Oleh Ustadz Irfan S. Awwas
(Arrahmah.com) – ALHAMDULILLAH! Sesungguhnya Allah Rabbul Alamin telah menakdirkan, bahwa kaum Muslim terpaksa atau sukarela wajib melawan segala kekuatan musuh-musuh yang hendak menyimpangkan mereka ke jalan sesat. Dan atas kehendak Allah jua, kaum Muslim akan senantiasa mampu menghadapi kekuatan jahat asalkan mereka terus berjuang dengan penuh semangat. Ada kalanya, dalam perjuangan melawan kesesatan, kaum Muslim berada dalam posisi lemah tetapi mereka akan cepat bangkit kembali dengan mengambil ibrah dari kesalahan yang menyebabkan kelemahan mereka.
Bercerminlah sejenak pada sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di bawah ini:
إِنَّ رَبِّي قَالَ : يَا مُحَمَّدُ ، إِنِّي إِذَا قَضَيْتُ قَضَاءً فَإِنَّهُ لَا يُرَدُّ ، وَإِنِّي أَعْطَيْتُكَ لِأُمَّتِكَ أَنْ لَا أُهْلِكَهُمْ بِسَنَةٍ عَامَّةٍ ، وَأَنْ لَا أُسَلِّطَ عَلَيْهِمْ عَدُوًّا مِنْ سِوَى أَنْفُسِهِمْ فَيَسْتَبِيحَ بَيْضَتَهُمْ ، وَلَوْ اجْتَمَعَ عَلَيْهِمْ مَنْ بَيْنَ أَقْطَارِهَا …
“Sesungguhnya Tuhanku telah berfirman: “Bila Aku telah memutuskan sesuatu, maka keputusan itu tidak akan berubah lagi. Sesungguhnya Aku telah memberikan kepadamu untuk umatmu, bahwa Aku tidak akan membinasakan mereka dengan menurunkan malapetaka. Aku juga tidak akan menjadikan mereka dikuasai oleh musuh mereka, tetapi mereka akan binasa oleh kekuatan mereka sendiri, dan sekalipun musuh bersatu untuk menghancurkan mereka tidaklah akan berhasil.” (HR. Muslim, At-Tirmidzi, dan Ahmad dari Tsauban).
Membicarakan suatu kaum yang beraqidah sesat seperti Syi’ah, tapi merasa benar memang problematis. Kesesatan Syi’ah, bukan saja menggiring manusia kepada akidah takfiri, tetapi juga menodai iman Islam dengan mempropagandakan paham mungkar serta prilaku bejat seperti mut’ah yang bertentangan dengan agama, akal sehat serta moral. Hal ini dapat mengundang banyak kemudharatan dalam segala aspek kehidupan.
Disinilah problematikanya. Di satu ssisi, Syi’ah mengaku bagian dari Islam, tapi di sisi lain pengikut Syi’ah mencerca para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan menista ummul mukminin, istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Aisyah dan Hafshah. Mereka menuduh Abu Bakar, Umar dan Utsman radhiallahu anhum murtad karena dituduh merampas hak kekhalifahan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, sehingga mereka senantiasa mencerca ketiganya. Cercaan dan serangan lisan terhadap ketiga sahabat Nabi itu melebar hingga membenci semua sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, baik dari kalangan Muhajirin maupun Anshar. Mereka menuduh para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai orang-orang kafir, murtad karena berbai’at kepada ketiga khalifah rasyidah tersebut.
Di dalam Islam, hanya orang-orang yang mengaku Syi’ah yang menghalalkan perbuatan keji dan hinaan pada para sahabat serta istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka sangat mengkhawatirkan dampak negatif perkembangan Syi’ah di tengah-tengah masyarakat Muslim. Kondisi demikian, tidak saja rawan konflik, tapi juga akan melahirkan suatu generasi yang menganggap enteng perbuatan mencaci maki sahabat Nabi yang digelari radhiyallahu anhum wa radhu ‘anhu.
Problema lainnya, dalam bermuamalah Syi’ah mewajibkan sikap taqiyah, yaitu sikap lain di mulut lain pula di hati alias munafiqisme. Maksudnya, untuk menipu, mengelabui atau mengecoh manusia yang bukan pengikut Syi’ah. Sikap taqiyah adalah upaya menutupi kesesatan mereka, jika mereka dalam posisi lemah atau menjadi kelompok minoritas di lingkungannya. Taqiyah bisa juga digunakan sebagai alat infiltrasi ideologi kesemua ormas dan parpol.
Pada tahun 1981, pasca revolusi menumbangkan kekuasaan Syah Reza Pahlavi 11 Februari 1979, kedutaan Iran di Jakarta mengundang aktivis dan mahasiswa Islam berkunjung ke negeri para mulah Iran. Semangat revolusi Syi’ah yang digaungkan dengan label Revolusi Islam Iran pimpinan Khomaini, sangat spektakuler sehingga menyulut keinginan ratusan aktivis muda Islam Indonesia berlomba mendapatkan tiket gratis menyaksikan langsung gelora revolusi di Iran.
Di antara aktifis muda Islam ini, ada yang berkunjung beberapa minggu, tetapi banyak juga yang menempuh pendidikan beberapa tahun di Qom. Mereka yang bermukim mengenyam pendidikan, sengaja dipersiapkan menjadi kader militan Syi’ah, termasuk dalam kloter ini adalah Ahmad Barakbah dan Ibrahim alias Jawad.
Tahun 1984, Ibrahim alias Jawad pulang ke Indonesia, dan membentuk kelompok pengajian bersama Husein Ali Al-Habsyi (tunanetra), Achmad Muladawilah, Hamzah alias Supriono di rumah M. Ahwan, teman lama mereka di Malang. Sepulangnya ke Indonesia, tanpa rasa bersalah, lisannya lihai mencaci maki sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan yang mengerikan, mereka menikmati syahwat kawin mut’ah (kawin kontrak).
Selain di Malang, kajian Syi’ah meyebar ke berbagai daerah seperti Bandung, Jakarta, Solo dan di luar Jawa. Ibrahim alias Jawad membawa mesiu revolusi Syi’ah dan bertekad mengembangkan ideologi permusuhan berbasis ahlul bait di Indonesia.
Sekarang jumlah mahasiswa Indonesia yang belajar di Iran diperkirakan 7000 orang, melebihi jumlah mahasiswa Indonesia di Al-Azhar Mesir. Mereka juga semakin militan, seperti diungkapkan oleh Duta Besar RI di Teheran, Dian Wirengjurit, dalam acara Public Lecture bertema, “Pasang Surut Hubungan Indonesia-Iran” untuk mahasiswa Program Magister (S2) dan Program Doktor (S3) UIN, Yogyakarta, 21 April 2014.
Dian menceritakan pertemuannya dengan para pelajar Indonesia di Qom, dan dia terkejut menyaksikan semua pelajar mengenakan pakaian gaya mullah dan menunjukkan militansi dan loyalitasnya pada imam Syi’ah.
“Saya dengar, teman-teman disini sudah ada yang menyatakan kesetiaan kepada Ayatollah, bukan kepada NKRI. Saya hargai sikap teman-teman yang sudah menyatakan kesetiaan kepada Ayatollah, tapi konsisten. Maksudnya apa pak? Kalau kesetiaannya pada Ayatollah, copot paspor, saya tunggu 1 minggu,” ungkap Dubes Dian Wirengjurit.
Untuk menyebarkan ideologi Syi’ah di Indonesia, selain melalui training, Ibrahim juga mengimport revolusi Syi’ah dan menggunakan cara radikal berupa peledakan sejumlah gereja dan Candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah. Tujuannya, mencipta-kan situasi chaos dengan semangat revolusi Syi’ah untuk memprovokasi umat Islam melawan rezim thaghut, atau label yang lebih populer mustadh’afin (rakyat tertindas) melawan mustakbirin (penguasa selain syi’ah).
Kenyataan ini amat berbahaya, dan mengancam stabilitas negara. Selama puluhan tahun kader militan Syi’ah telah menyemai paham sesatnya, dan sekarang mereka sedang menuai hasil tanamannya. Konflik Sampang antara Umat Nahdhiyin Aswaja dan kelompok sesat Syi’ah pimpinan Tajul Muluk, termasuk kerusuhan di Jember adalah di antara hasil panennya.
Akhir-akhir ini, sekte Syiah nampaknya mencoba meninggalkan sikap taqiyah, dan berani secara terang-terangan melakukan infiltrasi ideologi terhadap umat Islam di Indonesia. Perubahan sikap ini, barangkali kaum Syi’ah merasa sudah kuat karena banyak pengikutnya, atau sebagai minoritas sesat merasa mendapat perlindungan dari parpol tertentu. Sejumlah tokoh Syi’ah, berani muncul dengan bendera organisasi IJABI dan ABI.
Tiga Doktrin Sesat Syi’ah
Mengenalkan kesesatan Syi’ah dari sudut pandang orang Syi’ah sendiri, sebagai upaya membentengi akidah generasi muda Islam. Itulah antara lain urgensi bedah buku ‘Ulama Syi’ah Menghujat Syi’ah’ ini. Buku berjudul At-Tasyayyu’ wasy Syi’ah, dan judul terjemahan ‘Ulama Syi’ah Menghujat Syi’ah’, karya tulis Mullah Ahmad Kasravi, dapat mengantarkan pembaca, mengapa Syi’ah diposisikan bukan Islam.
Mullah Ahmad Kasravi, seorang ulama Syi’ah, lahir di Tabriz, ibu kota Azerbaijan, Iran, 14 Shafar 1308 H bertepatan dengan 29 September 1890 M. Karier intelektual Kasravi sangat menonjol. Ia seorang profesor dalam bidang hukum Islam dan ahli sejarah Iran. Seorang penulis menggambarkan, di kalangan Syi’ah hanya sedikit jumlah tokoh yang kualitasnya setara Mullah Ahmad Kasravi. Bahkan dibandingkan dengan Ayatollah Khomeini, kualitas intelektualnya sangat tidak sepadan.
“Khomeini tidak bisa menulis buku sebaik tulisan Kasravi. Untuk dapat menyamai kualitas intelektual Kasravi di bidang hukum Islam dan sejarah Iran saja, Khomeini membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk belajar keras dan belum tentu berhasil, karena disiplin intelektual seperti dimiliki Kasravi, tidak tersedia pada saat dia belajar di Qom.”
Pada mulanya buku ini ditujukan untuk keluarganya dan orang-orang Syi’ah berbahasa Arab yang tinggal di luar Iran. Karena itu, berbeda dengan kebanyakan ulama Islam yang membongkar paham Syi’ah melalui sumber-sumber normatif Syi’ah. Dalam membedah Syi’ah, Kasravi menggunakan pisau analisis rasional dengan pendekatan historis. Artinya, argumentasi bathil kaum Syi’ah ditaklukkan dengan argumentasi yang lebih kuat, faktual dan rasional, sehingga kaum Syi’ah tidak berdaya untuk membantahnya.
Menurut Mullah Ahmad Kasravi, seluruh ideologi sesat Syi’ah berdiri di atas tiga doktrin: al-Imâmah, al-Khilâfah, dan al-Mahdawiyyah. Jika mereka gagal mempertahan-kan eksistensi doktrin ini, niscaya Syi’ah akan musnah. Namun, pengertian ketiga doktrin versi Syi’ah ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan Islam, karena masing-masing dari ketiga doktrin tersebut bathil, tidak punya dalil yang sah.
-
Imamah:
Dalam perspektif Syi’ah, kata imamah memiliki arti yang spesifik, sebuah jabatan ketuhanan seperti halnya kenabian. Karena itu, menurut Syi’ah Allah telah memilih di antara hamba-Nya dan menyuruh Nabi-Nya untuk menetapkannya yang nantinya akan duduk sebagai imam bagi segenap manusia sepeninggal beliau. Imam Syi’ah diyakini juga sebagai guru yang datang dari sisi Allah subhanahu wa ta’ala, terbebas dari dosa dan kesalahan, mengetahui apa yang telah terjadi di masa lalu dan yang akan datang.
Kaum Syi’ah mengklaim bahwa Allah subhanahu wa ta’ala telah melantik 12 orang Imam, sebagai pewaris-pewariskekuasaan sepeninggal Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Khalifah Ali bin Abi Thalib diklaim sebagai imam pertama Syi’ah, sekalipun Ali sendiri tidak pernah mengumumkan dirinya sebagai Imam Syi’ah.
Imam Syi’ah yang kedua dan ketiga adalah putra Ali bin Abi Thalib, Hasan bin Ali dan Husain bin Ali. Berikutnya diteruskan oleh 9 keturunan Husain, yaitu Ali ibn Husain, Muhammad ibn Ali, Ja’far ibn Muhammad, Musa ibn Ja’far, Ali ibn Musa, Muhammad ibn Ali, Ali ibn Muhammad, Hasan al-Askari, dan yang terakhir imam keduabelas Muhammad Al-Mahdi al-Muntazhar. Nama terakhir ini fiktif, karena Hasan Al-Askari tidak punya keturunan.
Sebagai pembenaran atas keyakinan ini, kaum Syi’ah merekayasa dusta dengan mengarang cerita-cerita berdasarkan halusinasi. Pertama, cerita tentang penobatan Ali bin Abi Thalib sebagai Imam. Kaum Syi’ah berkeyakinan, bahwa Ali bin Abi Thalib telah dinobatkan sebagai imam dan khalifah ar-rasyidin, secara resmi di umumkan dalam khutbah Nabi di Ghadir Khum, tanggal 18 Zulhijjah tahun 10 Hijrah. Ghadir Khum adalah sebuah wadi di tengah padang pasir, terletak sekitar 200 mil di tengah-tengah antara kota Makkah dan Madinah.
Dari peristiwa inilah Syi’ah melakukan rekayasa dusta. Kaum Syi’ah mati-matian membela keyakinan sesatnya ini. Mereka mengatakan, peristiwa Ghadir Khum merupakan mata rantai yang hilang dari sejarah Islam pada umumnya. Padahal peristiwa ini membeberkan satu fakta yang sangat penting: bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berpesan tentang kepemimpinan Islam setelahnya.
Khutbah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di Ghadir Khum pada tanggal 18 Dzulhijjah 10 H merupakan khutbah Nabi yang terakhir. Lebih dari seratus ribu sahabat yang merekam peristiwa ini. Sedemikian mutawatir dan terpercayanya laporan mereka, seandainya kriteria kesahihan hadits al-Ghadir ditolak, niscaya tidak satu pun hadits lain yang dapat kita kategorikan sebagai hadits shahih.
Terhadap klaim Syi’ah di atas, Mullah Ahmad Kasravi menjawab singkat. Sekiranya hadits tentang Ghadir Khum versi Syi’ah ini memang benar, mungkinkah Ali bin Abi Thalib membiarkan haknya dirampas orang lain. Mustahil beliau merelakan wasiat Nabi dikhianati oleh sahabat terdekat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Buktinya, Ali berbai’at kepada tiga khalifah sebelum beliau. Jika Ali saja rela dan taat pada Abu Bakar, Umar dan Utsman, lalu mengapa kalian kaum Syi’ah yang marah dan membangkang?
Dari sini terungkap jelas betapa paham Syi’ah berkubang dalam lumpur kesesatan yang didasarkan pada mitos.Untuk melestarikan kebencian pada sahabat nabi dan membangkit-kan dendam Syi’ah, maka para Tasyayyu’ (Sekte Syi’ah) di seluruh dunia selalu merayakan peristiwa Ghadir Khum setiap tahun, dikenal dengan perayaan Idul Ghadir.
Cerita Kedua, wasiat Nabi jelang wafatnya. Masa antara peristiwa Ghadir Khum dengan wafatnya Nabi Senin, 12 Rabiul Awwal tahun 11 H, hanya berkisar 70 hari saja. tatkala beliau berumur 63 tahun.
Opini yang sangat populer dalam buku-buku Syi’ah, yaitu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjelang wafat. Menurut Syi’ah, beliau meminta selembar kertas untuk menuliskan sesuatu, tetapi Umar menolaknya. Mereka mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam saat itu ingin menetapkan kekhilafahan bagi Ali sepeninggal beliau untuk kedua kalinya. Lalu Umar mengetahui apa yang diinginkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan mencegah beliau dengan berkata: “Sesungguhnya orang ini (Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam) sebentar lagi akan meninggalkan Kitâbullâh di tengah-tengah kita.”
Tidak cukup menghina sahabat, Nabi juga dilecehkan oleh orang Syi’ah. Darimana mereka tahu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam akan mewasiatkan Ali sebagai pemimpin umat Islam pengganti beliau, padahal Nabi belum menuliskan wasiatnya?
-
Khilafah:
Ulama Syi’ah menyatakan bahwa kekhalifahan merupakan ketetapan Ilahy. Khalifah adalah pengganti Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, karena itu khalifah haruslah orang yang dipilih langsung oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan penetapannya itu disampaikan oleh Nabi-Nya. Khalifah adalah pemimpin bagi umat manusia, maka ia harus merupakan orang terbaik di zamannya dan bersifat ma’shum, tidak tersentuh salah dan dosa.
Dengan bekal opini dusta ini, ulama Syi’ah kemudian membuat ketetapan secara sepihak, bahwa siapa saja yang merampas hak kekhalifahan dari orang yang ditunjuk Allah dan dinobatkan oleh Nabi, dianggap kafir dan murtad dari Islam.
Dalam buku induk ajaran Syi’ah karangan ulama Syi’ah, Al-Kulaini, membawakan hadits palsu yang katanya diriwayatkan dari Ja’far ‘alaihis salam: “Manusia (para sahabat) telah murtad setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali tiga orang.” Aku berkata, “Siapa saja tiga orang tersebut?” Disebutkan, “Al Miqdad bin Al Aswad, Abu Dzar Al Ghifari dan Salman Al Farisi”. (Furu’ Al Kaafi, Al-Kulaini, hal. 115).
Namun Mullah Ahmad Kasravi menepis opini dusta ulama Syi’ah ini. Hadits di atas palsu dan Al-Kulaini berdusta. Peristiwa yang sebenarnya terjadi, setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam para tokoh Islam (sahabat) terkemuka dari kalangan Muhajirin dan Anshar bermusya-warah, dan sepakat membai’at Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu sebagai khalifah pertama umat Islam.
Manusia tidak dapat mengatur Allah dengan suatu aturan, lalu memaksakan aturan tersebut kepada-Nya. Jika kaum Syi’ah berbicara kepada kami tentang Islam, maka tunjukkan dalilnya dari Islam. Sebaliknya, bila kalian berbicara berdasarkan pendapat kalian, nyatakan juga dengan terus terang bahwa itu pendapat kalian.
Sekiranya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menetapkan Ali yang menjadi khalifah, tentulah para sahabat beliau tidak akan menyalahinya dengan mendahulukan Abu Bakar dibandingkan Ali. Menyatakan bahwa kaum Muslimin murtad sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan hanya tinggal tiga atau empat orang saja yang masih Muslim, menunjukkan kelancangan orang Syi’ah karena telah berani berdusta atas nama agama.
Bagaimana mungkin mereka murtad padahal mereka adalah sahabat-sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam? Mereka beriman kepada beliau di saat orang lain mendustakannya. Mereka membela beliau dan demi pembelaannya mereka telah menghadapi dan merasakan berbagai macam siksaan dan penderitaan. Mereka juga telah maju berperang bersama-sama beliau serta mereka lebih mengutamakan beliau dari diri mereka sendiri.
Lebih dari itu, apa untungnya kaum Muslim mengangkat Abu Bakar menjadi khalifah tetapi harus dibayar dengan kemurtadan dari agama mereka? Mustahil terjadi, ribuan kaum Muslim yang ikhlas tiba-tiba murtad hanya sekadar menyisihkan Ali dari kursi imamah. Wahai kaum Syi’ah, jawablah pertanyaan-pertanyaan di atas jika memang kalian memiliki jawabannya!
Kaum Syi’ah mengemukakan berbagai dalil tentang khilafah ini. Dalil-dalil yang mereka kemukakan tersebut antara lain firman Allah subhanahu wa ta’ala:
أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ
“Taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kepada Rasul-Nya, serta para pemimpin yang menegakkan syari’at Islam dari golongan kalian…” (Qs. an-Nisâ’, 4: 59)
Orang-orang Syi’ah berkeyakinan: “Ayat tersebut turun berkenaan dengan kasus Ali dan anak keturunannya kemudian.”
Ayat ini justeru menjadi dalil untuk menentang dan bukan menguatkan Syi’ah. Dari ayat tersebut jelas, Islam mengumumkan kepada segenap manusia bahwa urusan mereka akan dipimpin oleh beberapa orang laki-laki yang mereka pilih di antara mereka sendiri.
Lalu di mana kaitan antara ayat ini dengan dalih-dalih kaum Syi’ah tersebut? Apa bantahan kalian bila ada orang yang menyatakan ayat tersebut turun berkenaan dengan Abu Bakar, Umar, Utsman atau berkenaan dengan Abbas dan anak keturunannya?
Selain itu, mengapa Allah tidak menyebutkan nama Ali supaya ayat tersebut menjadi jelas sehingga tidak menimbul-kan perselisihan? Apakah Allah memang ingin menyesatkan kaum Muslimin dan menanamkan benih perselisihan di tengah-tengah mereka? Sungguh Allah Mahabersih dari anggapan semacam itu.”
Sesungguhnya kepemimpinan Islam tidak menganut sistem dinasti, reproduksi kekuasaan berdasarkan keturunan dan kekerabatan.
-
Imam Mahdi (Al-Mahdawiyah):
Menurut doktrin Syi’ah, bahwa Allah subhanahu wa ta’ala telah melantik 12 orang Imam, sebagai pewaris-pewariskekuasaan sepeninggal Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan Imam kedua belas yang bernama Muhammad Al-Mahdi, inilah yang dinobatkan sebagai Imam Mahdi, yang mereka yakini masih hidup sampai sekarang, dan bersembunyi di sebuah gua bernama Sirdab, terletak di Samarra’ wilayah Irak. Di akhir zaman kelak dia akan muncul untuk melawan Dajjal sebelum Hari Kiamat tiba. Setiap hari orang-orang Syi’ah berdatangan, menanti di depan pintu Sirdab sambil berteriak-teriak memanggil, “Wahai tuan kami, keluarlah.”
Al-Mahdawiyyah (doktrin Imam Mahdi) yang ada dalam kalangan Syi’ah adalah khurâfat dalam khurâfat, yang tidak ada kaitannya dengan Islam. Imam Mahdi yang ditunggu-tunggu hanyalah ilusi para imam Syi’ah.
Fakta bahwa Hasan al-Askari tidak memiliki anak akan mengakibatkan keyakinan mereka hancur dengan sendirinya. Sebab, kelanjutan imamah secara otomatis berhenti. Tatkala sebagian penganut Syiah merasakan kekhawatiran aliran Syiah akan sirna karena ketiadaan imam ke dua belas, maka sejumlah orang dari mereka memikirkan cara untuk menyelamatkan aliran ini.
Akhirnya, mereka menemukan jalan pintas dengan melakukan kebohongan di atas kebohongan yang sudah ada. Seorang Syiah bernama Muhammad bin Nushair an-Namîri dan kawan-kawannya mendapatkan ide dengan klaim bahwa Hasan al-Askari memiliki anak yang ia sembunyikan di dalam dua Sirdab karena khawatir akan dibunuh oleh orang-orang jahat dan zhalim. Tujuan mereka menggulirkan pernyataan ini adalah untuk mengelabui orang-orang awam Syi’ah sehingga para tokoh Syiah tetap bisa meminta setoran kekayaan dan zakat dari masyarakat awam atas nama Imam yang ditunggu-tunggu kedatangannya.
Sudah berabad-abad lamanya, golongan Syi’ah melaku-kan perbuatan sia-sia, tapi mereka belum juga menyadari kesesatannya, malah semakin jauh tersesat. Imam ghaib yang mereka tunggu belum juga muncul menyambut panggilan mereka. Selama imamnya belum muncul secara terbuka di depan publik, dia diwakili oleh pejabat perantara imam.
Orang-orang yang diklaim sebagai imam Syi’ah sekarang ini, seperti Ayatollah Khomeini, Ayatollah Ali Khamanei, hanyalah pejabat imam sementara hingga munculnya imam ghaib. Tugasnya, selain sebagai guru pembimbing umatnya, yang utama adalah mengumpulkan upeti untuk diserahkan pada imam ghaib.
Mullah Ahmad Kasravi menegaskan bahwa doktrin al-Mahdi tersebut batal karena dua alasan: pertama, karena Imam Ghaib atau Muhammad bin Hasan al-‘Askari hanyalah sekadar nama yang mereka buat-buat dan mereka sebarkan. Bagaimana mungkin Hasan memiliki bayi yang dilahirkan tanpa pernah dilihat oleh seorangpun dari anggota keluarganya atau orang lain? Kedua, mungkinkah imam yang ghaib tersebut bersembunyi selama berabad-abad lamanya di di dalam gua dan tidak diketahui oleh manusia? Mungkinkah seseorang dapat hidup selama seribu tahun lebih? Ini semua tidak lain hanyalah membuktikan kedunguan orang-orang Syi’ah.
Oleh karena itu, Ahmad Kasravi mengkritik pedas doktrin Imam Ghaib ini. Kasravi bertanya: “Untuk kepen-tingan apa, karena apa, dan takut pada siapa sehingga imam harus bersembunyi? Mengapa hingga kini belum juga muncul, padahal umatnya sedang menanti-nantikan kedatangannya? Apakah takut kepada musuh-musuhnya. Apakah ia sudah mempunyai musuh selain orang-orang yang dahulu memusuhi ayahnya? Mengapa kakek neneknya dahulu tidak takut dan bersembunyi seperti dirinya? Sampai kapan sang imam bersembunyi, membiarkan umatnya tanpa bimbingan, terlunta dalam rimba kesesatan dan dekadensi moral?”
Syi’ah juga hidup dengan bertaqiyyah. Ketakutan apa yang membuat mereka hidup dengan taqiyyah. Bukankah mereka sudah punya negara? Cukuplah menjadi bukti kesesatan suatu kaum yang mempercayai mitos menyesatkan, kemudian membangun kepercayaannya berdasarkan halusinasi dan fitnah.
Jogjakarta, 15 Mei 2014
(Ukasyah/arrahmah.com)