DAMASKUS (Arrahmah.id) — Informasi Ahmad Hassoun, mantan Mufti Agung Republik Arab Suriah selama pemerintahan Presiden terguling Bashar al-Assad, ditangkap viral di dunia maya. Kabar penangkapan dirinya di bandara Bandara Internasional Damaskus ketika hendak meninggalkan Suriah membuat banyak pihak mempertanyakan seperti apa dia ketika mendukung rezim Suriah sebelum runtuh.
Dilansir The Syrian Observer (28/3/2025), pria bernama asli Ahmad Badruddin Muhammad Hassoun sangat dikenal terkait serangannya terhadap pengungsi dan oposisi serta hasutannya untuk membunuh dan memusnahkan para pemberontak di Aleppo dengan bom barel. Sehingga, lawan-lawan rezim menjulukinya sebagai “Mufti bom barel”.
Hassoun lahir pada 25 April 1949 di kota Aleppo, kota terbesar di utara Suriah sekaligus pusat ekonomi negara tersebut.
Ia dibesarkan dalam lingkungan keagamaan di bawah bimbingan ayahnya, Sheikh Muhammad Adib Hassoun, yang mengabdikan hidupnya sebagai guru agama dan penasihat spiritual.
Hassoun juga belajar di bawah bimbingan Sheikh Muhammad Nabhan al-Halabi dan menerima pendidikan agama darinya.
Hassoun menempuh pendidikan dasar di Aleppo dan lulus dari sekolah menengah pada tahun 1967. Pada tahun yang sama, ia mengunjungi Yerusalem dalam perjalanan sekolah.
Ia kemudian melanjutkan pendidikan ke Universitas Al-Azhar di Mesir dan memperoleh gelar sarjana dalam bidang Sastra Arab. Di universitas yang sama, ia menyelesaikan studi pascasarjana dan meraih gelar doktor dalam bidang Fikih Syafi’i.
Hassoun memulai karier dakwahnya sebagai khatib dan imam di berbagai masjid di Aleppo sejak tahun 1967. Masjid-masjid itu termasuk Masjid At-Tawwābīn, Masjid Ammar bin Yasir, Masjid Al-Furqān, dan Masjid Agung Umāyyah di Aleppo. Ia juga mengadakan kelas keagamaan mingguan.
Pada awal tahun 1990-an, ia menjadi ketua Asosiasi Peningkatan Kesehatan dan Sosial, serta menjadi khatib dan guru di beberapa masjid, termasuk Masjid Al-Rawdah di Aleppo.
Hassoun mencalonkan diri sebagai anggota parlemen Suriah dan memenangkan pemilu pada tahun 1990. Ia menjabat selama dua periode hingga tahun 1998.
Ia kemudian menjabat sebagai Mufti Kedua Aleppo dan kemudian menjadi Mufti Pertama Aleppo dari tahun 2002 hingga 2005. Selama periode yang sama, ia menjadi anggota Dewan Fatwa Tertinggi.
Setelah wafatnya Mufti Suriah Ahmad Kaftaru, Hassoun diangkat sebagai Mufti Agung pada tahun 2005. Ia juga menjadi anggota Majelis Internasional untuk Pendekatan Antar-Mazhab Islam di Iran serta Yayasan Al-Bayt untuk Pemikiran Islam di Yordania.
Pada tahun 2008, ia menghadiri acara “Tahun Dialog Antarbudaya” di Parlemen Eropa. Ia juga menerima “Penghargaan Perdamaian” dari Yayasan Ducci Italia pada tahun 2014.
Hassoun menjabat sebagai Ketua Komite Media di Dewan Penasehat Tertinggi untuk Pendekatan Antar-Mazhab Islam dalam Organisasi Dunia Islam untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (ISESCO). Ia juga memimpin Komite Penasihat Syariah untuk Dewan Moneter dan Kredit di Bank Sentral Suriah.
Selain itu, ia mendirikan beberapa lembaga amal, termasuk Asosiasi Al-Furqan pada tahun 1982 dan Dana Amal Al-Afiyah. Ia juga membuka sekolah dan lembaga pendidikan, seperti Sekolah Menengah Putra di Masjid Usamah bin Zaid, Sekolah Menengah Putri Al-Furqan, serta Taman Kanak-Kanak Al-Furqan dan Rumah Lansia Al-Wafa.
Pada tahun 2016, ia mengunjungi parlemen Irlandia bersama delegasi agama dan berpidato di hadapan Komite Urusan Luar Negeri, menyerukan Uni Eropa untuk mengurangi sanksi terhadap pemerintah Suriah. Ia juga membantah keterlibatan Rusia dalam kejahatan terhadap warga sipil di Suriah.
Kunjungan ini menimbulkan kontroversi, terutama karena pernyataan sebelumnya. Ia mengancam akan melatih pelaku bom bunuh diri untuk menyerang Eropa dan Amerika Serikat (AS), jika Barat melancarkan serangan udara terhadap Suriah dan Lebanon.
Investigasi Amnesty International pada tahun 2017 mengungkapkan bahwa Hassoun diberi wewenang oleh Assad untuk menyetujui eksekusi hingga 13.000 tahanan di Penjara Saidnaya selama lima tahun sebelumnya, bersama dengan Menteri Pertahanan dan Kepala Staf Angkatan Darat Suriah.
Setelah jatuhnya rezim Assad pada 8 Desember 2024, dokumen yang menunjukkan tanda tangan Hassoun atas eksekusi tahanan di Penjara Saidnaya beredar di media sosial.
Pada 18 Februari 2025, demonstran di Aleppo menyerbu rumahnya, meneriakkan slogan-slogan yang menuntut agar ia diadili.
Di Indonesia, pada tahun 2008, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga di Indonesia memberinya gelar doktor kehormatan atas pidatonya di Parlemen Eropa. (hanoum/arrahmah.id)