TEHERAN (Arrahmah.id) — Hanya beberapa pekan menjelang peringatan satu tahun protes massal yang dipicu oleh kematian Mahsa Amini, otoritas Iran sedang mempertimbangkan undang-undang baru yang lebih keras terkait penggunaan hijab. Menurut para ahli, aturan terbaru itu akan menindak perempuan tak berhijab jauh lebih keras dari undang-undang sebelumnya.
Dilansir CNN (4/8/2023), rancangan undang-undang yang terdiri dari 70 pasal itu menetapkan serangkaian proposal. Di antaranya adalah hukuman penjara yang lebih lama bagi perempuan yang menolak mengenakan hijab, hukuman baru yang berat bagi selebritas dan bisnis yang melanggar aturan, dan penggunaan kecerdasan buatan (AI) untuk mengidentifikasi perempuan yang melanggar dari aturan berpakaian.
Para ahli mengatakan RUU yang belum disahkan itu adalah peringatan bagi warga Iran bahwa rezim tidak akan mundur dari sikapnya terhadap hijab meskipun demonstrasi massal mengguncang negara itu tahun lalu.
RUU itu diajukan oleh kehakiman kepada pemerintah untuk dipertimbangkan awal tahun ini. Kemudian, RUU akan diteruskan ke parlemen dan selanjutnya disetujui oleh Komisi Hukum dan Yudisial.
Wacana tersebut akan diserahkan ke Dewan Gubernur Ahad pekan ini sebelum diperkenalkan di lantai parlemen, seperti dilaporkan kantor berita pemerintah Mehr pada Selasa, 1 Agustus 2023.
“Parlemen Iran akan bekerja menyelesaikan teks dan memberikan suara pada RUU itu “dalam dua bulan ke depan,” kata Mehr.
Ini adalah “tanggapan yang jelas terhadap protes dari September musim gugur yang lalu,” kata Sanam Vakil, direktur program Timur Tengah dan Afrika Utara di think-tank Chatham House di London, kepada CNN.
Ia menambahkan bahwa pendirian tersebut berusaha untuk “menegaskan kembali otoritas atas hijab dan persyaratan yang diharapkan dari perempuan.” (hanoum/arrahmah.id)