GAZA (Arrahmah.id) – Para analis ‘Israel’ menilai bahwa langkah Hamas yang menayangkan serangkaian video tawanan yang mereka tahan merupakan bentuk tekanan psikologis yang kuat, sekaligus cara untuk meningkatkan tekanan publik terhadap pemerintahan Benjamin Netanyahu agar segera menyepakati perjanjian pertukaran tahanan dan mengakhiri perang.
Seiring dengan tayangan video dari Hamas, keluarga para tawanan pun mulai mengecam para menteri dan anggota parlemen dari koalisi sayap kanan yang memerintah. Mereka menuduh para pejabat tersebut hidup nyaman dan seolah-olah telah melupakan para tawanan.
Muria Asraf Wolberg, koresponden urusan politik dari saluran TV ‘Israel’ Channel 13, mengatakan bahwa video-video tersebut jelas menunjukkan upaya Hamas untuk menekan pemerintah ‘Israel’ agar menyetujui syarat-syarat yang selama ini ditolak.
Sementara itu, Ohad Hemo, reporter urusan Arab di Channel 12 ‘Israel’, menyebut apa yang dilakukan Hamas sebagai “kampanye nyata yang dirilis secara bertahap.” Menurutnya, kampanye ini mencerminkan dua hal utama:
- Stagnasi dalam proses negosiasi yang tidak menunjukkan kemajuan, sementara Hamas ingin agar perundingan berhasil dan ada kesepakatan pertukaran.
- Penutupan perbatasan di tengah kondisi kelaparan serius yang melanda Jalur Gaza.
Di sisi lain, analis urusan Palestina dari Channel 13, Hezi Simantov, meyakini bahwa Hamas menggunakan para tawanan sebagai alat untuk memengaruhi jalannya negosiasi, demi mencapai kesepakatan.
Menurutnya, Hamas memanfaatkan kondisi para tawanan yang masih hidup untuk mengirim pesan kepada Presiden Amerika Serikat Donald Trump, agar ia menekan ‘Israel’ agar lebih fleksibel dalam merespons syarat-syarat negosiasi, sehingga lebih menguntungkan bagi Hamas.
Di waktu yang sama, Channel Kan 11 ‘Israel’ mengutip seorang pejabat yang mengatakan bahwa Hamaslah yang akan menentukan siapa saja yang akan dibebaskan lebih dulu, sementara ‘Israel’ masih berbicara tentang kemungkinan kesepakatan sebagian.
Laporan dari The Times of Israel juga menyebut bahwa Kepala Mossad, David Barnea, baru-baru ini melakukan perjalanan ke Qatar. Langkah ini dianggap sebagai kemungkinan kembalinya dia ke meja perundingan setelah sempat dikeluarkan dari peran itu dua bulan lalu.
Sebelumnya, pada 17 April, pemimpin Hamas di Gaza, Khalil Al-Hayya, menyatakan kesiapan pihaknya untuk segera memulai negosiasi kesepakatan menyeluruh yang mencakup pembebasan semua tahanan Israel, dengan imbalan pembebasan sejumlah tahanan Palestina sesuai kesepakatan.
Al-Hayya menegaskan bahwa Hamas tidak akan ikut serta dalam skema kesepakatan parsial yang selama ini dijadikan Netanyahu sebagai kedok untuk melanjutkan kebijakan pemusnahan rakyat Palestina, bahkan jika itu berarti harus mengorbankan tawanan mereka sendiri.
‘Israel’ sendiri diketahui mundur dari tahap kedua perjanjian gencatan senjata dan pertukaran tahanan, lalu kembali melanjutkan agresi pada 18 Maret lalu. Sejak awal serangan pada 7 Oktober 2023, lebih dari 50.000 warga Gaza telah menjadi korban jiwa.
Pada tahap pertama kesepakatan, disepakati pembebasan 33 tahanan ‘Israel’ (hidup maupun meninggal), dan hal ini telah dipenuhi oleh pihak perlawanan Palestina: mereka membebaskan 25 tawanan hidup dan menyerahkan 8 jenazah dalam 8 tahap, dengan imbalan pembebasan sekitar 2.000 tahanan Palestina, termasuk ratusan yang divonis penjara seumur hidup atau hukuman tinggi lainnya.
Saat ini, masih ada 59 tawanan ‘Israel’ yang ditahan di Gaza, menurut perkiraan ‘Israel’, 24 dari mereka masih hidup. Sementara di penjara-penjara ‘Israel’, lebih dari 9.500 warga Palestina masih ditahan, banyak di antaranya mengalami penyiksaan, kelaparan, dan pengabaian medis, yang telah menyebabkan kematian sejumlah tahanan. (zarahamala/arrahmah.id)