GAZA (Arrahmah.id) — Amerika Serikat (AS) diberitakan akan menjatuhkan sanksi khusus kepada unit militer Israel, Batalion Netzah Yehuda, atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Tepi Barat, Palestina.
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengindikasikan rencana tersebut ketika ditanya mengenai laporan bahwa departemennya telah merekomendasikan pemotongan bantuan militer kepada sebuah unit Israel yang terlibat dalam insiden kekerasan di Tepi Barat.
Blinken mengatakan pihaknya sedang melakukan investigasi di bawah undang-undang yang melarang pengiriman bantuan militer kepada unit keamanan asing yang melanggar HAM tanpa hukuman.
“Saya pikir cukup adil untuk mengatakan bahwa Anda akan segera melihat hasilnya. Saya telah membuat keputusan; Anda bisa melihatnya dalam beberapa hari ke depan,” kata Blinken, dikutip dari AFP (21/4/2024).
Lalu apa dan siapa Batalion Netzah Yehuda?
Netzah Yehuda dikenal dengan sebutan Nahal Heredi. Batalion ini dibentuk pada 1999 dengan hanya beranggotakan 30 tentara Israel.
Unit militer ini didirikan untuk mengakomodasi kebutuhan keagamaan para pria Haredi ultra-Ortodoks. Seluruh anggotanya dibebaskan dari wajib militer sejak pembentukan negara Israel pada 1947 silam.
Dilansir dari Middle East Eye (22/4), Netzah Yehuda mengecualikan orang-orang non-Yahudi dan memiliki peraturan agama yang ketat. Mereka tak mengizinkan perempuan berada di pangkalan militernya, kecuali jika perempuan tersebut merupakan istri dari prajurit.
Saat ini, unit tersebut telah memiliki sekitar 1.000 anggota. Mereka sering merekrut pemukim sayap kanan yang tergabung dalam gerakan Hilltop Youth, sebuah aksi di mana para prajurit berpaling dari unit lain dalam militer Israel.
Netzah Yehdua merupakan satu dari lima unit yang membentuk Brigade Kfir. Ini merupakan brigade yang dideskripsikan oleh militer Israel sebagai “garis depan perang melawan terorisme Palestina” di Tepi Barat.
Netzah Yehuda beroperasi di kota-kota Tepi Barat seperti Ramallah dan Jenin.
Pada Januari 2022, Netzah Yehuda memicu kemarahan publik karena menahan seorang warga Palestina-Amerika, Omar Muhammad Assad (80), sambil menyiksanya. Menurut saksi mata, Assad diborgol, disumpal, dan dipaksa berbaring tengkurap, sebelum akhirnya ditinggalkan dalam posisi itu oleh tentara Israel.
Assad kemudian ditemukan di pinggir jalan dan dinyatakan meninggal dunia akibat serangan jantung.
Sebelum insiden ini, Batalion Netzah Yehuda memang punya rekam jejak melakukan kekerasan terutama terhadap warga Palestina.
Pada Juni 2015, batalion ini menembak seorang warga Palestina tak bersenjata di kota Silwad, utara Ramallah. Mereka mengklaim warga Palestina tersebut melempar bom molotov ke arah prajurit. Namun, rekaman video tak menunjukkan bukti klaim tersebut.
Pada bulan yang sama, muncul pula sejumlah laporan bahwa setidaknya lima prajurit batalion menyerang dan menahan sewenang-wenang Shadi al-Ghobaishi, seorang warga Palestina dari kamp Jazalone di Ramallah.
Ghobaishi diserang setelah mendekati para tentara untuk meminta mereka berhenti menembakkan gas air mata dan granat suara di dekat rumahnya. Ia meminta demikian karena para tentara membuat anak-anaknya takut.
Pada Oktober 2015, sejumlah warga Palestina juga ditahan oleh Netzah Yehuda di Jenin dan Tulkarm sambil diborgol, ditutup matanya, dipukuli, serta disetrum elektroda.
Seorang tentara yang melakukan sengatan listrik dan tiga orang lainnya yang terlibat dalam insiden itu dijatuhi hukuman tujuh-sembilan bulan penjara beberapa bulan kemudian.
Pada Agustus 2016, seorang prajurit dari unit tersebut juga dilaporkan menembak dan membunuh warga Palestina Iyad Zakariya Hamed di dekat Silwad. Prajurit itu menuduh Hamed menimbulkan ancaman. Tak pernah ada tuntutan mengenai kasus kematian Hamed.
Pada Desember 2018, Netzah Yehuda juga menembak dan membunuh Qassem Abbasi (17), seorang warga sipil dari Silwan di Yerusalem Timur.
Para tentara mulanya menuding Abbasi berusaha menabrak mereka. Namun militer kemudian menegaskan bahwa remaja itu tak menimbulkan ancaman. Kasus ini sempat dilakukan penyelidikan namun ditutup tanpa dakwaan apapun.
Pada Oktober 2021, empat tentara dari unit itu juga dikabarkan ditahan atas dugaan pemukulan dan penyerangan seksual terhadap seorang tahanan Palestina. (hanoum/arrahmah.id)