BEKASI (Arrahmah.com) – Insiden Ciketing yang mengakibatkan jatuhnya korban di pihak warga Muslim dan jemaat HKBP adalah bentrokan 13 pemuda Islam dengan ratusan jemaat HKBP. Insiden ini dipicu oleh arogansi HKBP yang ngeyel menyalahgunakan surat Pemkot Bekasi untuk memprovokasi warga.
Hal itu terungkap dalam sidang lanjutan ketujuh kasus HKBP Ciketing di Pengadilan Negeri Bekasi, Kamis (20/1/2011). Dalam sidang dengan terdakwa Ade Firman itu, Penasihat Hukum menghadirkan saksi meringankan (ad-charge) tiga orang dari tokoh masyarakat Ciketing: KH Syahid Tajuddin SHI MSc, Ustadz Sholihin, dan Bobby Munawar.
Dalam kesaksiannya, Ustadz Tajuddin mengungkapkan bahwa konflik HKBP Ciketing dengan warga Muslim bermula dari keberadaan gereja HKBP ilegal di Perumahan Pondok Timur Indah (PTI) Kelurahan Mustikajaya Kecamatan Mustikajaya Bekasi. “Penolakan warga kecamatan Mustika Jaya terhadap gereja HKBP ilegal itu telah berlangsung lama, sejak bulan November 2009,” jelas Tajuddin.
Untuk menolak penyalahgunaan rumah menjadi gereja HKBP itu, tambahnya, warga Mustikajaya telah menggelar puluhan kali aksi damai. Setiap aksi damai yang diikuti sekira 800 massa umat Islam itu, selalu dilakukan secara legal dengan pemberitahuan kepada aparat terkait.
“Aksi-aksi di lapangan selalu berkoordinasi dengan aparat keamanan. Kita tidak melarang ibadah agama lain, tapi melarang kebaktian di gereja ilegal,” jelasnya.
Meski penyalahgunaan rumah tinggal di PTI sebagai gereja HKBP itu melanggar peraturan pemerintah mendapat penolakan gencar dari warga, namun pihak HKBP bertingkah makin arogan. HKBP PTI sama sekali tidak mengindahkan aturan pemerintah Peraturan Bersama Menag dan Mendagri (PBM) nomor 8 & 9 tahun 2006 tentang Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadah, terutama pasal 13 ayat 1-3 tentang Pendirian Rumah Ibadah dan pasal 14 ayat 1-3 tentang persyaratan teknis bangunan gedung.
Menurut Tajuddin, sikap arogan inilah yang memicu ketegangan dengan warga setempat. “Jadi mereka datang ke Ciketing adalah panggilan iman karena HKBP tidak mau tunduk pada aturan,” jelasnya.
Tajuddin kemudian merinci berbagai pelanggaran HKBP terhadap aturan pemerintah. Rumah di PTI yang dijadikan sebagai gereja itu melanggar PBM, sehingga disegel tiga kali oleh pemkot, setelah tidak mengindahkan teguran pemerintah sebanyak tiga kali. “Setelah disegel, mereka tetap melakukan kebaktian di situ juga,” kecamnya.
Insiden Ciketing bukan penusukan, tapi bentrokan yang tak berimbang
Mengenai insiden Ciketing 13 September 2010, Tajuddin menerangkan bahwa berdasarkan keterangan para saksi mata dari warga, insiden itu mengakibatkan jatuhnya korban pada kedua belah pihak, baik dari warga muslim maupun pihak HKBP. Dari pihak pemuda Islam, seorang kepalanya bocor hingga dijahit dan seorang lagi tanggannya retak. Sementara dari pihak HKBP seorang jemaatnya menderita luka di bagian perut. “Ini bukan penusukan, tapi bentrokan antara kelompok umat Islam dengan jemaat HKBP yang jumlahnya tidak seimbang,” tandasnya.
Insiden itu, menurutnya, karena warga sudah muak melihat arogansi HKBP. Berbagai perundingan antara warga Ciketing dengan HKBP telah digelar, namun HKBP keukeuh melaksanakan kebaktian di rumah yang dijadikan gereja di Pondok Timur Indah. Warga semakin muak melihat arogansi HKBP yang sengaja melakukan provokasi terhadap warga dengan menggelar konvoi tiap Minggu dengan jalan kaki dari gereja HKBP ilegal di PTI menuju kampung Ciketing.
“Warga sudah muak lihat HKBP. Jarak tempuh yang semestinya dekat, tapi mereka memilih jarak yang jauh untuk memprovokasi warga,” tandasnya.
Konvoi itu semakin provokatif dengan mendatangkan tokoh Kristen dari luar Bekasi, misalnya: Romo Frans Magnis Suzeno yang notabene bukan jemaat HKBP, melainkan pastor Katolik.
HKBP menyalahgunakan surat Pemkot Bekasi
Ketegangan warga Ciketing dengan jemaat HKBP makin panas ketika para pendeta HKBP yang menyalahpahami surat Pemkot Bekasi, yaitu Surat Sekretariat Daerah Pemkot Bekasi nomor 460/1529/Kessos/VII/2010 tertanggal 9 Juli 2010 perihal “Penangangan Permasalahan HKBP PTI” yang ditandatangani oleh Sekda Tjandra Utama Effendi.
Kutipan poin kedua surat tersebut adalah sbb: “Kepada Pejabat Kantor Kementerian Agama Kota Bekasi agar menyampaikan kepada pendeta dan atau Jemaat AHBP PTI bahwa yang bersangkutan dapat melakukan ibadat di tempat lain milik orang lain atau milik sendiri. Apabila akan beribadat di tempat baik milik orang lain harus mendapat izin dari pemilik setempat.”
Menurut Tajuddin, surat ini disalahgunakan oleh HKBP untuk melakukan ibadah di lahan kosong Ciketing milik HKBP. Padahal surat ini bukan perizinan, tapi instruksi kepada pejabat Kemenag Kota Bekasi. Surat itu juga tidak ditujukan kepada pihak HKBP, tapi ditujukan kepada Dandim0507/BS, Kapolres Metro Bekasi, Kepala Kantor Kemenag, Kepala Kesbangplinmas, Kepala Satpol PP, Camat Mustikajaya dan Ketua FKUB Kota Bekasi.
Tajuddin menambahkan, surat tertanggal 9 Juli 2010 yang diklaim sebagai izin untuk melakukan aktivitas kebaktian di Ciketing itu, telah dianulir dengan dua surat berikutnya, yaitu: Surat Walikota Bekasi tertanggal 23 Juli 2010 yang ditandatangani Wakil Walikota Bekasi Rahmat Effendi dan surat Kementerian Agama Kantor Kota Bekasi tertanggal 28 Juli 2010. Kedua surat itu menyatakan bahwa setelah meninjau lapangan dan melakukan berbagai pertemuan, maka disimpulkan Ciketing tidak kondusif untuk kebaktian jemaat HKBP. Sebagai solusinya, Pemkot Bekasi menyediakan Gedung Serbaguna eks OPP di Jalan Chairul Anwar sebagai tempat kebaktian.
Anehnya, jelas Tajuddin, Pendeta Luspida Simanjuntak menyatakan secara terbuka di sebuah televisi nasional bahwa ia tidak mengakui dua surat yang menganulir tersebut. Singkat kata, tambahnya, perundingan sudah dilakukan berulangkali, tapi HKBP ngeyel dan keukeuh beribadah di tempat yang tidak semestinya.
Karena HKBP terus ngeyel dan terkesan memprovokasi warga yang berpotensi memicu konflik. Meski warga sudah benar-benar geram, tapi Tajuddin dan para tokoh di Forum Umat Islam Mustikajaya (FUIM) berusaha meredam warga agar tidak terjadi perbuatan anarkis.
“Saya sering ditanya warga Ciketing. Mereka bertanya: Ustadz, boleh gak mereka gua bacok? Tapi kita redam warga dan kita arahkan agar tidak melanggar hukum,” ujarnya.(voa-islam/arrahmah.com)