BAGHDAD (Arrahmah.com) – Irak telah mencabut lisensi pelaporan kantor berita Reuters selama tiga bulan setelah melaporkan jumlah kasus virus corona baru di negara itu yang mencapai ribuan, jauh lebih tinggi dari angka resmi yang dikeluarkan pemerintah.
Komisi Komunikasi dan Media Irak (CMC) mengutuk laporan itu, menyebutnya “mengherankan” dalam sebuah pernyataan pada hari Kamis (2/4/2020).
Reuters mengutip tiga dokter yang tidak disebutkan namanya bersama dengan staf kementerian kesehatan dan pejabat senior pemerintah anonim yang mengatakan bahwa ribuan orang di Irak telah menderita COVID-19.
Laporan berita itu juga mengatakan jumlah kematian jauh lebih tinggi daripada yang dilaporkan secara publik, dan bahwa Baghdad menyembunyikan data dari publik – tuduhan sangat ditolak oleh kementerian kesehatan Irak.
“Ini informasi yang salah,” kata Saif al-Badr, juru bicara kementerian kesehatan, dalam pesan singkat yang dikirim ke Reuters tanpa menjelaskan lebih lanjut.
Jumlah kematian resmi di Irak dari COVID-19 adalah 54, sementara jumlah kasus virus corona total 772.
Selain untuk sementara mencabut lisensi Reuters, Irak mengatakan akan mengenakan denda sekitar $ 21.000.
Mereka juga meminta Reuters untuk mengeluarkan permintaan maaf atas laporan yang “membahayakan keamanan sosial”. Tidak ada tanggapan langsung dari kantor berita tersebut.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di Irak mengatakan pada hari Rabu (1/4) jumlah kasus COVID-19 di negara itu akan meningkat tajam selama 10 hari ke depan karena pengujian yang lebih ketat.
Angka-angka di Irak “masih moderat sejauh ini tetapi memperkirakankan lonjakan dalam beberapa minggu mendatang” karena peningkatan pengujian, kata perwakilan WHO di Irak, Adham Ismail, dalam sebuah wawancara dengan TV Al-Ayyam, saluran satelit Irak.
“Tiga laboratorium menjadi operasional untuk pengujian COVID-19 di Najaf, Basra, dan Baghdad Medical City di Baghdad,” kata Ismail.
“Ini telah meningkatkan jumlah kasus yang diuji menjadi lebih dari 4.500 tes sehari, dibandingkan dengan maksimum 100 sehari beberapa minggu lalu,” tambahnya.
Irak memberlakukan lockdown pada 17 Maret dan pembatasan perjalanan sebagai bagian dari langkah-langkah untuk mengatasi infeksi. Sejak itu memperpanjang lockdown nasional dua kali.
Negara ini memiliki perbatasan dengan Iran, yang memiliki jumlah kasus terbanyak di Timur Tengah. Irak juga memiliki sistem pelayanan kesehatan yang lemah setelah bertahun-tahun dikenai sanksi, perang, dan penelantaran.(Althaf/arrahmah.com)