MALI (Arrahmah.id) — James Heappey, Menteri Angkatan Bersenjata Inggris, mengatakan keinginannya menarik pasukan dari Mali. Langkah itu merupakan enam bulan lebih awal dari jadwal yang direncanakan.
Dilansir Anadolu Agency (15/11/2022), keputusan tersebut dilakukan mengikuti langkah Prancis yang telah menarik pasukannya dari Mali pada Februari. Inggris berdalih rencana itu didasarkan pada ketidakstabilan politik Mali.
Sejak tahun 2020 silam, Inggris telah mengirim kontingen tentara perdamaian untuk misi perdamaian PBB di Mali (MINUSMA). Jumlahnya sekitar 300 personel. Mereka bergabung dengan pasukan dari negara lain untuk melindungi penduduk dari ancaman serangan kelompok militan.
Namun politik dalam negeri Mali dinilai sedang tidak stabil. Selain itu, Inggris juga menyalahkan pemerintah Mali yang kini bekerja dengan tentara bayaran Rusia, yakni Wagner Group.
“Wagner Group terkait dengan pelanggaran hak asasi manusia massal dan kemitraan pemerintah Mali dengan Wagner Group kontraproduktif dengan stabilitas dan keamanan yang langgeng di wilayah mereka,” kata James Heappey dikutip BBC.
PBB meluncurkan misi perdamaian MINUSMA dengan melibatkan hampir 12 ribu pasukan penjaga perdamaian dari negara anggota. Misi di Mali merupakan salah satu misi perdamiaan terbesar PBB.
Melansir Politico, misi itu untuk menstabilkan dan mendukung transisi pemerintah Mali untuk menyelenggarakan pemilu tahun 2024 nanti usai kudeta militer pada 2020.
Kontingen tentara Inggris dikirim dan dikerahkan ke wilayah bernama Gao, di bagian Mali timur. Heappey menjelaskan bahwa tanggung jawab untuk semua rencana penarikan itu berada di tangan pemerintah Mali.
“Dua kudeta dalam tiga tahun telah merusak upaya internasional untuk memajukan perdamaian. Kami meninggalkan misi MINUSMA lebih awal dari yang direncanakan dan, tentu saja, sedih dengan cara pemerintah di Bamako mempersulit negara-negara yang bermaksud baik untuk tetap berada di sana,” jelas Heappey.
Kekacauan yang melanda Mali terjadi sejak 2012. Saat itu, tentara pemberontak menggulingkan presiden. Kekuasaan yang kosong menyebabkan kelompok militan Islamic State (ISIS) dan al-Qaeda bergerak memicu pemberontakan lain.
Melansir Associated Press, Mali kemudian meminta bantuan Prancis untuk mengatasi itu dan menggeser kekuasaan militan pada tahun 2013. Mali dan Prancis terlibat ketegangan hubungan karena Bamako menyewa tentara bayaran dari Rusia. Prancis kemudian menarik diri pada awal tahun ini.
Para militan tetap aktif saat ini. Mereka pindah dari Mali bagian utara menuju Mali bagian tengah. Ketidakstabilan dan ancaman mematikan menyebar dan meluas juga kerap muncul di Mali.
Dalam pernyataannya, Heappey mengatakan bahwa Inggris tetap memiliki komitmen untuk membantu menstabilkan Mali. Dia akan bertemu dengan rekan Eropa dan Afrika Barat lain di Ghana minggu depan untuk melakukan koordinasi. (hanoum/arrahmah.id)