TAJIK (Arrahmah.id) – Parlemen Tajikistan menyetujui rancangan undang-undang (RUU) untuk melarang hijab pada Jumat (21/6/2024). Keputusan tersebut menyusul pembatasan terhadap pakaian religius selama bertahun-tahun, dengan Presiden Emomali Rahmon menyebut hijab sebagai bagian dari “pakaian asing”, kantor berita independen yang berbasis di Dushanbe, Asia Plus, melaporkan.
RUU yang membatasi penggunaan hijab disahkan pada sesi ke-18 majelis tinggi parlemen, Majlisi Milli. Parlemen melarang “pakaian asing” dan perayaan anak-anak untuk dua hari raya Islam yang paling penting -Idul Fitri dan Idul Adha.
Lebih dari sebulan sebelumnya, pada 8 Mei, majelis rendah parlemen negara itu, Majlisi Namoyandagon, menyetujui RUU tersebut. Dengan hijab, kerudung (penutup kepala), RUU tersebut menargetkan pakaian tradisional Islam.
Larangan hijab Rahmon merupakan bagian dari agendanya untuk mempromosikan ‘budaya Tajik’, yang bertujuan untuk mengurangi religiusitas publik yang terlihat. Sebagai kepala negara yang dianggap Rahmon sebagai negara sekuler, larangan ini berakar kuat pada politik dan cengkeraman kekuasaannya.
Emomali Rahmon berkuasa selama 30 tahun, sejak ia menjabat sebagai Presiden negara di Asia Tengah ini sejak tahun 1994. Presiden telah menentang partai-partai politik yang lebih religius, lapor The Indian Express.
Di bawah pemerintahan Rahmon, Tajikistan telah mengalami serangkaian perubahan, salah satunya adalah pelarangan hijab. Salah satu perubahan besar terjadi pada 2016, setelah amandemen Konstitusi Tajikistan untuk menghapus batasan jumlah masa jabatan presiden. Ia juga melarang partai politik berbasis agama yang dapat menantang partainya.
Meningkatnya religiusitas pasca perpecahan Uni Soviet?
Para ahli menyebutkan bahwa tindakan pembersihan yang dilakukan oleh presiden Tajikistan terjadi setelah meningkatnya religiusitas yang terlihat setelah perpecahan Uni Soviet. Pada 2015, Massoumeh Torfeh, mantan juru bicara Misi Pengamat PBB di Tajikistan dan seorang jurnalis, menulis di Al Jazeera, “Masjid-masjid baru telah dibangun dan menarik lebih banyak orang untuk beribadah, lebih banyak kelompok pengajian muncul dan lebih banyak perempuan dan laki-laki yang mengenakan pakaian bergaya Islam. Pada saat yang sama, kelompok-kelompok bersenjata Islamis telah aktif di daerah perbatasan Tajikistan dan Afghanistan.”
Undang-undang baru ini juga membatasi “impor, penjualan, promosi dan pemakaian pakaian yang dianggap asing bagi budaya nasional”. Menurut Radio Liberty’s Tajik Service, pelanggaran dapat dikenai denda mulai dari 7,920 somoni Tajikistan untuk pelanggar perorangan hingga 39,500 somoni, atau sekitar belasan juta rupiah. (haninmazaya/arrahmah.id)