JAKARTA (Arrahmah.com) – Dinaikkannya penanganan kasus penembakan enam laskar FPI dari penyelidikan menjadi penyidikan oleh Kapolri dan Kabareskrim mendapat tanggapan yang positif dari Indonesian Police Watch (IPW).
“IPW memberi apresiasi pada Kapolri dan Kabareskrim yang sudah meningkatkan penangan kasus ini dari penyelidikan menjadi penyidikan. Dengan naiknya penyelidikan menjadi penyidikan, berbagai bukti, saksi, dan info baru bisa bermunculan,” kata Ketua Presidium IPW Neta S Pane, pada Kamis (11/3/2021).
Namun meski demikian, Neta juga mendesak agar pihak yang menangani kasus ini secara transparan membuka jejak komunikasi yang ada pada handphone milik 3 polisi yang diduga menjadi pelaku penembakan enam laskar Front Pembela Islam (FPI) di KM 50 Tol Jakarta-Cikampek.
“Kami mendesak agar pihak-pihak yang menangani kasus penembakan ini segera membuka akses komunikasi handphone para polisi di lapangan yang diduga menembak keenam laskar FPI tersebut,” kata Neta.
“Tujuannya agar diketahui, sebelum penembakan terjadi apakah mereka berkomunikasi dengan atasannya, dengan perwira berpangkat AKBP, Kombes atau perwira berpangkat jenderal. Lalu apa isi komunikasi mereka? Adakah perintah penembakan atau tidak dalam komunikasi tersebut,” jelasnya.
Menurut Neta, pembukaan jejak komunikasi tersebut merupakan langkah penting untuk mengetahui kebenaran di balik tragedi penembakan enam laskar FPI.
“Bagaimana pun para polisi reserse itu menguntit laskar FPI berdasarkan perintah atasannya, mulai dari berpangkat AKBP, Kombes hingga jenderal. Artinya, sepanjang penguntitan itu pasti terjadi komunikasi intensif,” kata Neta.
Neta meyakini, tidak mungkin para polisi dilepas begitu saja. Dengan demikian, segala tindakan petugas di lapangan tetap dalam kendali dan kontrol atasan, yang juga melaporkan perkembangannya ke atasannya lagi.
“Untuk membuka kasus ini secara transparan, semua akses komunikasi dalam proses penguntitan tersebut perlu dibuka. Termasuk komunikasi telepon genggam atasannya dengan atasannya lagi yang berpangkat lebih tinggi, juga harus dibuka secara transparan, agar diketahui apa perintahnya,” ujarnya.
Sebab, menurut Neta, selama berjalannya proses penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM, jejak komunikasi tersebut belum dibuka baik oleh Komnas HAM maupun tim FPI.
“Selama ini jejak komunikasi tersebut sepertinya belum dibuka baik oleh Komnas HAM maupun oleh tim FPI, padahal di sana ada jejak digital yang bisa menjadi petunjuk. Sebelum dihilangkan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, jejak digital itu harus diamankan,” pungkasnya. (rafa/arrahmah.com)