Oleh Nazwa Hasna Humaira
Aktivis Dakwah
Pembangunan infrastruktur jalan akan direalisasikan oleh bupati Bandung Dadang Supriatna selama lima tahun ke depan dengan anggaran yang ditetapkan sekitar Rp500 miliar. Hal ini telah disepakati oleh Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang juga menargetkan pembangunan jalan di Kabupaten Bandung selesai dalam dua tahun, terutama pembangunan akses jalan menuju lokasi wisata di Bandung. Dengan begitu, pengunjung akan merasa nyaman untuk hadir ke tempat destinasi. (Dikutip dari kompas.com, 5/2/25)
Pembangunan infrastruktur memiliki peran penting tersendiri dalam sebuah negara, karena dengan adanya hal tersebut, akan membantu pertumbuhan ekonomi lebih baik, dan memberikan banyak manfaat bagi masyarakat. Seperti halnya pembangunan jalan, sekolah, rumah sakit, jembatan, dan lain sebagainya yang dapat membantu mobilitas masyarakat dalam kesehariannya.
Memberikan kenyamanan kepada publik berupa jalan yang baik, kuat, dan adanya rasa aman bagi pengguna jalan adalah tanggung jawab negara. Tanggung jawab ini sudah selayaknya diberikan secara optimal tanpa motif apapun selain kemaslahatan. Terutama untuk lalu lintas kendaraan dan pejalan kaki.
Untuk mewujudkan jalan yang nyaman serta aman, selain membutuhkan tenaga ahli, juga memerlukan biaya yang tidak sedikit. Terkait tenaga ahli, negara bisa meminta masukan sekaligus mengawasi langsung pengerjaan jalan oleh para pekerja, seperti arsitek, insinyur, dan sarjana teknik lainnya yang berhubungan langsung dengan infrastruktur jalan.
Adapun pembiayaan, negara bisa menggelontorkan dari APBN atau APBD yang ada demi berjalannya proyek pembangunan. Dana APBN dan APBD adalah dana yang bersumber dari berbagai pos seperti hasil pengelolaan SDA yang cukup berlimpah di negeri ini seperti tambang emas, batu bara, nikel, minyak bumi, tembaga, hasil laut, kebun, atau beberapa sumber energi.
Sayangnya, pembiayaan dari SDA saat ini akan sulit terpenuhi mengingat pengelolaan atas beragam kekayaan alam itu sudah diswastanisasi dan diprivatisasi pihak swasta, baik lokal maupun asing dengan dalih peningkatan taraf ekonomi negara. Sehingga, para pengelola dan oligarkinyalah yang akhirnya menikmati hasil kekayaan milik rakyat dan hanya menyisakan sedikit untuk rakyat tapi bebannya cukup besar. Terutama ketika negara tak punya dana dan hanya mengandalkan dari pungutan pajak dan utang luar negeri.
Inilah sistem kapitalisme dimana program negara akan sulit terwujud karena kepentingan segelintir pemodal lebih diutamakan ketimbang urusan rakyat. Pun halnya dengan perbaikan jalan menuju akses wisata di Kabupaten Bandung, sejatinya bukan untuk masyarakat tapi untuk kemudahan serta kenyamanan pengusaha dan pengembang di sektor wisata.
Sedangkan dalam Islam, infrastruktur apapun akan dibangun berdasarkan kemaslahatan masyarakat sebagaimana arahan syariat (Al-Qur’an dan As-sunah), bukan kepentingan para pemilik modal. Pembangunan ini adalah suatu keniscayaan dalam sistem pemerintahan Islam. Penguasa akan menjalankan tanggung jawabnya secara totalitas karena tuntutan syarak dan semata meraih rida Allah.
Oleh karena itu, pembangunan infrastruktur merupakan suatu hal yang sangat penting dan perlu dilakukan oleh negara secara independen, yaitu tidak tergantung pada asing. Dan karena pembangunan infrastruktur berbasis kemaslahatan rakyat maka pembangunan disesuaikan dengan kebutuhan rakyat dan ketersediaan dana. Jika kebutuhannya mendesak, sementara dana di Baitulmal kosong maka pemimpin Islam akan memungut pajak (dharibah) dari rakyat yang mampu saja. Dan pungutan pajak ini tidak dilakukan setiap saat, hanya di kondisi tertentu saja ketika kas baitumal kosong.
Tidak dipungkiri bahwa dalam Islam pun terdapat pajak, namun dalam proses penerapan dan mekanismenya sangat berbeda jauh dari konsep pajak dalam sistem kapitalisme. Sebab, pemungutan dharibah dilakukan secara temporer atau tidak terus menerus yakni saat kepentingan itu bersifat urgent sedangkan dana di kas negara kosong. Itupun hanya diminta pada warga muslim kaya saja. Bukan pada non muslim, anak-anak, atau lansia.
Sehingga, dalam sistem Islam dharibah bukanlah sumber utama pendapatan negara, karena terdapat sembilan bagian yang akan membantu kas untuk negara memenuhi kebutuhan umat. Diantaranya yaitu fai (anfal, ganimah, khumus), jizyah, kharaj, ‘usyur, harta milik umum yang dilindungi negara, harta haram pejabat dan pegawai negara, khumus rikaz dan tambang, harta orang yang tidak mempunyai ahli waris, serta harta orang murtad.
Dan, mengenai jalan adalah kebutuhan publik yang perlu perhatian khusus, seperti dilakukan pengecekan rutin untuk mencegah terjadinya kecelakaan. Pemimpin Islam akan senantiasa memastikan seluruh wilayah di perkotaan, pedesaan, atau pun daerah terpencil sekalipun akan mendapat infrastruktur jalan yang baik dan aman, biaya pun akan ditanggung oleh negara. Karena memang sudah menjadi tanggung jawab negara dalam mengurusi masyarakatnya, jika tidak di akhirat kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Nabi saw. bersabda,
“Setiap dari kalian adalah pemimpin dan tiap tiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban.” (HR Imam Bukhari)
Salah satu contoh bahwa pemimpin dalam Islam berfungsi sebagai raa’in dan benar-benar mengatur urusan rakyat adalah kepemimpinan Umar bin Khattab ra. Ia merupakan pemimpin kaum muslimin yang sangat memperhatikan maslahat umat bahkan terhadap makhluk Allah yang lain. Umar ra. pernah menyerukan agar tidak ada jalan berlubang di wilayah kepemimpinannya, dimana ia begitu khawatir jika ada seekor keledai terperosok dan Umar harus mempertanggungjawabkannya di hadapan Allah kelak.
Wallahu’alam bis Shawwab