LONDON (Arrahmah.com) – Pemerintah Inggris mengatakan pada Ahad (26/3/2017) bahwa layanan keamanan harus memiliki akses ke aplikasi pesan terenkripsi seperti WhatsApp, mengungkapkan bahwa itu digunakan oleh pembunuh di balik serangan parlemen.
Sekretaris Negara Amber Rudd mengatakan kepada Sky News, hal ini “benar-benar tidak dapat diterima” bahwa polisi dan dinas keamanan belum mampu memecahkan layanan terenkripsi tersebut.
“Anda tidak dapat berada di tengah situasi di mana Anda bersama teroris yang berbicara satu sama lain – melalui pesan WhatsApp – dan pesan-pesan tersebut tidak dapat diakses,” katanya.
Polisi mengatakan pada Sabtu (25/3) bahwa mereka masih tidak tahu mengapa Masood, seorang mualaf dengan masa pidana kekerasan, melakukan serangan itu dan mengatakan kemungkinan bahwa ia bertindak sendirian, meskipun dilaporkan telah ada klaim dari kelompok IS.
“Seharusnya tidak ada tempat bagi teroris untuk bersembunyi,” kata Rudd dalam wawancara terpisah dengan BBC.
“Kita perlu memastikan bahwa organisasi seperti WhatsApp – dan ada banyak lagi yang lainnya yang seperti itu – tidak menyediakan tempat rahasia untuk teroris untuk berkomunikasi satu sama lain.”
Dia mengatakan enkripsi “end-to-end” penting untuk keamanan siber, untuk memastikan bahwa bisnis, perbankan dan transaksi lainnya aman – tetapi juga mengatakan bahwa itu juga harus dapat diakses.
“Ini tidak kompatibel. Anda dapat memiliki sistem dimana mereka dapat membangunnya sehingga kita dapat memiliki akses ke sana ketika benar-benar diperlukan,” katanya kepada Sky News.
Rudd mengatakan dia belum berniat untuk memaksa hal tersebut dengan undang-undang baru, tapi akan bertemu pihak-pihak terkait pada hari Kamis untuk membahas masalah ini, sambil menghadapi “pertempuran terus menerus” melawan video ekstrimis yang diposting online.
“Orang-orang terbaik – yang mengerti teknologi, yang memahami hashtag yang diperlukan untuk menghentikan hal ini bahkan sedang disiapkan…” katanya kepada BBC.
Otoritas AS tahun lalu berjuang dalam pertempuran hukum dengan raksasa teknologi Apple untuk dapat membuka sebuah smartphone yang digunakan oleh pelaku serangan teror di California.
Ahli FBI sendiri akhirnya yang membobol perangkat tersebut.
Raksasa media sosial juga berada di bawah tekanan lebih karena konten ekstrimis yang diposting di situs mereka.
Jerman bulan ini mengusulkan denda jejaring sosial seperti Facebook jika mereka gagal untuk menghapus “kebencian illegal” dari situs mereka.
Sementara itu Google telah menghadapi boikot oleh perusahaan-perusahaan yang iklannya muncul di samping konten ekstrimis pada platform internet, khususnya video mereka yang di-share di situs YouTube. (banan/arrahmah.com)