JAKARTA (Arrahmah.com) – Anda pernah mendengar istilah “singlish” atau bahasa Inggris logat Singapura sebelumnya? Jika pernah, maka kini juga ada “inggrinesia”, yakni bahasa Inggris ala Indonesia. Sebagaimana ramai dibicarakan di media sosial Twitter dan Facebook pada Jum’at (10/10/2014), salah satu buku pelajaran Bahasa Inggris Kurikulum 2013 memuat sebuah wacana berbahasa Inggris yang “sangat Indonesia”.
Para pengguna Facebook sangat menyayangkan hal tersebut. Pasalnya, bahasa Inggris pada wacana tentang Dokter Gigi dalam buku tersebut seolah hanyalah terjemah perkata dari wacana berbahasa Indonesia. Tentu saja meski bahasanya bisa dimengerti, namun hal itu melenceng dari kaidah penulisan wacana bahasa Inggris. Parahnya, wacana itu terdapat dalam buku pelajaran resmi menurut pemerintah.
Sementara, tidak semua orang tua suka mengecek materi apa yang dipelajari buah hatinya. Jika tidak selektif memilih bahan acuan pembelajaran, bisa jadi anak kita mendapatkan informasi yang salah mengenai materi yang dipelajarinya. Sekali salah paham, maka akan sulit bagi kita memperbaiki pemahaman seseorang di kemudian hari.
Media sendiri, tanpa bermaksud menyudutkan Pusat Kurikulum Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, bermaksud untuk menyuarakan aspirasi para pengguna layanan publik bernama sekolah. Harapannya, aspirasi orang tua akan menjadi kontrol dari praktik pendidikan yang digulirkan dari pusat secara menasional.
Mengutip salah seorang pengguna Facebook, “jangan sampai kesalahan pada buku pelajaran menjadi blunder bagi para pembuat kebijakan dan para pelaksana teknis di berbagai lini. Ketidakmatangan Pusat Buku dalam pemilihan penerbit yang memenuhi kualifikasi menjadi terang nampak dari kasus ini.”
Selain itu, berdasarkan komentar seorang kepala sekolah pada sebuah status mengatakan, terkadang guru di sekolah tidak mau berepot-repot melakukan riset untuk memilah dan memilih bahan pembelajaran, maka menjadikan buku pelajaran sebagai acuannya. Lantas apa yang akan terjadi jika yang diajarkan guru sedemikian “rusak” dan melenceng dari kaidah tata bahasa Inggris yang hendak dijadikan pelajaran?
Dengan demikian, sudah saatnya Kemendikbud memikirkan kembali, apakah SDM guru di sekolah sudah bisa mengimplementasikan konsep pembelajaran high order thinking yang diusung pada Kurikulum 2013. Jangan-jangan, proses sosisalisasi dan desiminasi kurikulum selama ini hanya berhasil diimplementasikan bagi para pendidik dan tenaga kependidikan yang dipanggil Pusat saja untuk ikut diklat dan workshopnya.
Sungguh daftar “PR”yang harus dikoreksi Kemediknas semakin panjang, mulai dari para pembuat kebijakan, para pengembang perangkat pendidikan, hingga para pelaksana pendidikan di sekolah, harus diperhatikan. Mari kita doakan saja bahwa dengan fenomena ini akan terjadi perbaikan berkesinambungan di tubuh Kemendiknas demi peningkatan mutu generasi penerus Bangsa Indonesia.
Ingatlah, menjadi pendidik adalah sebuah jalan dakwah dan ibadah yang indah. Satu saja kebaikan disemaikan kepada peserta didik, insyaa Allah amal jariyah terhitung sebagai pahala.
Sebagaimana kaidah dalam ushul fiqih yang berbunyi,
ما لا يتم الواجب الا به فهو واجب
“Sebuah kewajiban yang tidak bisa dilaksanakan tanpa adanya hal yang lain (yang mendukungnya), maka hal (pendukung) itu menjadi wajib.”
Maka mengadakan buku pelajaran yang baik dan benar juga wajib dipenuhi Kemendiknas guna membantu pemenuhan rakyat Indonesia dalam memenuhi kewajiban menuntut ilmu. Wallahua’lam bishowab. (adibahasan/arrahmah.com)