Oleh Ustadz Irfan S Awwas
Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin
(Arrahmah.com) – PERJALANAN sejarah perjuangan umat Islam akhir-akhir ini mencatat, bahwa gerakan Islam memiliki potensi cukup besar untuk memenangkan suara mayoritas melalui pemilu demokrasi. Akan tetapi, kemenangan tersebut menjadi tidak efektif setelah kekuasaan itu diraih. Kemenangan FIS di Al-Jazair pada era 90-an sebagai contoh, begitu mudah dianulir pihak militer. Begitupun kemenangan Najmuddin Erbakan di Turki. Jauh sebelumnya, kemenangan Masyumi di Indonesia hingga meraih kursi Perdana Menteri.
Dan yang paling baru, kemenangan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Belum genap setahun berkuasa, pemerintahan Presiden Mursi ditumbangkan secara illegal melalui kudeta militer.
Menyaksikan fakta ini, cukup menarik mengikuti perbincangan A. Hassan dengan PM Moh. Natsir yang diceritakan pada Muhammad Thalib, tahun 1968, oleh almarhum Abdullah Musa, penanggungjawab Majalah Al-Muslimun dan menantu A. Hassan.
A. Hassan mengatakan, ” Setelah Sukarno meraih kekuasaan menjadi Presiden RI dia berani lansung menghantam dan mendiskreditkan Islam. Tetapi mengapa ketika Natsir menjadi Perdana Menteri, tidak berani membela Islam dan menghantam lawan lawan Islam? Karena takut dituduh tidak demokratis oleh Barat.”
Kelemahan tokoh-tokoh Islam, takut dituduh anti barat dan tidak demokratis. Sibuk dengan kesan orang kafir, padahal rezim kuffar dimanapun tidak pernah mempertimbangkan eksistensi Islam dan umat Islam dalam menentukan sistem pemerintahan apa yang akan mereka jalankan.
Sikap yang sama berulang lagi pada Presiden Mursi. Dalam suatu wawancara dengan media Prancis Le Monde, seminggu setelah dilantik sebagai Presiden Mesir. Pewawancara menanyakan: “Apakah Ikhwanul Muslimin akan menjadikan Mesir sebagai negara agama?” Presiden Mursi menjawab: “Mesir tidak akan menjadi negara agama.”
Ini membuktikan, bahwa Mursi tidak mau berterus terang menghadapi kaum sekuler, mungkin takut dituduh anti demokrasi. “Berani melecehkan Islam, tapi takut melecehkan demokrasi” merupakan sikap umum sebagaian besar tokoh-tokoh Islam.
Intervensi demokrasi sudah sedemikian jauh menyusup ke relung hati sebagian tokoh Islam, dan mengotori aqidah serta pemahaman agama kaum Muslim. Tidak sedikit yang berpendapat, demokrasi tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Lalu, sadar atau tidak sadar, mereka tampil sebagai bemper demokrasi, menjadikannya sebagai barometer politik dan ideologi.
Makna harfiyah demokrasi, sebagai pecahan dari dua kata demos (rakyat) dan kratos (kekuasan) adalah kekuasaan rakyat. Inilah makna essensial dari demokrasi, yaitu kekuasaan berada di tangan rakyat. Termasuk tasyri’ul jamaahiir (wewenang membuat hukum) tergantung suara mayoritas rakyat. Sebagai sistem hidup dan tatanan politik dalam bernegara, demokrasi tidak memiliki sumber hukum, tidak punya kitab suci, apalagi Nabi, semuanya tergantung kehendak dan hawanafsu rakyat, yang disampaikan melalui wakil-wakilnya di parlemen.
Prinsipnya adalah, kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat, suara rakyat adalah suara Tuhan. Kemauan rakyat mayoritas merupakan hukum tertinggi dalam merumuskan undang-undang; sedang kebenaran tergantung kehendak mayoritas. Mengapa kaum demokrasi tidak menggunakan akalnya? Jika suara rakyat adalah suara tuhan, mengapa suara tuhan begitu mudah dibeli dan dimanipulasi pada setiap Pilpres, Pilgub dan Pilkada?
Sesungguhnya Islam mengajarkan, bahwa kedaulatan tertinggi berada di tangan Allah Swt. Islam mengajarkan untuk beribadah dan berserah diri hanya kepada Allah saja. Sebagai tatanan politik bernegara, Islam memiliki sumber hukum, yaitu Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw. Hukum buatan manusia disebut Undang-undang, dan hukum ciptaan Allah disebut SYARI’AT. Implementasi dari Hukum Qur’an dan Hadist, inilah yang seharusnya dilaksanakan oleh manusia dalam segala aspek kehidupannya.
Kontroversi di kalangan umat Islam, sesungguhnya dipicu oleh dua hal ini. Apakah dalam menyelenggarakan kekuasaan Negara, umat Islam ‘beriman pada konsep kedaulatan rakyat (demokrasi)’ dan menolak konsep kedaulatan Allah Swt (Islam), atau sebaliknya menolak konsep demokrasi secara totalitas dan menerima konsep Islam secara totalitas pula? Atau memilih opsi oportunistik, memadukan demokrasi dan Islam, menolak sebagian dan menerima sebagian ajaran Islam, seperti yang dilakukan orang-orang kafir ahli kitab yang dimurkai Allah?
“Apakah kamu beriman kepada sebagian Alkitab dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikiandaripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.” (Qs. Al-Baqarah, 2:85)
Terhadap kenyataan ini, semestinya umat Islam, baik yang berada di dalam parpol atau ormas Islam tidak boleh terlena dan lengah. Apa jadinya jika atas nama demokrasi, lalu menghalalkan apa yang diharamkan Allah dan sebaliknya? Ada kesan, bahwa parpol Islam justru menjadi bemper demokrasi. Dalam banyak kasus, parpol Islam justru diperalat oleh demokrasi untuk menghambat syari’at Islam. “Boleh saja Islam berperan dalam membangun masyarakat, sejauh tidak bertentangan dengan demokrasi,” alasan mereka.
Buruknya ideologi demokrasi bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, karena menghalalkan apa yang diharamkan Allah dan sebaliknya, bagai anak anjing yang tidak menaati induknya. Seperti sebuah analogi di bawah ini:
“Suatu ketika, seorang laki-laki dari bani Israil kedatangan tamu, sedang di rumahnya ada seekor anjing yang hamil tua. Berkatalah anjing itu, “Demi Allah aku tidak akan menggonggong kepada tamu tuanku”. Tiba-tiba anak yang dikandungnyalah yang menggonggong. Tuan rumah, si pemilik anjing berkata (kepada seseorang), “Alamat apa ini?” Kemudian Allah memberikan ilham kepada seorang laki-laki di antara mereka, “Ini adalah permisalan bahwa, akan ada umat sesudahmu, orang-orang bodoh dapat memaksa orang-orang yang pandai dan bijak di antara mereka.”
Analogi ini bersumber dari Abdullah bin Amr yang termuat di dalam kitab Jami’us Shaghir 5204. Maksudnya, bahwa proses mencari, memilih dan menetapkan seorang pemimpin menurut versi demokrasi adalah; siapa yang mendapatkan dukungan terbanyak maka ialah yang patut duduk sebagai pemimpin. Dan suara terbanyak sama artinya dengan siapa yang banyak omong. Alkisah orang-orang bodoh suka membuat gaduh dengan beramai-ramai bersuara keras, berkampanye, bahkan money politic, sehingga suara maupun pemikiran orang-orang pandai, cerdas, dan shalih tidak terdengar karena tenggelam dalam riuhnya suara si bodoh (anjing) yang ber-uang. Ketika tipu daya orang-orang jahat dapat mempengaruhi masyarakat awam, maka orang-orang jahat pun akan dapat mengalahkan orang-orang baik. Itulah demokrasi yang menganggap suara mayoritas sebagai tuhan (kebenaran).”
Tragisnya, sebagian besar penganut Islam tampaknya merasa amat sangat bersyukur –bukan bersedih- Indonesia diatur dengan sistem demokrasi, sehingga beramai-ramai menolak syari’at Islam. Mereka menganggap demokrasi sebagai pemersatu dan penyelamat, sedangkan syari’at Islam diposisikan sebagai ancaman dan pemecah belah rakyat.
Ucapan dan rasa syukur itu diungkapkan, misalnya oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono dalam orasi pengukuhan sebagai Capres 2009: “Saya bersyukur kepada Allah Swt, keluarga saya diatur dengan demokrasi, sehingga setiap orang dalam anggota keluarga saya bebas berpendapat,” katanya bangga.
Kontra Syari’at Islam
Pertarungan antara yang haq dan bathil merupakan sunnatullah. Sedangkan upaya mensinergikan antara keduanya, adalah program syetan. Oleh karena itu Islam dengan tegas menolak sinkretisasi/oplos kebenaran dan kebathilan sebagaimana firman-Nya:
“Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dan yang bathil, dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu sedang kamu mengetahui.” (Qs. Al-Baqarah, 2:42)
Pada tataran ideologis dan praktis, pertarungan yang terjadi sekarang bukan hanya antara Muslim dan Non Muslim, justru antara Muslim yang mendukung dan anti formalisasi syari’ah. Proses syetanisasi di negeri ini, tidak hanya dimonopoli orang kafir; tetapi berlangsung secara legal, formal, dan konstitusional. Seperti dikatakan sekte JIL (Jaringan Islam Liberal), “Kita menerima ideologi demokrasi, karena demokrasi mensinergikan antara yang baik dan buruk, halal dan haram.”
Kelompok anti syari’ah Islam meyakini bahwa demokrasi lebih tepat bagi bangsa Indonesia, karena bisa mensinergikan antara halal dan haram sesuai kebutuhan. Akibatnya muncul sikap ambivalen dan munafik.
Pada masa Orde Baru kekuasaan politik memang cenderung represif pada Islam karena dianggap menjadi salah-satu potensi ancaman pada rezim yang sedang berkuasa. Upaya sistematis dilakukan oleh kekuasaan formal untuk menekan gerak sosial-politik umat Islam termasuk pemberian cap ‘ekstrim kanan, subversi, radikal, teroris dsbnya,’ yang ujung-ujungnya menekan aktifis Islam untuk tidak bisa bergerak maju dalam bidang sosial-politik.
Partai politik yang berasas Islam pun secara sistematis diseret ke arah meninggalkan asas Islam, demikian pula dengan ormas Islam sekalipun yang akhirnya merubah asas Islam menjadi asas lain. Masalahnya, apakah dengan mimikri politik seperti itu Indonesia menjadi lebih maju dan berjaya? Kerusakan masyarakat terus saja bertambah di atas kerusakan yang sudah menggunung.
Lalu, mengapa ada sejumlah tokoh Muslim, bahkan dari kalangan orang-orang yang menyatakan diri sebagai pembela Islam, justru menolak formalisasi syari’at Islam? Mengapa terdapat hamba Allah yang membangkang kepada Allah Swt? Apa sesungguhnya dasar berfikir yang melatarbelakangi mereka menolak syari’at Islam?
Menurut pengalaman bertahun-tahun di arena perjuangan, dan fakta sosial di masyarakat, faktor penyebabnya antara lain: di kalangan kaum Muslimin, muncul kesan bahwa menegakkan kehidupan berbasis Islam merupakan ancaman terhadap keselamatan diri di tengah berlangsungnya globalisasi politik, ekonomi, budaya dan globalisasi agama. Hal ini tercermin pada keengganan mereka untuk berterus terang dengan agamanya, dan dengan terpaksa menerima stigmatisasi musuh-musuh Islam; bahwa Islam adalah agama yang telah kehilangan relevansi untuk terus dipertahankan di era globalisasi ini. Padahal Allah Swt telah menginformasikan melalui firman-Nya:
“Thaaha, Kami tidak menurunkan Al-Qur’an ini kepadamu agar kamu menjadi susah; tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut kepada Allah, yaitu diturunkan dari Allah yang menciptakan langit dan bumi yang tinggi.” (Qs. Thaaha, 20:1-3)
Selain faktor di atas, banyak kalangan Muslim yang memosisikan Islam selaras dengan demokrasi. Sehingga, ketika mereka melakukan amal-amal demokrasi berlandaskan kedaulatan rakyat dan tunduk pada suara mayoritas, mereka ingin perbuatannya itu dilabeli merk ‘Islami’. Padahal, tidak semua ajaran demokrasi sesuai syari’at Islam, sebaliknya apa yang sesuai dengan syari’at Islam dianggap tidak demokratis.
Jika Islam yang dimaksud seperti yang dipahami kebanyakan orang Islam yang anti syari’at Islam, atau menerima sebagian dan menolak sebagian dari ajaran Islam, mungkin dapat diselaraskan dengan demokrasi. Tetapi jika Islam yang dimaksud seperti yang diwahyukan Allah dan diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw, mustahil bisa dicocok-cocokkan. Sebab Islam berdiri tegak di atas landasan Tauhid, sedang demokrasi berdiri tegak di atas landasan hawa nafsu. Islam memiliki sumber hukum (Qur’an dan Hadits), sedang demokrasi sumber hukumnya ‘kemauan orang banyak’. Islam mengharamkan daging babi, khamer, pelacuran, perjudian, ekonomi ribawi, sedang demokrasi menganggap kemaksiatan dan kemungkaran sebagai fasilitas hidup.
Barangkali benar, bila dalam menjalani kehidupan ini seorang Muslim tidak memiliki ukuran atau barometer ideologis yang jelas, sikap dan pernyataannya kerapkali kontraproduktif. Seperti ucapan Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra (Ketua Majelis Syuro PBB), pada Ahad, 16 Shafar 1431 H/ 31 Januari 2010 M, dalam suatu dialog dengan penulis, di hadapan Musywil Partai Bulan Bintang, Jawa Timur, Surabaya.
“Demokrasi tergantung ta’rif mana yang digunakan, karena makna demokrasi itu banyak, tidak tunggal. Perbedaan amal demokrasi atau amal Islami, mungkin saja dirasakan oleh mereka yang bergelut di bidang teori, tapi bagi yang bergelut secara praktis dan pengambil keputusan, tidak merasakan adanya konflik ideologi seperti itu. Apakah ini amal Islami atau aktivitas demokrasi, bagi saya sama saja,” tegasnya.
Pertanyaannya, jika ta’rif demokrasi tidak tunggal, lalu umat Islam harus mengidentifikasikan diri pada makna demokrasi yang mana, sehingga tidak melanggar syari’at Islam? Kaitannya dengan kebingungan memilih dan memilah ‘yang ini amal demokrasi’ atau ‘yang itu amal Islami’, sebenarnya tidak sulit. Mereka yang sedikit memahami ushul fiqh, dapat mengetahuinya melalui kaidah ushuliyah. Dalam teori ushul fiqih, Imam Syafi’i membuat kategorisasi amal yang disebut “Anwa’u af’alin Nabiyyi, yaitu af’alun (perbuatan) Nabi, sebagai barometer amal dibagi tiga bagian:
Pertama, amal yang bersifat Qurbah, seperti tuntunan ibadah dari Nabi yang tidak boleh di rubah. Kedua, Tho’ah, kehidupan kemanusiaan, yang dibatasi dengan hukum wajib, sunnah, dan mubah. Contoh, mandi junub. Mandinya sendiri tanpa diatur agama, kita sudah biasa mandi, dilakukan oleh orang kafir maupun Muslim. Bedanya, mandi junub bagi orang Islam adalah mandi yang dilakukan setelah berhubungan seksual dengan istri, perempuan datang haid atau nifas. Agama yang dibawa Nabi Muhammad menjelaskan itu, maka kita mesti Tho’ah. Ketiga, bersifat Jibillah, perbuatan Nabi yang bersifat naluriah. Dalam hal perbuatan yang bersifat jibillah prinsipnya adalah mubah, kecuali ada larangan.
Jadi, tidak perlu bingung, apalagi melakukan sinkretisasi ideologi. Dengan kategorisasi ini, dimaksudkan agar seorang Muslim dalam menerima atau menolak sesuatu, bukan karena sesuai atau bertentangan dengan demokrasi; melainkan selaras dan tidak bertentangan dengan syari’at Islam.
Ketakutan kelompok liberal akan bahaya menguatnya kekuatan Islam yang dianggap sebagai ancaman bagi masa depan pluralisme di Indonesia terus diopinikan dengan resonansi yang kian masif. Sebuah forum yang menyebut dirinya “Konferensi Nasional Lintas Agama” atau Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) yang dihadiri oleh sekitar 80 peserta ‘tokoh lintas agama dan kepercayaan’ dari berbagai daerah, dan menolak Perda yang bernuansa Syariat Islam, memutuskan akan mendesak Pemerintah untuk mencabutnya.
“Kami akan sampaikan kepada presiden dan wapres yang baru terpilih agar perda-perda dievaluasi dan bisa masuk ke MK (Mahkamah Konstitusi) atau Mahkamah Agung (MA) untuk dilakukan judicial review”, ujar ketua forum yang ternyata seorang Doktor Agama Islam dan PNS di Departemen Agama RI.” (Harian Surya, Rabu 7/10/09).
Apa yang disebut Perda Syariah itu? Yaitu, adanya daerah-wilayah di Republik Indonesia ini, di mana para pejabat legislatif yang beragama Islam membuat kesepakatan untuk menggoalkan suatu Perda (Peraturan Daerah) yang diinspirasi ajaran agamanya, yakni Syariat Islam terkait pengelolaan wilayah, (seperti menolak perjudian, pelacuran, korupsi, dan kemasiatan lain sesuai tuntunan agama yang dipeluknya). Mereka menggunakan mekanisme yang sudah sejalan dengan proses pembuatan sebuah perda, termasuk, tentu saja rapat-rapat di DPRD dengan pihak lain, lalu mereka berhasil menggoalkan Perda tersebut. Apa yang salah dengan Perda seperti itu?
Sebuah acara “Nurcholis Madjid Memorial Lecture III” yang digelar di Universitas Paramadina, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Rabu (21/10/09), mengundang Ahmad Syafii Maarif, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, untuk menyampaikan orasi ilmiah bertajuk “Politik Identitas dan Masa Depan Plularisme di Indonesia.”
Dalam orasinya, Syafii Maarif yang dikenal sebagai kontributor liberalisme menyinggung soal gerakan-gerakan Islam seperti Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Front Pembela Islam (FPI) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang kerap mengampanyekan penegakan syari’at Islam dan khilafah Islamiyah.
Syafii menyatakan, “sikap MMI yang menyatakan bahwa penolakan syari’at Islam secara konsititusional termasuk kategori kafir, fasik, dan zalim, adalah pernyataan yang berbahaya bagi pluralisme. Kalau beragama secara hitam putih, mungkin lebih baik saya jadi atheis saja,” tegasnya.
Dengan menggunakan retorika agitatif, Maarif menganggap bahwa tuntutan formalisasi syari’at Islam sebagai beragama hitam putih. Lalu menuduh Majelis Mujahidin (MM) sebagai kelompok takfir (mengafirkan mereka yang menolak formalisasi syari’at Islam). Sekalipun Syafii Maarif tidak akan dapat membuktikan tuduhannya terhadap MM -karena itu bukan sikap MM- tetapi lontaran keji itu sudah menyebar bagai virus yang melahirkan trauma ukhuwah Islamiyah.
Majelis Mujahidin tidak pernah merasa paling benar, apalagi mengafirkan Muslim lainnya. Tetapi tidak membenarkan yang benar adalah kesalahan. Dan tidak mengatakan kafir terhadap mereka yang dikafirkan oleh Allah dan Rasul-Nya, adalah kekafiran juga. Maka sikap MM dalam hal ini sesuai dengan sikap Islam, sebagaimana firman Allah:
“Siapa saja yang tidak berhukum pada hukum Allah adalah kafir, fasik, dan zalim.” (Qs. Al-Maidah, 5: 44, 45, 47).
Dalam beberapa tahun terakhir ini, Syafii Maarif yang tercatat sebagai anggota dari “Trilateral Commission” sebuah lembaga yang berada di bawah kendali Zionis, memang dikenal sebagai orang yang berada dalam gerbong para penolak formalisasi syariat Islam. Dalam diskusi yang banyak dihadiri para aktivis liberal itu, Syafii dengan kalimat nyinyir mengatakan, “Kalau kita ingin melaksanakan syariat Islam secara utuh itu akan sulit hidup dimana saja. Harusnya kita pakai saja ayat fattaqullah mastatha’tum, bertakwalah kepada Allah semampumu,” ucapnya.
Dengan bangga, Syafii bernostalgia, dulu pada tahun 70-an sebelum dirinya berangkat ke Chicago, Amerika Serikat, dirinya adalah orang yang sangat anti-terhadap Pancasila. “Tetapi setelah dicuci otak oleh Fazlul Rahman (Profesor di Chicago) saya berubah,” ujarnya sambil terkekeh. Syafii mengaku dirinya sedih melihat kondisi bangsa ini, dimana pemerintah tidak serius dalam mengelola negara. Ia juga sedih melihat kelakuan umat Islam yang anti terhadap pluralisme dan berupaya memaksakan kehendak terhadap minoritas. “Kalau tidak sedikit paham Al-Qur’an, mungkin saya malas jadi orang Islam,” tandas Syafii.
Dalam pandangan Syafii, formalisasi syari’ah Islam menunjukkan prilaku beragama hitam putih. Untuk melemahkan tuntutan penegakan syariat Islam, Syafii melakukan manipulasi sejarah, dan menggiring pemahaman Islam ke arah paham sesat dan menyesatkan.
Belum lama ini Haedar Nasir menulis buku dan dibedah bersama Syafii Maarif, untuk menghantam Islam syari’at di Indonesia. “Gerakan syari’at berangkat dari daerah-daerah menuju ke pusat. Gerakan ini mengganggu gerakan islam liberal, karena itu gerakan islam moderat perlu mengantisipasi.”
Apa yang hendak diantisipaisi dari perjuangan Syari’at Islam? Apakah mereka punya kitab suci dan nabi yang mengajarkan penolakan terhadap syari’ah Islam? Nabi Allah yang mana yang mendakwahkan Islam tanpa menegakkan syari’ah Allah? Sikap mereka dan yang sepaham dengannya, merupakan cermin dari tokoh-tokoh munafiq di zaman Nabi, pewaris dari sikap tokoh munafiq Ubay bin Salul.
Wallahu a’lam bis shawab!
(Ukasyah/arrahmah.com)