(Arrahmah.com) – Utusan Joko Widodo untuk Timur Tengah, Alwi Shihab, dalam sebuah wawancara dengan media Mesir, al-masryalyoum, mengatakan langkah Al-Sisi yang sudah membunuh ribuan nyawa Kaum Muslimin Mesir sebagai tindakan yang tepat.
Parahnya lagi, Alwi Shihab juga mengatakan gerakan yanag didirikan Hassan Al Banna, Ikhwanul Muslimin, sebagai “teroris”.
Tentu saja pernyataan Alwi Shihab dalam wawancara dengan koran lokal Al-Masry Al-Youm, edisi 27 Maret 2015, itu sangat melukai sekaligus tidak tahu berterimakasih kepada Ikhwanul Muslimin yang menjadi pionir di Mesir untuk mendukung kemerdekaan Indonesia.
Dalam koran berbahasa Arab itu, Alwi jelas sekali menunjukkan permusuhan dan kebencian dengan menyebut Ikhwanul Muslimin sebagai organisasi “Teroris”.
Jelas, pernyataan tak bertanggungjawab itu tidak mencerminkan sikap masyarakat Indonesia yang sangat mendukung Ikhwanul Muslimin dan menolak kudeta berdarah yang dilakukan Al-Sisi.
Tak mungkin jika Alwi tidak tahu, bagaimana gelombang dukungan rakyat Indonesia terhadap Ikhwanul Muslimin. Ketika Al-Sisi melancarkan kudeta terhadap Presiden Mursi yang dipilih secara demokratis, diikuti dengan pembantaian terhadap rakyat Mesir dan pendukung Ikhwanul Muslimin, maka aksi protes pun marak di Indonesia.
Tak hanya di Indonesia, masyarakat dunia pun mengecam tindakan biadab yang dilakukan Al-Sisi itu. Tak berhenti sampai di situ. Rezim ilegal di bawah kendali Al-Sisi menangkapi, memenjarakan dan memvonis mati ratusan tokoh dan pendukung Ikhwan, termasuk pemimpin gerakan itu.
Tak mungkin pula Alwi tak tahu bahwa dengan desakan Ikhwanul Muslimin-lah, penguasa Mesir mendukung kemerdekaan Indonesia. Yang mungkin, Alwi telah mengingkari sejarah.
Tatkala tersiar kabar Indonesia akan memproklamirkan kemerdekaannya pada Agustus 1945, rakyat Mesir dan anggota-anggota organisasi Islam negara itu menyambut gembira. Koran-koran dan radio Mesir kala itu, seperti ditulis Agung Pribadi (Historivator), mengatakan bahwa ini adalah awal kebangkitan di dunia Islam. Juga dinyatakan ini adalah awal dari kemerdekaan negara-negara di dunia Islam untuk terbebas dari belenggu penjajahan negara-negara Barat.
Pada 16 Oktober 1945, tulis Agung, sejumlah ulama di Mesir dan Dunia Arab dengan inisiatif sendiri membentuk ‘Lajnatud Difa’i’an Indonesia’ (Panitia Pembela Indonesia). Ikhwanul Muslimin yang berpusat di Mesir dan dipimpin oleh Hasan Al Banna saat itu menjadi unsur utama gerakan ini.
Sejak itu Ikhwanul Muslimin sering mengadakan demo besar-besaran mendesak pemerintah Mesir untuk mengakui kemerdekaan Indonesia. Para kelasi kapal yang bekerja di kapal-kapal Inggris banyak yang melakukan pemogokan bahkan berhenti bekerja dan mengajukan tuntutan kepada pemerintah Inggris supaya berhenti membantu Belanda.
Bahkan ada mahasiswa Indonesia yaitu Mohammad Zein Hassan yang bekerja di kapal Inggris di Tunisia, berhenti bekerja di kapal Inggris itu dan berjalan kaki dari Tunisia ke Mesir.
Ketika ditanya kenapa ia berjalan kaki sejauh itu, Zein Hassan menjawab, “Seluruh perusahaan transportasi dari Tunisia ke Mesir adalah milik Inggris dan ulama-ulama di Mesir mengharamkan bekerjasama dengan Inggris yang membantu Belanda menghalang-halangi kemerdekaan Indonesia!”
Saat itu Ikhwanul Muslimin, tulis Agung, juga membuka ruang seluas-luasnya bagi mahasiswa-mahasiswa Indonesia di Mesir untuk menulis tentang kemerdekaan Indonesia di koran-koran dan majalah milik Ikhwan.
Ketika terjadi pertempuran Surabaya 10 November 1945 dan banyak koran Indonesia memberitakan, Ikhwanul Muslimin dan gerakan Islam lainnya mengadakan shalat ghaib berjamaah di banyak tempat di Mesir.
Sekali lagi, atas desakan ikhwanul Muslimin dan gerakan Islam lainnya akhirnya Negara Mesir di bawah pimpinan Raja Farouk ketika itu mengakui kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 pada 22 Maret 1946. Setelah itu pemerintah Mesir mengirimkan utusan khususnya yang membawa surat pengakuan itu untuk menemui Presiden Soekarno di ibukota RI, Yogyakarta.
Ketika Belanda melakukan agresi militer pertama pada 1947, para buruh anggota Ikhwanul Muslimin sering mencegat kapal-kapal Belanda di Terusan Suez yang saat itu dinyatakan milik internasional.
Ketika kapal Belanda Volendam mendarat di Port Said, beberapa motor boat yang dikendarai buruh pelabuhan dan anggota-anggota Ikhwanul Muslimin, mengelilingi kapal itu dan mencegah kapal-kapal lain mendekat dan menyuplai air minum untuk kapal Belanda tersebut.
Pemerintah Mesir juga menyalurkan bantuan lunak berupa uang kepada pemerintahan Indonesia yang kas-nya masih kosong. Sungguh sebuah bantuan yang sangat berarti. Hal ini kemudian diikuti oleh negara-negara Timur Tengah lainnya.
Jadi Peran Mesir yang dipelopori oleh Ikhwanul Muslimin sangatlah besar dan berarti buat Indonesia. Maka, mestinya, pemerintah Indonesia mendukung Ikhwanul Muslimin Mesir yang dizalimi oleh rezim ilegal saat ini. Bukannya malah ikut-ikutan rezim Mesir yang khianat itu menyebut Ikhwan sebagai organisasi “teroris”.
Sungguh, alih-alih mendukung, mengingat kontribusi Ikhwan dalam dukungannya terhadap kemerdekaan Indonesia pun mungkin tak terpikir oleh Alwi Shihab. Apalagi berterima kasih. Sangat disesalkan sekaligus memalukan dan tak tahu diuntung. ()
(salamonline.co/arrahmah.com)