IDLIB (Arrahmah.id) — Pemimpin kelompok perlawanan Suriah Hai’ah Tahrir asy-Syam (HTS), Abu Muhammad al Jaulani, saat ini berusaha keras untuk menjauhkan kelompoknya dari bayang-bayang masa lalu Al Qaeda.
Kelompok HTS kini aktif menyebarkan pesan pluralisme dan toleransi beragama. Sebagai bagian dari rebranding kelompok tersebut, al Jaulani menindak faksi-faksi ekstremis dan membubarkan polisi agama yang terkenal kejam.
Untuk pertama kalinya dalam lebih dari satu dekade, umat kristen melakukan misa di sebuah gereja yang telah lama ditutup di Provinsi Idlib.
Dalam sebuah pertemuan dengan pejabat agama dan pejabat lokal, al Jaulani mengatakan bahwa hukum Islam tidak boleh dipaksakan.
“Kami tidak ingin masyarakat menjadi munafik sehingga mereka beribadah saat melihat kami, dan tidak melakukan (ibadah) setelah kami pergi,” kata Al Jaulani, dikutip dari AP (15/5/2023).
Al Jaulani merujuk ke Arab Saudi, yang telah melonggarkan kontrol sosialnya dalam beberapa tahun terakhir setelah puluhan tahun menerapkan aturan syariat yang ketat.
Negara-negara yang pernah mendukung kelompok perlawanan dalam perang saudara di Suriah sedang memulihkan hubungan dengan Presiden Suriah Bashar Assad. Arab Saudi, yang pernah menjadi musuh Assad, berbalik arah dan memimpin upaya untuk kembali merangkul Suriah ke Liga Arab setelah 12 tahun isolasi regional.
Bahkan Turki, yang merupakan negara pendukung utama kelompok perlawanan bersenjata di Suriah, telah mengisyaratkan pergeseran. Pekan lalu, menteri luar negeri Turki bertemu dengan menteri luar negeri Suriah di Moskow. Ini adalah pertemuan pertama sejak 2011.
Menteri luar negeri Rusia dan Iran, yang merupakan sekutu utama Assad, juga hadir dalam pertemuan itu. Pertemuan tersebut menandai langkah signifikan menuju pemulihan hubungan antara Damaskus dan Ankara.
Pada saat yang sama, Amerika Serikat (AS) menganggap HTS sebagai kelompok teroris dan telah menawarkan hadiah senilai 10 juta dolar AS untuk informasi tentang keberadaan Al Jaulani. PBB juga menetapkan HTS sebagai organisasi teroris.
Awal bulan ini, AS dan Turki menjatuhkan sanksi terhadap dua orang yang diduga mengumpulkan uang untuk kelompok militan, termasuk HTS.
Al Jaulani menjadi sorotan ketika bulan-bulan awal perlawanan Suriah pada tahun 2011, saat dia menjadi pemimpin Jabhah Nusrah yang merupakan kepanjangan tangan dari kelompok militan Islamic State of Iraq yang dikemudian hari bertranformasi menjadi Islamic State (ISIS).
Setelah memutuskan diri dengan ISIS, pada Juli 2016, Jabhah Nusrah mengubah namanya menjadi Jabhah Fatah al-Sham (JFS) dan mengatakan telah memutuskan hubungan dengan Al Qaeda, yang dianggap oleh banyak orang sebagai upaya untuk memperbaiki citranya. JFS kemudian berfusi lagi dengan beberapa kelompok lain dan menjadi HTS seperti sekarang ini.
Selama periode itu, Al Jaulani menunjukkan wajahnya di depan umum untuk pertama kalinya. Dia mengubah gaya berpakaiannya dari turban dan jubah putih menjadi kemeja dan celana panjang. Pejuangnya mengejar anggota militan kelompok ISIS yang melarikan diri ke Idlib setelah kekalahan mereka dan menindak Hurras al-Din yaitu kelompok militan lain yang anggotanya mantan dari HTS namun menyatakan bergabung dengan al Qaeda dan menjadikan kelompoknya cabang Al Qaeda di Suriah.
Namun, perubahan citra publik al Jaulani tampaknya tidak mengesankan Pemerintah AS.
Unggahan di akun media sosial program Rewards for Justice pemerintah AS memperlihatkan foto Al Jaulani mengenakan kemeja biru muda dan blazer biru tua dengan tulisan dalam bahasa Arab yang berbunyi: “Halo, Al Jaulani. Baju yang bagus. Anda dapat mengganti seragam Anda, tetapi Anda akan selalu menjadi teroris. Jangan lupa hadiah 10 juta dolar AS.”
Pada 2017, HTS membentuk pemerintahan Salvation untuk menjalankan urusan sehari-hari di wilayah tersebut. Pada awalnya, ia berusaha untuk menegakkan interpretasi hukum Islam yang ketat.
Polisi agama ditugaskan untuk memastikan bahwa perempuan menutup aurat dengan benar. Polisi agama juga akan memaksa toko-toko tutup setiap Jumat agar orang dapat menghadiri shalat Jumat. Mereka melarang musik dan tidak membolehkan merokok di depan umum.
Pada Maret 2020, Rusia dan Turki mencapai gencatan senjata. Sejak itu, Suriah barat laut yang dikuasai pemberontak telah menyaksikan ketenangan. Sementara HTS memfokuskan upaya untuk menindak sisa-sisa ISIS dan kelompok jihadis lainnya.
Laporan lembaga think tank International Crisis Group mengatakan, HTS telah berevolusi dan menjauhkan diri dari jihadisme global. HTS juga akhirnya menggambarkan dirinya sebagai pembela minoritas di barat laut Arab.
Pada Maret, anggota kelompok bersenjata yang didukung Turki menembak mati empat pria Kurdi di Kota Jinderis saat mereka menyalakan api untuk merayakan tahun baru Kurdi. Al Jaulani bertemu dengan keluarga korban dan penduduk Kurdi lainnya di daerah tersebut dan berjanji akan membalas dendam terhadap para pelaku.
Dalam wawancara dengan PBS ada 2021, Al Jaulani mengatakan, sebutan teroris terhadap kelompoknya tidak adil dan bersifat politis. Kendati dia kerap mengkritik kebijakan Barat di wilayah Suriah, kelompoknya tidak pernah berniat untuk melawannya.
Al Jaulani mengatakan, keterlibatannya dengan Al Qaeda telah berakhir. Bahkan di masa lalu kelompoknya menentang melakukan operasi di luar Suriah. (hanoum/arrahmah.id)