LONDON (Arrahmah.com) – Pemerintah Inggris menangguhkan semua perjanjiannya dengan militer Myanmar sampai tindakan melawan minoritas Muslim Rohingya di negara itu dihentikan, Perdana Menteri Inggris Theresa May mengatakan pada Selasa (19/9/2017), sebagaimana dilansir kantor berita AA (20/9).
“Kami sangat prihatin dengan apa yang terjadi pada orang-orang Rohingya di Burma (Myanmar). Tindakan militer terhadap mereka harus dihentikan,” Theresa May mengatakan kepada Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York.
Mencatat bahwa “terlalu banyak orang yang rentan” harus melarukan diri demi hidup mereka, May mengatakan: “Aung San Suu Kyi (pemimpin de facto Myanmar) dan pemerintah Burma perlu menjelaskan dengan sangat jelas bahwa tindakan militer harus dihentikan.”
“Pemerintah Inggris mengumumkan hari ini bahwa kita akan menghentikan semua keterlibatan dan pelatihan pertahanan militer di Burma oleh Kementerian pertahanan sampai masalah ini teratasi,” tambahnya.
Tahun lalu, Inggris mengahabiskan sekitar $ 412.000 sebagai bagian dari program pelatihan yang diberikan kepada militer Myanmar mengenai demokrasi, kepemimpinan, dan bahasa Inggris. Program yang ditawarkan oleh Kemeterian Pertahanan tidak termasuk pelatihan tempur.
Sejak 25 Agustus, lebih dari 420.000 orang Rohingya telah menyeberang dari negara bagian Myanmar di Rakhine ke Bangladesh, menurut PBB.
Para pengungsi tersebut melarikan diri dari operasi keamanan di mana pasukan keamanan dan gerombolan Buddhist membunuh pria, wanita, dan anak-anak, menjarah rumah dan membakar desa Rohingya. Menurut Bangladesh, sekitar 3.000 orang Rohingya gugur akibat genosida.
Rohinya, yang digambarkan oleh PBB sebagai orang-orang yang paling teraniaya di dunia, telah menghadapi ketakutan yang meningkat atas serangan tersebut sejak puluhan orang terbunuh dalam kekerasan komunal pada tahun 2012.
Oktober lalu, setelah serangan terhadap pos-pos perbatasan di distri Maungdaw Rakhine, pasukan keamanan melancarkan tindakan keras selama lima bulan di mana sekitar 400 orang terbunuh.
PBB mencatat telah terjadi perkosaan massal, pembunuhan (termasuk bayi dan anak-anak), pemukulan brutal, dan penculikan yang dilakukan oleh petugas keamanan. Dalam sebuah laporan, penyidik PBB mengatakan bahwa pelanggaran tersebut mungkin merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. (fath/arrahmah.com)