LOMBOK (Arrahmah.com) – Innalillah wainna ilaihi rooji’un, Tuan Guru Haji (TGH) Musthafa Umar Abdul Aziz telah meninggal dunia siang ini, kamis (1/5/2014), beliau adalah guru para penghafal Al Qur’an di Lombok, di Pondok Pesantren Al Aziziyah.
Pesan tersebut disampaikan ustadz Muhammad Arifin Ilham melalui akun facebook beliau.
“Inna lillaahi wa innaaa ilaihi roojiuun, telah pulang hari ini kamis dhuha, tuan guru Musthofa Umar diusia 86 tahun, beliau ulama kharimatik Lombok, pimpinan pondok pesantren Aziziyah yang telah banyak melahirkan ulama dan para penghafal Alqur’an. SubhanAllah diantara kenangan terindah bersama tuan guru tercinta, tahun 2006 lontar jumrah setelah zhuhur hanya berduaan bergadengan tangan, nginap dikamar beliau di pesantren beliau Aziziyah Lombok, 7 kali zikir akbar di Istiqlal, beliau selalu mendampingi abang, sholat berjamaah terlama saat beliau menjadi imam karena jamaahnya para penghafal Al Qur’an. Beliau guru para penghafal Alqur’an, dan beliau juga Dewan Syariah majlis Az Zikra. Arifin sangat menyayangi beliau karena Allah. Allahumma ya Allah rahmati almarhum dengan keluasan ampunanMu, terimalah amal ibadah almarhum, muliakan almarhum disisiMu sebagai pewaris para NabiMu, dan jadikan kuburan almarhum Taman diantara Taman SyurgaMU…aamiin.”
Sekilas Profil TGH Musthafa Umar Abdul Aziz
Di sebuah desa bernama Kapek, Gunungsari, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat berdiri kokoh sebuah masjid tiga lantai yang dikelilingi Pondok Pesantren Al Aziziyah. Itulah buah karya ulama karismatik di Nusa Tenggara Barat, Tuan Guru H Musthafa Umar Abdul Aziz.
Orangtua Musthafa kecil adalah seorang alim yang miskin bernama Umar Abdul Aziz dan Hj Jamilah. Kendati miskin, semangat untuk belajar Musthafa kecil sangat besar. Ia tetap ngotot untuk bisa belajar seperti kawan-kawannya. Tak jarang ia disuruh pulang orangtuanya untuk tidak sekolah lantaran tak ada biaya. Berkat semangat tinggi, ada saja rezeki yang ia dapat semasa belajar.
Hingga akhirnya ia mampu belajar ke Makkah tahun 1976 dan terakhir mendapatkan amanah untuk menjadi guru di Masjidil Haram tahun 1985. “Saya mengajar ilmu Islam di Babul Fattah, Masjidil Haram,” ungkapnya.
Untuk bisa duduk di kursi guru dan mengajar murid dari berbagai belahan dunia di Masjidil Haram bukanlah hal mudah. Sosok guru harus terseleksi melalui berbagai persyaratan yang sangat ketat. Dan Musthafa berhasil melalui semua itu. Musthafa bukanlah cendekiawan yang menghabiskan belajar dibangku formal. Ia banyak menghabiskan masa mudanya belajar dengan para ulama senior di Makkah. Ada 27 lebih guru yang pernah ia ikuti dengan berbagai bidang ilmu yang beragam.
Karenanya ia tak memiliki gelar resmi dari hasil belajarnya. Pernah suatu hari ketika ia mengajar murid-muridnya di Masjidil Haram, usai mengajar ia ditegur oleh mata-mata yang menyamar sebagai murid. “Anda doktor apa magister?”, Musthafa pun menjawabnya dengan tenang, “Saya bukan doktor dan bukan magister. Dalam al-Qur’an dan hadis keduanya tidak ada, tapi hanya ulama warisan dari para nabi,” jawabnya. Lalu keduanya pergi tanpa salam.
Mendengar jawaban itu, kedua mata-mata pun kembali ke kantor dan melaporkannya ke pimpinannya. Tak lama kemudian, Musthafa pun dipanggil menghadap pimpinan. Sang pimpinan bertanya kepada Musthafa, “Taukah kamu siapa yang duduk di majlismu itu, ia adalah mata-mata.” Mendengar pertanyaan tersebut, Musthafa tak gentar, “Saya tidak takut mata-mata, karena ia tidak mengucap salam dulu, tapi tiba-tiba tanya Anda doktor atau magister.
Jika sebab ini saya siap turun berhenti mengajar, apakah saya berhenti mengajar?” tanya Musthafa. Ternyata pimpinan pun menjawab “Tidak, terus-terus.” Akhirnya setelah 15 tahun Musthafa menimba ilmu dan menjadi guru di Makkah, akhirnya ia memutuskan untuk pulang kampung. Satu yang menjadi cita-cita Musthafa adalah mendirikan sebuah lembaga pendidikan tahfidzil Qur’an. Posisi menjadi guru di Makkah pun ia tinggalkan demi membangun desanya menjadi desa pencetak penghafal al-Qur’an dan menjadi lembaga pendidikan Islam yang melahiran generasi Muslim yang berilmu dan beramal.
Tak mudah ternyata berkecimpung di masyarakat. Pasalnya, sejak awal ia sudah dicap sebagai penganut Wahabi yang bertentangan dengan Ahlusunnah Waljamaah. Fitnah dan kecaman ia terima, tapi ia tetap pada niat awal yakni mengabdi untuk mencetak generasi Qur’ani. “Saya biarkan saja fitnah itu akhirnya masyarakat mengerti sendiri,” tuturnya. Sosok Muthafa kini menjadi figur yang menjadi rujukan Tuan Guru di wilayah Lombok.
Setiap hari Ahad waktu hidupnya, ratusan Tuan Guru dari wilayah NTB berkumpul untuk mengaji di rumahnya. Mereka mengkaji hukum-hukum dalam Islam. Tak hanya para Tuan Guru, para masyarakat umum yang haus ilmu Islam juga mendapatkan tempat untuk mengaji kepada Musthafa. “Mereka juga ada yang sudah belajar di Makkah 26 tahun, kini belajar bersama di sini,” ungkapnya. Kini, buah dari kerja keras itu telah berdiri lembaga pendidikan Islam mulai dari tingkat taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. “Saat ini jumlah santri sekitar 1500 orang dan datang dari berbagai daerah di Indonesia,” paparnya. Kini Kapek telah banyak dikenal karena prestasi para santri yang ada di Al Aziziyah.
Para hafidz al-Qur’an setiap tahun lahir dari desa ini. Mereka kini menyebar ke berbagai penjuru wilayah. Bahkan delapan alumninya telah menjadi imam-imam besar di masjid di Qatar, Abu Dhabi dan lainnya. Pada pertengahan tahun 2013 lalu pondok pesantren Al Aziziyah mendapat kunjugan “Safari Al Qur’an” oleh syaikh Fahad Al Kandari. Dan kini beliau telah meninggal dunia pada usianya 86 tahun.
Video Safari Qur’an syaikh Fahad Al Kandari di Pondok Pesantrin Al Aziziyah
(Ukasyah/dbs/arrahmah.com)