MYANMAR (Arrahmah.com) – Militer Myanmar mengatakan pasukannya telah membunuh enam orang dan mereka kehilangan dua tentara mereka dalam bentrokan dengan “penyerang” di negara bagian Rakhine, Sabtu (12/11/2016).
Rakhine Utara, yang merupakan rumah bagi minoritas Muslim Rohingya dan berbatasan dengan Bangladesh, telah berada di bawah kepungan militer sejak penyerbuan di pos perbatasan menewaskan sembilan polisi bulan lalu.
Tentara Myanmar telah membunuh puluhan orang dan menangkap sejumlah lainnya dalam serangan yang mereka klaim sebagai perburuan untuk menemukan “para penyerang”. “Para penyerang” tersebut diklaim pemerintah sebagai militan Rohingya radikal yang terkait dengan pemberontak di luar negeri.
Krisis dan laporan pelanggaran hak asasi berat yang dilakukan bersamaan dengan tindakan keras “pasukan keamanan” Myanmar telah mengakumulasi tekanan internasional terhadap pemerintah sipil baru Myanmar dan mengangkat pertanyaan tentang kemampuannya untuk mengendalikan tentara.
Pihak berwenang juga sangat membatasi akses ke daerah itu, sehingga sulit untuk secara independen memverifikasi laporan atau tuduhan pelecehan tentara pemerintah.
Pada hari Sabtu militer mengklaim mereka diserang di wilayah perbatasan, oleh sekitar 60 orang dengan “senjata kecil dan pedang”.
Bentrokan pecah di pagi hari selama “Operasi Pembersihan” di desa Ma Yinn Taung di Maungdaw, menurut sebuah pernyataan militer.
“Dalam bentrokan itu, enam jasad penyerang bersama dengan pistol yang ‘penyerang’ curi pada 9 Oktober diambil,” klaimnya, menambahkan bahwa seorang tentara juga tewas sementara yang lain terluka.
Pasukan Myanmar kemudian mengikuti para penyerang ke desa Gwa Zona terdekat di mana mereka menghadapi gerombolan bersenjata berjumlah 500 orang, kata militer.
“Tentara berjuang kembali tetapi kelompok penyerang itu sangat besar dan tentara harus menggunakan dua helikopter,” klaim pernyataan tersebut, dengan menambahkan bahwa seorang perwira tewas dalam operasi itu.
Lebih dari 100.000 orang, sebagian besar warga Rohingya, terdorong ke kamp-kamp pengungsian dengan pertumpahan darah sementara kelompok-kelompok hak asasi internasional telah berulang kali menyerukan Suu Kyi untuk mencetuskan solusi.
Sementara itu, dalam pernyataan yang dikeluarkan hari Jum’at, Zainab Hawa Bangura, perwakilan khusus PBB tentang kekerasan seksual dalam konflik, mengatakan dirinya prihatin dengan laporan tersebut dan mengatakan bahwa penting bagi pemerintah untuk memungkinkan akses kemanusiaan ke daerah itu untuk memberikan dukungan bagi mereka yang masih bertahan.
“Eskalasi kekerasan baru-baru ini dapat menyebabkan insiden kekerasan seksual lebih banyak dan karena itu saya menyerukan kepada pemerintah Myanmar untuk mengambil langkah-langkah untuk menghentikan spiral kekerasan ini, khususnya terhadap perempuan dan anak-anak perempuan,” katanya.
(banan/arrahmah.com)