WASHINGTON (Arrahmah.com) – Badan intelijen AS memperingatkan bahwa digenggamnya kembali kendali keamanan ke tangan Irak bisa berubah menjadi kekerasan sektarian setelah penarikan pasukan pasukan AS beberapa waktu lalu, Reuters melansir pada Jumat (23/12/2011).
Serangkaian pemboman yang menewaskan setidaknya 72 orang di Baghdad pada hari Kamis (22/12) menjadi dalih AS untuk memberi bukti lebih lanjut dari situasi keamanan yang terus memburuk, meski beberapa hari saja setelah pasukan AS terakhir meninggalkan Irak.
“Ini bukan hal yang mengejutkan,” kata ketua komite intelijen Senat AS, Mike Rogers.
“Kebanyakan orang percaya dan menilai bahwa penarikan yang cepat tanpa menyisakan sejumlah pasukan di lapangan akan meninggalkan kekosongan ini. Dan kondisi ini akan diisi dengan jenis masalah lain seperti yang anda lihat saat ini,” kata salah seorang anggota legislatif dari kubu Republik dalam sebuah wawancara dengan Reuters.
Rogers mengatakan penarikan pasukan mengurangi pengaruh AS dan Irak yang kacau memainkan menjadi keinginan Iran untuk meningkatkan pengaruh di wilayah itu.
“Kami sudah bisa menebak dari awal bahwa hal seperti ini akan terjadi,” lanjutnya.
Sementara itu, seorang pejabat lainnya menyatakan, “Sudah ada perpecahan sektarian di Irak sebelum kami melakukan invasi, dan kemungkinan akan ada konflik sektarian serupa setelah pasukan AS meninggalkan Irak.”
“Komunitas intelijen juga menilai bahwa pasukan keamanan Irak sepenuhnya mampu memberikan stabilitas internal,” tambahnya.
Menanggapi pemboman Baghdad, Sekretaris Pers Gedung Putih, Jay Carney, mengatakan pada hari Kamis (22/12) mereka tidak akan menggagalkan “kemajuan yang sudah ada di Irak.”
Satu hari setelah militer AS menyelesaikan penarikan pasukan pada hari Minggu, pemerintah Irak yang Syiah itu mengumumkan surat perintah penangkapan terhadap Wakil Presiden Tareq al-Hashemi, salah satu tokoh politik Sunni yang menduduki jabatan yang cukup penting di Irak.
AS pada mulanya menilai bahwa pemboman di Baghdad hari Kamis (22/12) adalah aksi ‘militan’ Sunni, yang mungkin marah karena tuduhan terhadap Hashemi.
Pejabat AS berusaha untuk tetap terlibat di Irak. Wakil Presiden, Joe Biden, telah berbicara dengan Presiden Irak, Jalal Talabani, untuk mendukung upaya menenangkan kekerasan sektarian.
Direktur CIA, David Petraeus, juga sebelumnya mengunjungi Irak untuk bertemu dengan para pemimpin senior dalam perjalanan yang sudah direncanakan sejak jauh-jauh hari sebelum pecahnya kekerasan ini, seorang pejabat AS mengatakan.
Selama setahun terakhir karena pemerintahan Obama siap untuk penarikan pasukan, komunitas intelijen telah memeriksa potensi masalah politik di Irak, khususnya terkait antara persinggungan Sunni-Syiah dan Arab-Kurdi, serta potensi-potensi lain yang dinilai melahirkan ketidakstabilan.
Dua pejabat senior AS mengatakan badan-badan intelijen militer dan sipil, termasuk CIA, mengeluarkan banyak analisis yang memperingatkan Obama untuk memperhatikan kembali kebijakan penarikan pasukan Amerika dari Irak. Menurut mereka, jika pasukan Amerika meninggalkan negara Timur Tengah ini, keamanan bisa memburuk dan kekerasan antara komunitas Sunni dan Syiah bisa meledak. (althaf/arrahmah.com)