan progresif yang telah berlangsung sejak 2022.
“Tetapi kecepatan dan kedalaman keterlibatan Turki akan ditentukan oleh kepentingan elektoral Presiden Erdogan,” tambahnya.
Menurut Siccardi, gempa bumi sebagian telah mengubah perhitungan Erdogan mengenai Suriah, sehingga perbatasan Suriah harus tetap ditutup bagi para pengungsi yang mencoba menyeberang ke Turki dari Idlib, serta membuat retorika yang menghasut tentang pertanyaan Kurdi menjadi kurang menarik bagi pemilih yang masih terguncang oleh kehancuran gempa.
“Masalah kembalinya pengungsi Suriah tetap penting, karena retorika anti-Suriah terlihat di daerah-daerah Turki yang paling terkena dampak gempa,” katanya.
Tidak jelas apakah Ankara akan mengubah kebijakannya atas Suriah sepenuhnya sebelum hasil pemilu diketahui.
Namun persoalan pengungsi masih menjadi isu sentral jelang pemilu mengingat meningkatnya sentimen anti-imigran di Tanah Air dan kondisi kehidupan yang memburuk akibat tingginya tingkat inflasi dan pengangguran.
Pemimpin oposisi utama, Kemal Kilicdaroglu, yang akan menantang Erdogan dalam pemilu Mei, diperkirakan akan mempercepat proses normalisasi dengan rezim Asad, dan mencari cara untuk mengembalikan hampir 4 juta pengungsi Suriah ke tanah air mereka secara sukarela.
Namun, banyak warga Suriah di Turki yang masih enggan kembali karena takut akan penganiayaan selama Asad masih berkuasa. (zarahamala/arrahmah.id)