ISLAMABAD (Arrahmah.id) — Masalah usia pernikahan di Irak kembali memicu kontroversi. Yang terbaru, Rancangan Undang-Undang (RUU) yang diusulkan di parlemen Irak memicu kemarahan dan kekhawatiran yang meluas. Pasalnya, pemerintah Irak melalui RUU itu berupaya menurunkan batas minimal usia sah untuk menikah bagi bocah perempuan menjadi hanya 9 tahun.
Menurut sejumlah aktivis, RUU itu jika berlaku sama saja dengan “melegalkan pemerkosaan anak”. Kelompok-kelompok Syiah, yang berperan dominan dalam sistem politik Irak selama lebih dari satu dekade, mendukung undang-undang tersebut.
RUU kontroversial yang diperkenalkan oleh Kementerian Kehakiman Irak, bertujuan untuk mengubah Undang-Undang Status Pribadi negara tersebut, yang saat ini menetapkan usia minimum untuk menikah adalah 18 tahun. Undang-undang tersebut, ketika disahkan 65 tahun lalu, menetapkan usia 18 tahun sebagai usia legal untuk menikah – meskipun anak-anak dapat dinikahkan pada usia 15 tahun dengan izin dari hakim atau wali.
Dilansir news.com.au (11/11/2024), RUU tersebut akan memungkinkan warga negara untuk memilih antara otoritas agama atau peradilan sipil untuk memutuskan urusan keluarga. Banyak pihak yang khawatir hal ini akan menyebabkan pemotongan hak dalam hal warisan, perceraian, dan hak asuh anak.
Jika disahkan, RUU tersebut memungkinkan anak perempuan berusia sembilan tahun dan anak laki-laki berusia 15 tahun untuk menikah, yang memicu kekhawatiran akan meningkatnya pernikahan dini dan eksploitasi. Para kritikus berpendapat bahwa langkah regresif ini akan merusak kemajuan selama puluhan tahun dalam mempromosikan hak-hak perempuan dan kesetaraan gender.
Organisasi hak asasi manusia, kelompok perempuan, dan aktivis masyarakat sipil lantang menentang RUU tersebut, dengan memperingatkan konsekuensi serius bagi pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan anak perempuan. Mereka menilai pernikahan dini menyebabkan meningkatnya angka putus sekolah, kehamilan dini, dan meningkatnya risiko kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Menurut badan PBB untuk anak-anak, UNICEF, 28 persen anak perempuan di Irak sudah menikah sebelum usia 18 tahun. “Mengesahkan undang-undang ini akan menunjukkan negara itu bergerak mundur, bukan maju,” ucap peneliti Human Rights Watch (HRW) Sarah Sanbar.
Amal Kabashi dari Jaringan Perempuan Irak juga menentang keras usulan UU itu dengan menyatakan bahwa amandemen tersebut “memberikan keleluasaan besar bagi dominasi laki-laki atas masalah keluarga” dalam masyarakat yang sudah konservatif. Proposal terbaru, yang awalnya diumumkan pada Agustus 2024, akan melihat salah satu undang-undang paling progresif di Timur Tengah dicabut sepenuhnya, dan telah memicu kemarahan di kalangan aktivis hak-hak perempuan.
RUU tersebut telah melewati pembacaan kedua di parlemen Irak pada 16 September 2024. Pemerintah mengklaim bahwa langkah tersebut akan menyelaraskan tata kelola negara lebih dekat dengan interpretasi hukum Islam yang ketat. (hanoum/arrahmah.id)