JAKARTA (Arrahmah.com) – Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW), Neta S. Pane, menyebut Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) terlalu tendensius dengan menuding adanya 19 pesantren di Indonesia yang diduga mengajarkan paham radikalisme.
Menurutnya, radikalisme bukan hal baru di Indonesia. Pasalnya, jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merdeka, di negeri ini kelompok-kelompok radikal sudah berkembang.
“Jadi jika BNPT mengatakan ada 19 Ponpes diduga mengajarkan radikalisme, BNPT terlalu tendensius. Padahal kelompok-kelompok radikalisme itu tidak hanya di Ponpes. Di berbagai daerah seperti Papua, Poso, Maluku hingga Aceh masih bercokol dan aparat masih sulit mengendalikannya,” ujar Neta, Kamis (4/2/2016), dikutip dari Harianterbit
Lebih jauh, Neta berharap agar BNPT dalam bekerja untuk tidak terlalu tendensius khususnya terhadap keberadaan Ponpes. Karena dengan cara itu, sebut dia, tidak akan pernah menyelesaikan kasus radikalisme.
Dia menyebut bahwa radikalisme itu tidak selalu berkaitan dengan terorisme. “Jadi jika menuding ada 19 Ponpes hal itu terlalu tendensius. Pola-pola tendensius seperti ini tidak akan menyelesaikan masalah,” jelasnya.
Sebelumnya, Kepala BNPT Saud Usman Nasution menuding ada 19 pesantren di Indonesia yang diduga mengajarkan paham radikalisme. Pihaknya, lanjut dia, terus melakukan pemantauan terhadap sejumlah pesantren tersebut.
“Dari hasil profiling tim kami di lapangan, ada 19 pondok pesantren yang terindikasi mendukung radikalisme dan terorisme,” jelas Saud, Selasa (2/2).
Saud menilai, keberadaan pesantren semacam itu membuat pihaknya khawatir akan terjadinya pengembangbiakan para pelaku teror. Pasalnya, terang dia, di sejumlah pesantren tersebut dicurigai adanya pihak tertentu yang sudah terlibat dalam jaringan terorisme.
Saud menambahkan sejumlah pesantren yang mencurigakan tersebut di antaranya pondok pesantren Al Mukmin Ngruki di Solo (Jawa Tengah) milik Abu Bakar Ba’asyir, pondok pesantren Darussaadah di Boyolali (Jawa Tengah), dan terdapat juga pesantren yang sama di Ambon bahkan di beberapa daerah lain.
Dia menegaskan keberadaan pesantren yang berpaham radikal itu mesti mendapatkan perhatian dari seluruh pihak terkait. Karena itu, dirinya akan mengajak Kementerian Agama, MUI (Majelis Ulama Indonesia) dan sejumlah ormas Islam untuk membantu melakukan pendekatan dan upaya preventif terhadap para pengasuhnya. “Kami akan membicarakan ini, apakah benar valid atau tidak,” tukas Saud. (azm/arrahmah.com)