(Arrahmah.com) – Semenjak kasus penistaan agama oleh Ahok muncul. Kemudian, dilanjutkan respon para penegak hukum yang terkesan mengulur-ulur prosesnya hingga harus menunggu jutaan umat bergerak dua kali di aksi 411 & 212. Barulah, sang penista agama ditetapkan sebagai tersangka. Status tersangka ini terbukti ampuh untuk meredam sesaat gejolak kemarahan umat islam, meski umat menginginkan agar Ahok segera di tahan saat itu juga. Namun, nyatanya penetapan tersangka atas Ahok telah membuat banyak pihak yang berkepentingan menjadi kalang-kabut. Ya, para pendukung Ahok pun mulai berteriak-teriak. Hingga kemudian opini publik mulai dibelokkan ke banyak arah. Mulai dari isu makar, anti kebhinekaan hingga isu memecah-belah NKRI pun tersemat ditujukan ke arah umat islam. Seolah-olah umat islamlah sumber kegaduhan negeri ini. Para ulama yang menjadi tokoh kunci dalam Aksi Bela Islam-pun satu persatu mulai di kriminalisasi. Mulai dari KH. Tengku Zulkarnaen kemudian, KH. Habib Rizieq Shihab dipermasalahkan atas tuduhan dari beberapa kasus yang tampak seolah beliau sedang dikriminalisasi. Umat islam dijadikan kambing hitam atas kegaduhan yang terjadi. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjaga beliau-beliau.
Tak puas sampai disitu, cobaan lain di kemudian hari kembali menimpa Umat Muhammad di Indonesia. Dalam kelanjutan persidangan kasus yang menjeratnya, Ahok kembali menunjukkan sikap angkuhnya. Selayaknya orang yang tak bersalah dan tak beradab serta merasa diatas angin. Ia dengan seenaknya saja melakukan penghinaan terhadap ketua MUI, yang juga Rais Aam PBNU KH. Ma’ruf Amin di dalam kesaksian beliau dipersidangan akhir januari lalu. Sehingga, hal ini kembali membuat gejolak di tengah-tengah umat. “GP Ansor menyayangkan sikap, perilaku maupun kata-kata dari terdakwa maupun tim pengacaranya, dengan alih-alih menolak keterangan Kiai Ma’ruf Amin sebagai ahli justru memelintir situasi dan seolah-olah menempatkan Kiai Ma’ruf sebagai terdakwa,” kata Ketua Umum PP GP Yaqut C. Qoumas Ansor (Visimuslim, 1/2/2017).
Seperti inilah fakta persidangan di alam demokrasi. Pemain, arena dan permainan dan semuanya seolah tampak telah mereka kendalikan. Umat islam boleh saja ikut main namun yang pasti mereka akan sulit memenangkannya atau bisa dikatakan mustahil. Bukannya pesimis namun fakta mengatakan demikian. Ibarat dalam lomba lari, umat islam boleh mengikutinya. Namun, jika tampak kelihatan umat islam akan memenangkan pertandingannya maka, ada pihak lain sudah bersiap untuk menembaknya hingga terjatuh, dan ia pun tak akan pernah mungkin menjadi seorang pemenang. Akan tetapi meski begitu, percayalah Allah Subhanahu wa Ta’ala tak akan pernah tertidur dan akan selalu menolong umatnya yang menolong agamanya.
Sebegitu kuatkah pihak-pihak dibelakang Ahok hingga status tersangka-pun tak juga bisa menjebloskannya ke penjara. Bandingkan dengan para terduga teroris, baru diduga saja banyak diantara mereka yang harus kehilangan nyawa. Adanya parade Bhineka Tunggal Ika kemudian, Kriminalisasi Ulama seolah-olah mengisyaratkan bahwa umat islamlah yang membuat gaduh dan perpecahan terhadap bangsa ini. Padahal kalo mau jujur akar masalahnya ada di Ahok. Masalah ahok bukan masalah kebhinekaan tapi soal penistaan agama. Yang membuat sekitar tujuh juta umat bergerak adalah mereka tidak lagi percaya bahwa si penista agama ini akan di hukum. Apalagi, publik juga menangkap kesan bahwa adanya upaya dari pihak tertentu untuk mengalihkan opini. Selain dengan mengkriminalisasi ulama, mereka juga terkesan seolah sedang mengadu-domba umat islam. Yang paling menonjol tentu antara FPI dan GMBI. Sehingga, di alam peradilan demokrasi saat ini seolah ada hukum tidak tertulis yang mengatakan “jika tersangka tidak mampu menunjukkan pembelaan yang pasti. Manufer dengan membuat kriminalisasi atas pihak pelapor adalah jalan keluar agar ia terbebas dari kasus yang menjeratnya. Selanjutnya, siapa yang akan memenangkan opini publik maka, merekalah yang akan memenangkan peradilan.”
Ahok, kasusmu kini telah menjadi perbincangan umat di seantero negeri ini. Dari yang mulanya mereka diam karena mereka menganggap ini adalah soal pilkada. Kemudian, umat menjadi paham bahwa engkau adalah simbol. Simbol keangkuhan dan kesewenang-wenangan. Simbol betapa bahayanya kepemimpinan diserahkan kepada orang yang tidak tepat. Simbol betapa bahayanya sistem demokrasi mengatur umat islam, hingga bukan saja tak mampu membela mereka tetapi, malah justru menghinakan mereka. Kasusmu ini juga bisa menjadi penjelas di antara kami. Mana diantara umat islam yang berdiri dengan gagah membela yang kebenaran dan mana umat yang ngakunya muslim tapi, berdiri membela penghina Alqur’an dan Ulama.
Wahai Umat Islam! Janganlah tertipu dengan wajah menyesalnya. Lihatlah dia, dia yang katanya dalam sidang waktu itu menyesali perbuatannya. Nyatanya, semua itu tak lebih dari sekedar akting belaka. Entah, karena sebegitu besarnya pihak dibelakang dia atau memang kita saja yang tidak berani menyuarakan kebenaran. Sekaranglah saatnya bagi kita merajut satu dalam ukhuwah. Kita tinggalkan sejenak egoisme, fanatisme golongan kita. Mari kita bela agama ini dari penghinaan oleh Ahok. Mari bersatu padu meninggikan kalimatul haq. Sebab biar bagaimanapun umat islam terpuruk bukan karena musuh-musuh islam lebih hebat daripada mereka. Tetapi lebih dikarenakan umat islam yang meninggalkan agamanya didalam mengatur kehidupannya. Dan inilah dia biang keladi munculnya orang-orang seperti ahok, yaitu sistem demokrasi. Sistem demokrasi yang meniscayakan agama mengatur dalam kehidupan hingga memunculkan manusia-manusia yang sombong dan berani menantang al Qur’an. Terlebih didalam perkembangannya juga berkolaborasi dengan kapitalisme, liberalisme dan imperialisme sehingga memunculkan fenomena diantara umat islam menjadi pembela yang bayar bukan pembela yang benar.
Aziz Rohman (Syabab HTI Jombang)
(*/arrahmah.com)