(Arrahmah.com) – Insiden mobil menabraki para pejalan kaki di dekat masjid di kawasan Finsbury Park, London, Senin dini hari (19/6/2017). Sebuah van telah menabraki jamaah saat mereka meninggalkan Masjid Finsbury Park. Kantor berita AFP mengabarkan, peristiwa itu terjadi pada 00.20 tengah malam, atau pukul 06.20 WIB. Presiden AS Donald Trump lamban ketika bicara tentang kekerasan ketika Muslim yang jadi korbannya. Jika pelakunya muslim, cuitan segera yang menyuarakan simpati untuk para korban atau sumpah serapah melawan ideologi kekerasan.
Theresa May telah mengungkapkan simpati, kenyataan bahwa pelaku teror ini tidak tercipta dalam ruang hampa. Proyek TPCT (The Prevent and Counter Terrorism) Inggris telah menciptakan sebuah budaya dimana kebencian terhadap Islam telah menjadi budaya, dan mengalami evolusi yang lebih keras. Fakta menunjukkan ada korelasi langsung antara narasi politik Pemerintah yang didorong oleh media dalam propaganda Islamphobia dan kekerasan terhadap umat Islam. Bahkan Islamfobia berkembang di masyarakat sekitar sekolah.
May lupa bahwa pemerintah Inggris memiliki peran utama dalam penumbuhkan sikap permusuhan terhadap kaum Muslim, termasuk paling keras menuntut agar melarang pergerakan dakwah Islam yang dianggap bukan Islam yang inginkan oleh Inggris. Program-program pemerintah Inggris mencoba membuat umat Islam di Inggris merasa takut, dipaksa melepaskan nilai-nilai Islam mereka dan mengadopsi ‘nilai-nilai Inggris’ sebagai gantinya. Laporan TEL MAMA 2012 mengonfirmasi bahwa kaum muslim diserang secara fisik, dilecehkan atau diintimidasi karena keimanan mereka. Kaum muslim terus diuji kesabarannya di Inggris. Mereka harus tetap kuat dan bangga akan identitas Islam mereka dan berpegang teguh pada cara hidup dan nilai mereka. Umat Islam dan khususnya aktivis dakwah harus memahami dan mengekspos rencana yang dibuat terhadap Islam di AS-Inggris dan seluruh dunia.
Theresa May dan Trump berupaya mengalihkan perhatian yang terus tumbuh tentang kebijakan luar negerinya dan mengalihkannya kepada masalah “radikalisasi ideologi”. Keduanya tidak mampu mengakui efek menghancurkan dari invasi barat di berbagai kawasan. Keduanya tidak mampu mengakui bahwa masyarakat di dunia Islam berjuang untuk merealisasi perubahan dari kolonialisme dan sistem-sistem yang didukung barat. Masyarakat ingin melanjutkan kembali Khilafah di dunia Islam.
Para pemimpin barat lainnya mengobarkan api ketakutan terhadap setiap yang diklaim terorisme untuk menjustifikasi intervensi militer dan politik di dunia Islam. Mereka pura-pura tidak tahu atas kemarahan dan perlawanan umat akibat dari semua itu. Lalu ia menyebut seruan untuk berubah dari penjajahan sebagai “radikalisme”, “ideologi pembunuh” dan “ideologi setan”. Pada saat yang sama, pemimpin-pemimpin Barat membungkap aspirasi politik Islam. Dan pada saat yang sama tanpa alasan mereka ingin mendistorsi keyakinan yang dianut lebih dari semilyar lebih kaum muslim.
Inilah sistem sekuler yang gagal, yang tidak memiliki daya untuk mensinergikan berbagai budaya dan keyakinan, dan kegagalan untuk memenuhi kebutuhan primer masyarakat yang setara, seperti perumahan yang nyaman dan aman, seperti yang kita lihat di Menara Grenfell. Sekali lagi, masyarakat berhak mempertanyakan dan mengganti sekularisme untuk memerintah umat manusia.
Kini, akibat kegagalan brexit ketidakpastian ekonomi menghantui politisi dan masyarakat. Sementara di sisi lain elit terus melayani kepentingan mereka sendiri, menciptakan kematian dan kehancuran di seluruh dunia. Sungguh Khilafah mencerminkan keinginan yang terus tumbuh bagi kaum muslim di seluruh dunia untuk menyatukan dunia Islam di bawah satu kepemimpinan- sebagaimana dahulu sebelum penjajahan Inggris yang membiarkan mereka terpecah-pecah di bawah cengkeraman tiran.
Umar Syarifudin (pengamat politik Internasional)
(*/arrahmah.com)