JAKARTA (Arrahmah.com) – Rancangan Undang-Undang Intelijen yang diajukan pemerintah, dipandang memiliki beberapa titik yang perlu disoroti.
Tak hanya masalah penyadapan intelijen, Imparsial juga mengkritisi draf yang kini masih dalam tahap daftar inventaris masalah (DIM), yakni aturan yang membolehkan aparat intelejen melakukan penangkapan.
Sebab, penangkapan oleh aparat intelijen, menurut Imparsial, akan sangat membahayakan perkembangan demokrasi di Indonesia.
“Kegiatan aparat intelejen itu kan sifatnya rahasia dan tertutup, kalau dibolehkan menangkap, ini akan sama saja dengan memberikan kewenangan melakukan penculikan,” ujar Al Araf kepada VIVAnews melalui sambungan telepon.
Al Araf menambahkan, masyarakat akan cemas dan takut untuk melakukan berbagai hal, bila aparat intelijen bisa seenaknya melakukan penangkapan tanpa ada yang mengetahuinya.
Padahal, kata Al Araf, aparat intelejen bukanlah penegak hukum. “Kewenangan penangkapan dalam undang-undang kita itu hanya diberikan kepada aparat penegak hukum,” kata Al Araf.
Akibatnya, masyarakat atau aktivis tidak akan bisa bebas mengekspresikan pemikiran atau pendapat mereka, misalnya mengkritisi kinerja pemerintahan. Aspirasi yang tersendat ini, menurutnya, akan membahayakan demokrasi.
Al Araf juga mengingatkan, aturan mengenai rahasia intelejen dalam RUU itu juga masih belum jelas. Padahal ada ancaman penjara lima tahun jika dinyatakan telah melakukan kelalaian membocorkan rahasia atau informasi intelejen tersebut.
“Ukuran rahasia atau tidak itu belum jelas. Ini Bisa jadi pasal karet, yang notabene mengancam kebebasan seseorang atau pers untuk mendapatkan informasi,” kata Al Araf.
Mestinya, tambah Al Araf, pembahasan RUU Intelejen ini juga mengacu pada UU Keterbukaan Informasi Publik dan yang lainnya sehingga dapat tetap menjamin kebebasan masyarakat dalam mengakses berbagai informasi penting yang dibutuhkan. (viva/arrahmah.com)