JAKARTA (Arrahmah.com) – Sidang kode etik terkait kasus kematian Siyono dalam putusannya menjatuhkan sanksi terhadap dua anggota Densus 88 Antiteror Mabes Polri, berupa demosi tidak percaya
“Jadi sudah dilangsungkan putusan terhadap dua terduga pelanggar yakni AKBP T dan Ipda H,” kata Kadivhumas Polri Brigjen Pol Boy Rafli Amar di Jakarta, Rabu malam, dikutip dari Antara.
Dalam putusan tersebut, keduanya wajib menyampaikan permohonan maaf kepada institusi Kepolisian. “Itu sudah dilakukan,” katanya.
Selanjutnya keduanya didemosi tidak percaya, artinya tidak direkomendasikan untuk melanjutkan tugas di Densus 88 dan akan dipindahkan ke satuan kerja lain. “Dipindahkan ke satuan kerja lain dalam waktu minimal empat tahun,” katanya.
Saat ditanya, terkait satuan yang akan ditempati oleh kedua polisi tersebut, Boy mengatakan hal itu belum ditentukan.
“Itu nanti diproses di Wanjak (Dewan Jabatan dan Kepangkatan),” katanya.
Sidang kode etik profesi terkait kasus kematian terduga teroris Siyono telah digelar sejak Selasa (19/4) dan berlangsung secara tertutup.
Sidang tersebut bertujuan untuk menentukan adanya kemungkinan pelanggaran prosedur oleh anggota Densus 88 Antiteror Polri yang melaksanakan tugas pengawalan kepada Siyono.
Atas putusan tersebut dua anggota Densus 88 yang menjadi terduga pelanggar kasus kematian Siyono mengajukan banding.
“Keduanya menyampaikan banding karena keberatan atas putusan sidang,” kata Boy.
Dia mengatakan bahwa upaya banding dua terduga pelanggar, yakni AKBP T dan Ipda H akan diproses.
Siyono, warga Dukuh, Desa Pogung, Kabupaten Klaten setelah ditangkap oleh Densus 88 Mabes Polri dikabarkan meninggal dunia ketika dalam pengawalan Densus 88 pada Jumat (11/3). Pihak keluarga, terutama istri Siyono, Suratmi, meminta keadilan terkait dengan meninggalnya suaminya.
Diketahui, berdasarkan hasil autopsi yang dilakukan oleh tim dokter forensik Indonesia kematian Siyono diakibatkan benda tumpul di bagian rongga dada, yaitu ada patah tulang. Pada iga bagian kiri ada lima. Luka patah sebelah kanan ada satu keluar, sedangkan tulang dada patah.
Selanjutnya, tulang patah ke arah jantung hingga mengakibatkan luka yang cukup fatal. Memang ada luka di bagian kepala, tetapi tidak menyebabkan kematian. Sebab, luka pada bagian tersebut tidak terlalu banyak mengeluarkan darah.
Dari seluruh rangkaian autopsi ini, tidak adanya perlawanan dari luka luka yang diteliti. Jadi, tidak ada perlawanan dari Siyono, tidak ada luka defensif dari Siyono
Autopsi dilakukan oleh 10 dokter. Sembilan dokter dari tim forensik dan satu dokter dari Polda Jateng. Kesepuluhnya sepakat dan tidak ada yang berbeda pendapat. Autopsi dilakukan sejak pukul 09.00 pagi hingga 12.00 siang, 3 April 2016.
(azm/arrahmah.com)