PARIS (Arrahmah.id) — Sebenarnya Pavel Durov (39), pendiri Telegram, selalu mengatakan tim moderator Telegram untuk selalu berupaya menghapus akun-akun berbahaya. Namun, ia enggan membatasi akun-akun yang menyebarkan informasi terkait perang.
“Setiap hari, para moderator Telegram dan tool AI kami menghapus konten-konten berbahaya dari platform kami. Namun, peliputan terkait perang jarang terlihat jelas [bahayanya],” kata dia kala itu, dikutip dari NDTV (28/8/2024).
Berbicara spesifik soal Hamas, Durov mengatakan banyak informasi dari akun-akun Hamas yang bermanfaat bagi nyawa manusia.
“Hamas menggunakan Telegram untuk memperingatkan penduduk sipil di Ashkelon untuk meninggalkan area tersebut menjelang serangan misil mereka. Jika akun itu dihapus, akan menyelamatkan masyarakat atau membahayakan lebih banyak orang?” ia bertanya.
Durov mengatakan sangat gampang sebenarnya membuat keputusan yang emosional terkait informasi perang. Namun, di situasi yang kompleks, perlu banyak pertimbangan yang dipikirkan sebelum membatasi atau memblokir akun.
“Tak seperti aplikasi lain yang menggunakan alforitma untuk mempromosikan konten-konten kontroversial, di Telegram pengguna hanya mendapatkan informasi dari channel langganan mereka. Jadi, tak mungkin channel Telegram dipakai sebagai alat propaganda. Channel Telegram menjadi sumber yang unik untuk memberikan informasi bagi para periset, jurnalis dan pengecek fakta,” ia menjelaskan pada Oktober 2023 lalu.
Saat ini Durov ditahan otoritas Prancis dengan tuduhan menjadi bagian dari pengedaran narkoba, konten pornografi, pencucian uang dan kriminalitas siber di platform Telegram.
Kendati demikian, pemerintah Rusia meminta pemerintah Prancis membeberkan bukti kuat untuk tuduhan tersebut. Jika tidak, Rusia mengatakan tindakan Prancis sebagai pembungkaman terhadap kebebasan berekspresi.
Durov yang lahir di Rusia, sebelumnya juga menolak permintaan pemerintah Putin untuk memblokir akun-akun oposisi di Telegram. Dia bahkan meninggalkan negaranya pada 2014 silam. (hanoum/arrahmah.id)