GAZA (Arrahmah.id) – Pakar militer dan strategis, Mayor Jenderal Fayez Al-Duwairi, mengatakan bahwa pengeboman yang dilakukan kelompok perlawanan terhadap Tel Aviv dengan rudal Maqadma M90 dari Khan Yunis adalah sebuah pesan untuk menegaskan kemampuan untuk menyerang sedalam yang mereka inginkan di wilayah ‘Israel’, dan bahwa mereka masih mempunyai sarana untuk melakukan hal tersebut.
Dalam penjelasannya tentang penggunaan hanya satu rudal oleh Hamas dalam serangan ini, Al-Duwairi menjelaskan – selama sesi analisis militer oleh Al Jazeera Net– bahwa Brigade Al-Qassam, sayap militer Gerakan Perlawanan Islam (Hamas), memiliki pendekatannya sendiri yang mengendalikan penggunaan sarana-sarana ini, seperti negosiasi mengenai gencatan senjata dan lainnya.
Oleh karena itu, analis militer tersebut menegaskan bahwa keputusan untuk mengebom ‘Israel’ bagian tengah dengan rudal ini merupakan keputusan politik oleh pimpinan Hamas di dalam negeri sebelum menjadi keputusan militer karena dampak politiknya dapat menjadi signifikan.
Ia menjelaskan bahwa rudal tersebut membawa hulu ledak eksplosif dengan berat kurang dari 250 kilogram bahan peledak dan memiliki jangkauan minimal 90 kilometer, dan jenis yang ditingkatkan mencapai hingga 250 kilometer. Ia menjelaskan bahwa nama rudal M90 berarti Ibrahim “Maqadmeh, 90 kilometer”, dan ini adalah generasi pertama dari 3 generasi rudal yang menyandang nama Ibrahim Maqadmeh.
These are the M90 rockets that they said will burn Tel Aviv. They fired two about a week or two ago that missed Tel Aviv. Seems like they recalibrated. pic.twitter.com/jj5Lux23p5
— Shaydz (@MusicByShaydz) August 25, 2024
Pesan sebelumnya
Al-Duwairi mencontohkan, Brigade Al-Qassam sebelumnya juga menggunakan taktik yang sama. Mereka meluncurkan salvo rudal pada waktu yang berbeda untuk mengonfirmasi pesan bahwa mereka mampu dan memiliki sarana yang dapat digunakan untuk menyerang wilayah ‘Israel’.
Al-Duwairi tidak dapat memastikan apakah rudal tersebut diluncurkan dari terowongan atau dari atas tanah, dan menyatakan bahwa jika diluncurkan dari dalam terowongan, maka rudal tersebut akan berasal dari pangkalan tetap dan akan akurat menuju sasaran, namun jika diluncurkan dari jarak jauh (di atas tanah), kemungkinan ia berasal dari pangkalan simultan yang tidak tetap dan tingkat keakuratannya akan berkurang.
Mengenai kemampuan Al-Qassam meluncurkan rudal dari Khan Yunis, di mana operasi militer intensif dilakukan oleh tentara pendudukan, Al-Duwairi mengatakan bahwa ini bukan pertama kalinya rudal Al-Qassam diluncurkan dari daerah yang terdapat tentara pendudukan, karena rudal sebelumnya telah diluncurkan dari jarak satu setengah kilometer atau kurang, menurut pengakuan tentara pendudukan sendiri.
Efektivitas Perlawanan
Mengomentari video seorang tentara ‘Israel’ yang ditembak di sekitar salah satu universitas, di selatan lingkungan Tal al-Hawa di Kota Gaza, Al-Duwairi menekankan bahwa operasi ini membuktikan keefektifan unit perlawanan yang bertempur di sana, dengan menunjukkan bahwa operasi penembak jitu mempunyai dampak moral dan psikologis yang besar terhadap pendudukan.
Ia menjelaskan, senjata yang digunakan dalam operasi sniping adalah senapan Al-Ghoul, yang dikembangkan dari senapan sniper Tiongkok, dan memiliki jangkauan dua ribu meter, sedangkan jangkauan ideal untuk sniping adalah hingga 1800 meter, dan menggunakan peluru kaliber 14,5, yang membuatnya sangat mematikan dan dapat menembus target dan mengenai target lain setelahnya.
Untuk menjelaskan operasi penembakan dari sudut pandang teknis, al-Duwairi mengatakan bahwa penembak jitu tersebut menargetkan satu tentara meskipun ada tentara lain di sekitarnya, karena senapan perlu diatur ulang agar dapat menembak lagi.
Ia menjelaskan bahwa setiap operasi perlawanan terhadap pendudukan dikendalikan oleh keadaan tertentu seperti sifat sasaran dan keadaan sekitar yang membuat perlawanan menggunakan taktik tertentu dan senjata yang tepat untuk menargetkan tentara pendudukan melalui penembakan, peluru, rudal, atau penyergapan.
Pakar militer tersebut juga mengemukakan bahwa penyergapan dianggap sebagai jenis taktik perang yang paling sulit yang digunakan perlawanan, karena memerlukan pengaturan lebih dari satu tahap, seperti pengintaian, membaca dan memeriksa informasi, dan membayangkan bentuk operasi yang diharapkan akan dilakukan oleh pendudukan dan mempersiapkan penyergapan yang sesuai. (zarahamala/arrahmah.id)